Di jalan yang masih menikung ini kucoba luruskan langkah, meski bashirohku* silau arah. Diamdiam aku masih tidak suka matahari, dan segala tetek bengeknya hingga usai senja. "Lagilagi sabit telah mengiris piring siangku, menebas gelas telaga menjadi serpihan dendam di meja malam".
Jalan ini terus saja menikung di mataku, sesekali menanjak. langit terjal dalam kemarau jejak. bukan salah peta badan dipipih, tapi salah beta tak pandai memilih. sebulan harga ditaksir mimpi. badan melangkahi diri yang lelap diterik ramelan.
o, badan. aku lapar, pangganglah ular, mulut mereka bau istighfar. aku dahaga, bawakan telaga, tangan mereka tengadah di pintu surga. aku sudah lelah, mereka baru mengucap basmalah. aku merasa haus, mereka harus tadarus.
jalan ini kian menikung, bahkan nyaris melingkar. Waktu dan usia bersejajar menyusunharihari di rak badan; hati tak pernah membacanya, serupa ayatayat yang dilantun seribu malaikat. raga hidup jiwa sekarat. miskin amal papa hakikat.
*kata pembanding bashar (penglihatan), bedanya kalau bashar lebih pada hal-hal yang kongkrit, sedangkan bashiroh lebih pada hal-hal yang substansif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H