Pada tataran sosial santri di tuntut aktif dalam berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan, dan dari bisa memunculkan image postif bahwa santri tidak melulu bergulat dengan persoalan agama akantetapi juga ikut andil dalam persoalan sosial yang berbekal ilmu yang didapat dari pesantren sudah barang tentu bisa menjawab persoalan pelik negeri ini, korupsi, covid-19 misalnya, sehingga dengan turut aktif berperan di masyarakat santri bisa lebih dikenal dengan keluesannya dan juga benar apa yang dikatakan oleh mendiang Gus Dur bahwa kurang lebih 'dunia ini tidak butuh orang pintar namun kekurangan orang jujur.'
Selanjutnya adalah persoalan yang memang menjadi pelik dalam dunia pesantren dan juga dunia pendidikan secara umum, khususnya budaya literasi. Beban intelektual kurang lebih adalah beban yang disematkan kepada seseorang yang telah mengenyam pendidikan, yang dalam hal ini masih minimnya minat untuk membaca dan Survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 juga menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 10 besar terbawah dari 77 sehingga bisa dikatakan memprihatinkan. Kemudian terlintas kenangan diskusi kecil dengan KH. Husein Muhammad atau Buya Husein yang kurang lebih begini problem pesantren saat ini ialah bagaimana dengan seorang santri yang telah bisa membaca literatur klasik atau kitab kuning dengan fasih? Apakah pesantren juga mendorong minat baca santrinya sehingga tidak hanya tradisi pendidikan satu arah?. Perosalan turunannya adalah sebuah produk seperti halnya berapa buku yang dihasilkan dari pesantren setiap tahunnya menjadi benang kusut yang memang harus segera di atasi, meskipun terdapat tradisi bahtsu massail yang mengharuskan tiap peserta membawa buku atau kitab rujukan dari argumen yang dilontarkannya namun dalam hal tulis menulis tentu masih menjadi PR besar bagi rata-rata pesantren.
Kembali dengan tradisi pesantren yang terbilang 'langka' dalam transformasi keilmuannya ialah sesuatu yang disebut dengan barokah, dan hal ini sudah menjadi mafhum bagi setiap santri, seperti halnya sepintar apapun seorang santri tidak menjamin ia menjadi seorang yang sukses sepulangnya dari pesantren tanpa barokah dari pengasuh pesantren (baca; kyai). Selanjutnya apa yang dikatakan oleh KH. Dimyati Rois sangat menarik untuk direnungkan, kurang lebih begini 'apabila guru hanya melakukan transfer pengetahuan maka suatu saat guru itu tidak lagi dibutuhkan sebab Google dan AI lebih cerdas, akan namun jika yang di sampaikan adalah sebuah attitude maka sepanjang zaman guru akan terus dibutuhkan, sebab Google dan AI sama sekali tidak memilikinya'.
Sehingga tantangan untuk peringatan hari santri 2023 ialah bagaimana seorang santri menyelaraskan ketiga beban tersebut di masyarakat sehingga mampu mengurai persoalan-persoalan pelik dari gerak zaman yang kian tak tebendung.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H