Setelah diriku memasuki tempat asing yang tak pernah kukenal sama sekali arsitektur bangunannya, aromanya, suasananya sama sekali, aku juga menemukan orang orang yang terlihat asing bagiku. Kuperhatikan dari ujung kepala sampai kakinya tak satupun kukenali kecuali kedua orang tuaku. Sambil kakiku menyusuri tempat asing itu mataku tak berhenti menyoroti orang-orang yang ada disana. Aku duduk diruangan perpustakaan yang terletak didalam pondok, yang saat itu dijadikan ruangan menunggu.Â
Aku duduk bersama ayahku. Diperpistakaan aku tidak dudukXl bersama ayahku saja, disana sudah ada beberapa orang asing yang duduk bersama orang tuanya juga. Kulihat apa-apa yang mereka lakukan beberapa ada yang bermain handphone, ada yang berbincang santai dengan orang tuanya, ada pula yang hanya diam merenung meikirkan sesuatu yang mungkin penting menurut pemikirannya. Aku tak peduli dengan perbuatan-perbuatan yang mereka perbuat pada kala itu. Aku juga sedang memikirkan tentang perpisahanku dengan orang tuaku nanti saat kegiatan pondok akan benar-benar dimulai.
Jam setengah sembilan pagi tepat seorang ustad datang memasuki tempatku dan ayahku dan para orang asing itu menunggu. Ustad yang memakai pakaian rapih sebut saja dikepalanya ada peci hitam polos, memakai baju koko rapih, memakai sarung yang bercorak entah apa coraknya masuk dengan membawa pemberitahuan himbauan agar segera berpindah tempat di masjid karena perkenalan santri baru akan segera dimulai.Â
Terlintas dipikiranku tentang sesuatu hal tentang apa yang harus kukatakan nanti saat aku dipanggil berdiri untuk memperkenalkan diriku kepada orang-orang asing itu. Aku sangat malu dan tidak ingin bicara, tapi bagaimana lagi memang prosedur acaranya begitu.
Kami semua dikunpulkan di masjid utama pondok pesantren. Aku duduk di tengah-tengah masjid bersama kerumunan orang-orang asing itu, masing-masing didampingi oleh bapaknya. Saat ku melihat jam dinding, jarum jam menunjukan pukul setengah sepuluh. Tak terasa, waktu begitu cepat berjalan, menerobos segala kemungkinan, tak peduli dengan halangan didepan, tetap saja waktu akan terus berjalan.Â
Dari pengeras suara masjid mulai terdengar suara ustad yang memulai sambutan dipagi itu kepada kami para calon santri baru dan wali santri baru. Orang-orang asing itu akan menjadi teman baruku nanti, saat memulai kehidupan baru dipondok pesantren ini. Aku tidak tahu darimana saja mereka berasal, tapi yang pasti aku akan mengenal mereka semua secara perlahan.Â
Mic diberikan kepada calon santri yang duduk paling ujung dekat tempat ustad berbicara. Untuk apa memberikan mic itu ? Ya, mic itu diberikan untuk perkenalan diri calon santri baru. Perkenalan diri mencakup nama lengkap, tempat tanggal lahir, daerah asal, mungkin hanya sebatas hal itu saja. Tetapi tetap saja, aku seorang pemalu, mungkin gugup akan menyerangku seketika bagai kilat datang menyambar. Mic itu akan berjalan beruntun dari santri ke santri.
Mic itu datang kepadaku, membawa pesan kepadaku untuk menggunakannya sebaik mungkin. Keringat dingin mulai membasahi sekujur badanku. Mau tidak mau, aku lebih tidak mau malu karena tidak berani memperkenalkan diri daripada gugup saat berbicara dengan mic. Akhirnya aku berdiri dengan tegap, aku memperkenalkan identitas diriku dengan terburu-buru. Tidak terlalu buruk, aku langsung memberikan mic yang ada ditanganku kepada orang yang ada dibelakangku. Huh....desisku lega seusai memperkenalkan diri kepada orang yang asing bagiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H