Mohon tunggu...
Ahmad Nashiruddin
Ahmad Nashiruddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya hanya seorang lelaki yang senang berpetualang, pecinta bulutangkis, dan berusaha untuk selalu bersyukur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Saya untuk Pak Anies Baswedan

28 Oktober 2014   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah wasyukurillah, berkat rahmat Allah SWT selamat atas terpilihnya Bapak Anies Baswedan sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah RI dalam Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo untuk masa bakti 2014-2019. Selamat Pak!

Berbicara mengenai pendidikan, alhamdulillah saya hingga saat ini mampu mengenyam pendidikan formal hingga tingkat strata satu atau sarjana (S1). Proses yang cukup panjang telah saya lalui untuk mendapat gelar tersebut, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga S1. Pendidikan yang berjenjang tersebut saya lalui secara normal tanpa ada akselerasi ataupun percepatan ataupun perlambatan, jadi jika diakumulasi lama saya studi adalah 17 tahun (TK 1 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, S1 4 tahun). Menurut saya itu waktu yang lebih dari cukup (seharusnya) menciptakan bibit-bibit unggul untuk pembangunan karakter sebuah bangsa. Tapi…ada beberapa catatan yang saya temui selama proses masa studi tersebut yang mungkin bisa jadi masukan bagi Bapak untuk membuat pendidikan Indonesia lebih baik.

1.Sistem

Sungguh, sistem pendidikan yang telah saya lalui bermacam-macam khususnya mengenai kurikulum dan membuat bingung.Pada masa sekolah dasar (kalau saya tidak salah) menggunakan sistem kurikulum 1994 dengan sistem catur wulan, jadi dalam setiap tingkatan kelas saya menjalani tiga kali ujian dengan istilah Tes Hasil Belajar (THB), itu saya lalui hingga kelas 3 SD. Nah, naik kelas 4 berubah menjadi sistem semester, dalam satu tahun saya mengalami dua kali ujian. Saya tidak akan menceritakan detil setiap kurikulum, karena udah lupa juga sih. Hehehe… Lalu saya juga sempat melewati masa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), nah yang terbaru adalah Kurikulum 2013 tapi saya sudah di bangku perkuliahan jadi gak sempat merasakan. Nah permasalahannya, akankah Bapak punya gagasan baru lagi mengenai kurikulum? Menurut saya, lemahnya di Indonesia adalah mengenai implementasi. Meskipun sistem pendidikan berubah-ubah, jika implementasinya lemah atau bahkan No Action Talk Only alias NATO, percuma Pak! Itu Cuma menghabiskan biaya dan tenaga saja secara cuma-cuma. Tapi kalau memang Bapak punya gagasan yang lebih baik semoga jangan NATO, kasian anak-anak INDONESIA yang polos dan tak berdosa menjadi korbannya.

Satu lagi Pak, saya tidak setuju dengan sistem Ujian Nasional (UN). Kenapa?

Saya sekolah SD 6 tahun, setiap tingkatan saya ada ujian setidaknya 4 kali (med semester 2x & ujian semester 2x), nah kenapa pula nasib saya lulus atau tidaknya hanya ditentukan oleh Ujian Nasional. Sebetulnya ini hanya istilah yang salah menurut saya, kita sudah mengenal istilah naik kelas dan tidak naik kelas, itu siapa yang menentukan? Ya guru atau wali kelas, mereka yang sehari-hari menghadapi muridnya, mendidik mereka, mengenal karakter mereka, dan lainnya. Jadi, sistem UN bukanlah sebuah solusi yang tepat untuk menentukan standar kualitas lulusan dari setiap jenjang pendidikan. Ada sebuah pertanyaan besar, apakah setiap guru tega untuk tidak meluluskan anak didiknya? Bagaimana dengan nama baik sekolah? Sekolah yang baik bukanlah sekolah dengan lulusan yang banyak (kuantitas), tapi sekolah yang baik adalah yang meluluskan anak-anak yang memang layak untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya (berkualitas).

2.Kompetensi Tenaga Pengajar

Guru adalah pahlawan tanda saja!
Ungkapan itu terus terngiang dalam kepala saya hingga sekarang, banyak ilmu yang saya dapatkan dari berbagai buku, tapi apalah daya jika saya tanpa bantuan seorang guru yang menyampaikan ilmu itu dengan baik dan tulus. Dalam hal ini saya memanggil semua tenaga pengajar dengan istilah guru, walau Ia tenaga pengajar di Perguruan Tinggi atau yang disebut dosen.

Berbagai karakter guru dari masa SD hingga S1 ini saya temui. Senang rasanya bisa memiliki guru yang mengayomi, penyampaiannya jelas, tidak pandang bulu kepada setiap anak, memiliki kecakapan ilmu yang baik baik itu dalam penguasaan materi ataupun ketika menyampaikan materi. Namun, ada juga beberapa guru yang saya temui tidak memiliki kecakapan yang baik dalam penyampaian materi ataupun penguasaan materi. Ada yang bagus menyampaikan materi ternyata penguasaan materinya kurang memadai, ada juga yang menguasai materinya baik tapi ketika menyampaikan materinya kurang baik. Sehingga ada beberapa panggilan khas untuk beberapa guru dari para muridnya yang bahkan itu merendahkan martabat guru menurut saya.

Regulasi yang ada saat ini, tenaga pengajar harus berasal dari jurusan pendidikan atau keguruan seperti yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007. Nah, pertanyaan saya adalah apakah semua yang mengambil jurusan keguruan memiliki kompetensi menjadi seorang guru? Saya setuju dengan penghapusan akta IV yang dulu sempat menjadi opsi kebijakan dalam penentuan untuk pengangkatan seorang guru. Tenaga pengajar memang harus fokus pada bidang yang ia ajarkan, namun saya memiliki sebuah usulan terkait tenaga pengajar ini.

Ada beberapa program studi (di luar prodi keguruan) yang berkaitan dengan materi atau pelajaran yang diajarkan pada pendidikan formal. Yang pasti adalah program studi seperti Kimia murni, Biologi murni, Matematika murni dan lainnya. Ada pula seperti program studi bidang Sosial (Sosiologi, antropologi, komunikasi, hubungan internasional dan lainnya), bidang keagamaan, bidang kedokteran dan lain sebagainya. Lulusan-lulusan dari program-program yang masih berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah ataupun perguruan tinggi tentunya memiliki kecakapan khusus di bidang tersebut. Bagaimana jika mereka memiliki potensi mengajar yang justru lebih baik dengan lulusan yang prodinya memang mengambil bidang pendidikan? Ini bukan hanya bagi freshgraduate, bagi yang sudah memiliki pengalaman kerja pun apa salahnya menjadi seorang guru jika dia memang memiliki latar belakang pendidikan yang masih searah dengan materi pelajaran yang diajarkan dan tentunya memiliki kompetensi yang mumpuni. Namun, poin pentingnya adalah adanya Uji Kelayakan untuk seorang guru. Seorang guru adalah salah satu penentu kualitas murid-muridnya. Uji Kelayakan harus dilakukan dengan baik dan transparan.

Oia Pak, jangan lupa juga kesejahteraan para guru!

3.Infrastruktur

Sarana pendukung pendidikan juga harus menjadi perhatian. Tempat yang nyaman, bersih, dan aman akan sangat mendukung proses belajar berjalan dengan baik. Perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat kita jangan hanya berjalan santai mengejar ketertinggalan pembangunan sumber daya manusia. Kita harus berlari!!!

Teknologi yang tepat guna dan up to date akan sangat membantu dalam mengejar ketertinggalan kita. Misalnya teknologi Operating Sistem yang sekarang sudah sampai Windows 8 kita masih pakai Windows XP (ini hanya untuk pemisalan). Semakin kita tertinggal maka semakin berat kita mengejar ketertinggalan kita.

4.Pemerataan Pendidikan

Untuk pemerataan pendidikan saya rasa Pak Anies sudah menguasai betul. Dengan sebuah terobosan Bapak melalui program Indonesia Mengajar itu sudah sangat positif. Pendidikan sudah seyogyanya dapat dinikmati oleh semua kalangan tanpa ada pengecualian. Semua anak Indonesia berhak atas pendidikan yang layak! Wajib belajar 9 tahun saya harap bisa ditingkatkan lagi menjadi 12 tahun.

5.Pendidikan Moral dan Kepemimpinan

Merujuk ke gagasan “Revolusi Mental” dari Pak Jokowi, tentunya sangat erat kaitannya dengan moral anak bangsa. Kita kini seperti menghadapi tantangan besar dalam era globalisasi: krisis moral. Anak-anak bebas mengakses apa saja atau bahkan secara tidak sengaja pun ia bisa mendapat informasi yang tidak layak bagi seusia anak-anak. Jika seperti itu siapa yang harus paling bertanggungjawab? Orangtua?

Saya sangat yakin bahwa orang tua adalah orang yang paling dekat dengan si anak tersebut, bagaimana kalau orang tuanya sibuk kerja? Bagaiamana kalau ia seorang yatim-piatu? Orang tua pun saya rasa tidak akan mampu mengawasi anaknya 24 jam penuh. Ingat, bahwa batu yang keras pun dapat dibuat berlubang oleh air yang menetes secara terus-menerus.

Institusi pendidikan yang memang mempunyai kewajiban untuk mendidik juga harus memiliki peranan penting dalam pendidikan moral. Lihatlah para anggota dewan yang baru saja dilantik membuat kegaduhan di gedung DPR, padahal konon mereka adalah orang-orang terpilih dan berpendidikan. Dimana moral mereka? Sekarang sedang merebak kasus bullying, kekerasan antar anak, tawuran dan lain sebagainya.

Bagaimana terciptanya untuk pemimpin masa depan jika moral anak-anak sejak dini saja sudah hancur.

Ayo Pak Anies berikan kontribusi maksimal anda untuk pendidikan Indonesia. Saya percaya Anda adalah orang yang tepat. Perlu kekuatan dan keteguhan iman untuk kerja mulia Anda 5 tahun ke depan. Bismillah!!!

SAATNYA TURUN TANGAN UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun