Mohon tunggu...
Asep Haris Mufadillah
Asep Haris Mufadillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Majalengka, Jawa Barat pada 25 Juni 1987. Namun menghabiskan masa kecil di Pulau Andalas (Sumatera) dengan kenangan akan keindahan pedalaman Riau yang mempesona. Sekarang tinggal di Majalengka, Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Masih Rasis?

25 Maret 2012   13:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:30 4219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlakuan bernada ejekan rasis adalah suatu hal yang sangat dibenci dalam kehidupan manusia yang beradab, sehingga selalu mendapat penolakan dari setiap ajaran agama maupun teori ilmu sosial.

Menurut Wikipedia rasisme memiliki arti suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Sedangkan menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu.

Salahsatu contoh paling nyata dari tindakan rasis adalah politik apartheid di Afrika Selatan, yaitu kebijakan yang menyangkut pelayanan penduduk dengan mengutamakan golongan kulit putih dan menindas golongan kulit hitam.

Meski kebijakan politik apartheid tersebut telah musnah di Afrika Selatan beberapa tahun lalu, seiring dengan perkembangan menuju kehidupan yang senantiasa berlandaskan Hak Asasi Manusia di Negara paling ujung selatan benua Afrika itu, namun tidak di dunia sepakbola. Rasis masih merupakan virus yang susah diberantas. FIFA sampai mengkampanyekan slogan “Say No To Racism” disetiap awal pertandingan turnamen internasional maupun eksibisi.

Contoh paling anyar adalah kasus yang menimpa Luis Suarez dan Patrice Evra, terlepas dari unsur ketegangan yang melanda pertandingan besar antara Liverpool dan Manchester United, serta provokasi dari pihak-pihak lainnya. Sikap Luis Suarez yang mengatakan sesuatu hal yang berbau rasis tentu merupakan hal yang sangat disayangkan, terlebih bagi pemain kelas dunia seperti Suarez. Mundur beberapa tahun sebelumnya, kita mengenal nama Sinisa Mihajlovic sebagai pemain sepakbola yang sering mendapat sanksi akibat tindakan rasisnya, terlebih lagi Miha bermain di Lazio yang suporter ultrasnya terkenal paling rasis di Italia.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? apakah rasis itu ada dalam kehidupan sehari-hari ? Tanpa kita sadari, masih ada sebagian masyarakat di Negara kita yang berperilaku rasis, meskipun tindakan rasis yang ditujukan bukan pada warna kulitnya, namun lebih kepada penghinaan terhadap daerah asal, silsilah, nama maupun status sosial.

Contoh paling sahih adalah kata “kampungan” yang sering kita dengar di sinetron televisi. Kata kampungan disini berarti penghinaan terhadap orang desa, dan dianggap tidak memiliki norma kehidupan standar perkotaan. Sebagai orang yang lahir, tumbuh, besar, dan mencari penghidupan di desa tentu saya sangat miris dan tersayat hatinya bila mendengar kata tersebut disebutkan dalam adegan sinetron. Walaupun itu hanya adegan dalam sebuah sinetron tapi pengaruh kata “kampungan” yang ditimbulkan televisi sangat luas dan bisa mempengaruhi perkembangan anak khususnya anak di pedesaan. Mereka akan berada dalam situasi minder dan tidak memiliki kepercayaan diri sehingga ‘nrimo’ saja dengan keadaan dan cap kampungan yang sudah terlanjur melekat seperti dalam adegan sinetron. Pengaruh buruk juga bisa terjadi untuk anak di perkotaan, bagaimana mereka tidak akan memiliki kepekaan terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya karena beranggapan lebih superior dibandingkan dengan anak di pedesaan. Tentu akan seperti apa generasi mereka ketika telah dewasa.

Negara kita diproklamirkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan orang kampung atau kota. Pada masa itu semangat kebangsaan dan rasa ingin merdeka dari penjajahan begitu kuat tertanam dalam jiwa masyarakatnya. Tapi perlahan tapi pasti, Negara kita telah berada dalam titik jurang kematian budayanya, bagaimana pada akhirnya kita menerima segala sesuatu yang berasal dari Barat adalah semuanya baik dan merupakan standar hidup manusia modern tanpa kita menyaringnya dulu agar sesuai dengan kebutuhan kita. Kita seperti lupa kepada purwadaksi, dan hanya akan bereaksi ketika ada nilai budaya yang diakui oleh Negara lain tanpa merenung mengapa nilai budaya itu dicuri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun