Mohon tunggu...
Ahmed Fauzy Hawi
Ahmed Fauzy Hawi Mohon Tunggu... Human Resources - Penulis Puisi

The second child of the romantic couple, Sahawi and Saniah | Writing poetry | Studied at the University of Cokroaminoto Yogyakarta, majoring in management with the consenation of human resources management.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat Kepada Kawan

20 September 2019   17:21 Diperbarui: 20 September 2019   17:33 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mereka telah tua dan pikun
Menenun tawa dari luka-luka rakyatnya
dan menyulam serta memintal bahagia
dari daging busuk kematian
orang-orang yang diwakilinya.

Ada luka yang tak bisa sembuh
meski telah seabad lamanya.
Membekas dan bernanah-nanah

Kau tahu mengapa petaka selalu datang
menimpa dan perang tidak pernah usai
antara kami dan mereka?
Semua itu disebabkan darah masih mendidih
dan suci hati enggan mengingkari
kebenaran yang sengaja ditutup-tutupi.

Jika Indonesia berduka, maka
sebaliknya mereka tertawa
merasa bangga dan menang atas pencapaiannya 
mendiskriminasi nasib penghuni bumi.

Jika Indonesia menangis, maka
hal itu tak lebih dari nyanyian pagi
bagi mereka untuk menyambut rezeki.

Kau tahu mengapa, Kawan?
Tulang belulang mereka himpun
dijadikan tempat berpijak
dan mayat-mayat sengaja dijadikan
alas untuk mendaki.

Jika Indonesia bernyanyi, maka
mereka mencaci penuh nyinyir dan benci.

Mereka mulai merasa menang
dan tak tertandingi.
Kau tahu itu karena apa?
Karena pasal-pasal mengisyaratkan kemenangan
bagi mereka dan kaum yang didukungnya
: Setan-setan dan hewan-hewan busuk

Kau tahu Kawan? Seekor Babi ketika hendak makan
ia akan mengendus-ngendus dan mendengkur.
Dan kau bisa lihat sendiri
di gedung mewah berkursi megah
kau kan temukan, bunyi khas seperti itu.

Cukup di sini ya kawan
Karena aku masih merasa takut
lubang buaya kembali terbuka
seperti masa-masa sebelum hari ini.

Cukup sampai di sini ya suratku ini
karena aku masih getir, laras panjang
moncong senjata membidik kepala.
Semoga, kelak Indonesia tak lagi menangis
dan berduka apalagi kehilangan martabatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun