Mohon tunggu...
Ahmed Samij
Ahmed Samij Mohon Tunggu... -

Aku hanya seorang insan biasa yang sedang mencoba merangkak demi mewujudkan mimpi sang jiwa. Aku bukanlah seorang yang hebat, namun aku berkeinginan untuk menciptakan satu kehebatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Tidak Gila

3 Maret 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kian hari terasa tubuhku kian melemah. Tak berdaya malah. Kedua kakiku masih terpasung. Rantai tak mau terlepas dan sudah berkarat. Alasan satu-satunya mereka takut melepaskanku dari jeratan rantai dan kayu mati ini adalah membunuh. Tak terbersit di pikiran warasku untuk melakukan sesuatu di luar kesadaranku. Ya, karena aku manusia sadar. Orang-orang sudah menganggap aku mengidap penyakit gila stadium sepuluh (kalau ada).  Setahun sudah aku terpasung di sebuah kamar beralaskan tanah. Sarung sudah berubah warna, dan kulitku pun sudah mulai mengkerut kehitaman akibat daki yang berkerak.

Dulu kedua tanganku begitu kuat, kuat sekuat manusia-manusia yang berkeliaran di luar sana. Berjalan pun aku begitu cepat. Tapi sekarang! Sekarang! Aku tak ubahnya seperti bayi bertubuh dewasa. Bukankah manusia diciptakan untuk mencium aroma alam. Melihat pemandangan yang indah-indah. Menghitung bintang-bintang dan menerka-nerka nasib masa depan. Tapi sayang aku justru terpasung di tempat jahanam ini.

Kini genap setahun aku terpasung. Lobang Atap rumbia makin hari makin luas menjalar. Di kala hujan turun aku seperti disiram dengan seember air. Meninggalkan sisa malamku dalam kedinginan. Kenapa kau perlakukanku seperti ini Mak! Apa tujuan kau lahirkan aku ke dunia ini hanya untuk meringkuk di tempat terkutuk ini. Tidak kau ingat aku sering mengangkut kayu-kayu kecil. Kita bersama-sama membawa kayu-kayu itu pulang ke rumah. Mak! Tentu kenangan itu masih segar dalam kepalamu. Dan aku juga turut membelah kayu besar yang diseret air di saat banjir setahun lalu. Kita bersama-sama jua menyusun kayu-kayu yang sudah terbelah dan bersama-sama kita mengangkatnya untuk kita bawa pulang ke rumah. Aku juga masih ingat di saat kau berkata “kau anakku satu-satunya. Darah dagingku yang membantuku di saat tua.” Aku masih ingat kata-kata itu. Berderai airmataku di waktu aku mendengar kalimat suci yang keluar dari mulut mu itu Mak.

Aku juga ingat pada saat ayah meninggal. Aku sendiriyang menggali kubur ayah. Aku sendiri yang azan di saat jenazah ayah diturunkan ke liang lahat. Kulihat mata engkau berkaca, dan sekali-kali kau mengeluarkan cairan putih dari hidungmu. Aku semua ingat Mak. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa aku gila.

Memang, gubuk celaka ini tempat lebih baik untukku. Karena menurut banyak orang, aku memang gila dan membunuh bila aku dibebaskan dari pohon mati ini. Tidak! Aku bukan pembunuh dan juga bukan orang gila. Engkau Mak begitu mudah termakan isu. Isu yang tersebar dari mulut-mulut keparat itu. Kau tahu Mak, mereka sudah lama benci padaku. Mereka sebenarnya ingin membunuhku karena aku sudah mengetahui rencana busuk mereka terhadap kepala desa kita. Aku mendengarnya di saat mereka mengatur rencana untuk menggulingkan Rahman Hamid dari posisi kepala desa. Padahal beliau adalah kepala desa yang baik Mak. Baik sekali. Biarlah kuceritakan sedikit:

Setahun lalu aku masih dianggap waras. Berjalanlah aku ke rumah Umar. Aku ingin mengajaknya memancing di sungai. Rangkang kecil bertangga terletak sekitar tiga puluh meter dengan rumah si Umar. Di saat aku melewati rangkang itu terdengarlah suara bisik-bisik yang keluar dari rangkang berbentuk kubus tersebut. Lalu aku rapatkan kedua telingaku ke arah suara kecil itu. Aku mendengar suara Mahdi. Mak kenal bukan si Mahdi. Manusia terkutuk berkulit hitam. Kumisnya lebih jelek daripada kumis kucing. Aku melihatnya melalui celah dinding papan rangkang. Di dalam pertemuan jahat itu, aku mendengar si Mahdi berkata kepada kawan-kawan yang ikut terjahannamkan bahwa Kepala Desa Rahman Mahdi harus disingkirkan karena dia banyak mengatur kaum muda. “Dia tidak suka kalau kita berkumpul-kumpul, menghisap ganja, dan main domino. Dia sudah menganggu kebebasan kita”. Kemudian kudengar balasan dari Syafii. Mak kenal juga dengan Syafii, bukan? Anak si penjudi besar itu. Nurdin nama ayahnya. Dia menyetujui rencana bejat Mahdi. Dan ada beberapa orang lain yang tak bisa kukenali. Kemudian tangga yang kuinjak itu patah, terdengarlah suara patahan itu. Mereka berteriak “awas kau keparat, kami kenal siapa kau. Kau harus kubunuh karena kau sudah tahu rahasia kami”. Aku meloncat dari tangga hingga kakiku keseleo. Nampak lah wajahku di mata mereka. Aku berusaha keras lari ke rumah si Umar. Mereka tercegat di saat melihat ayah si Umar keluar. Aku selamat Mak! Aku begitu gugup, nafasku tersengal-sengal dan takut bukan main di kala itu. Tak keluar satu kata pun di saat ayah si Umar bertanya kenapa.

Setelah itu. Mahdi si jahannam itu melancarkan propaganda bahwa aku sudah gila. Pang Sawang, ayah si Umar di saat itu turut menyaksikan apa yang dilakukan Mahdi terhadapku tak cukup berdaya untuk meredakan propaganda bejat Mahdi. Tanpa pertimbangan sedikitpun dia menuduh aku memukulnya. Padahal Mak merekalah yang hendak membunuhku. Kurasa engkau begitu ingat di saat Mahdi datang ke rumah. Dia bilang pada Mak bahwa aku sudah gila. Dan engkau dengan mudah percaya bahwa aku benar-benar gila. Tidak sedikitpun kau mendengar alasan yang keluar dari mulut kecil ku ini. Malah engkau minta bantuan si Mahdi dan kawan-kawannya untuk memasungkanku. Bukankah itu suatu kekejaman? Sungguh kejam Mak. Kau telah merenggut hakikat seorang manusia. Manusia itu adalah anakmu sendiri yang ingin hidup dan menikmati indahnya alam ini beberapa saat lagi. Yang tak habis pikir lagi kenapa engkau begitu nyakin bahwa aku gila. Bukankah kau lebih tahu keadaanku daripada si jahanam itu. Mak! Entah apa yang merasuki pikiranmu. Yang jelas aku sekarang sudah terpasung. Meski aku selalu berbicara lembut dengan engkau dan rasional tapi tetap kau anggap aku ini memang betul-betul sudah gila. Bila engkau tidak mendengarkanku jangan harap manusia-manusia lain melakukan sebaliknya. Mak, engkau harus tahu dunia sekarang. Orang yang berbicara benar dianggap gila. Dan aku salah satu korbannya. Engkau begitu tega Mak!

Aku tidak menerima keadaanku sekarang ini Mak. Karena aku korban dari jebakan-jebakan si Mahdi. Sebelum aku kau pasungkan. Aku sempat bercerita kepada si Umar. Aku menceritakan semua yang kudengar di rangkang itu. Tapi sayang Mak, dia begitu lemah dan takut kepada si Mahdi yang berkumis lebih jelek daripada kumis kucing itu. Sia-sia saja aku ceritakan perihal tersebut kepadanya. Mungkin si Mahdi sudah banyak mendapat dukungan dari pemuda-pemuda sekepala dengannya. Hari ini si Umar datang lagi ke gubuk jahanam ini. Dia berkata “Mahdi sudah mendapatkan dukungan dari tetua-tetua-kampung untuk menggulingkan Kepala Desa Rahman Hamid. Tinggal menunggu waktu saja, Teungku Rahman Hamid lengser.” Hatiku sedih dengan pernyataan si Umar. Kemudian aku berkata, “tidak ada usahakah untuk mempertahankan posisi Rahman Hamid?” Dia menggelengkan kepala dan beranjak pergi. Benar dugaanku Mahdi telah mendapat banyak dukungan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa Mak, karena kakiku masih terkurung dalam lobang kayu mati terkutuk ini. Kau hanya datang di saat mengantarkan makanan. Lalu kau pergi, dan tak mau kau dengarkan lagi kata-kataku. Kenapa Mak? Sebegitu bencikah kau kepadaku. Seharusnya aku yang membencimu karena kau telah melakukan kesalahan terhadapku. Tapi aku tidak tega membencimu karena kaulah yang melahirkanku ke dunia ini. Walaupun hanya beberapa tahun aku melihat matahari bersinar dan goyangan dedaunan, itu sangat berjasa bagiku. Sekali lagi Mak aku tidak gila.

Dalam setahun ini. Aku sudah berteman dengan nyamuk-nyamuk. Mereka begitu akrab denganku sekarang. Badanku pun sudah membenci air. Daki melekat di setiap lekuk tubuh kurusku. Aku sangat kurus sekarang Mak. Tidak seorang pun yang ingin hidup seperti ini. Hidup di pasungan memang benar-benar tak menyenangkan. Tapi kurasa kau Mak belum mengerti. Kunyakin si Mahdi sering datang ke rumah memompa isu-isu kegilaanku dengan tujuan rahasia busuk mereka tidak terungkap. Mahdi dan kawan-kawannya begitu takut bila aku bebas dari pasungan ini.

Mak, ini malam pertama tahun 2010. Setahun lebih setengah hari aku berada di pasungan. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah di samping gubuk pasunganku. Aku curiga si Mahdi mencoba menakut-nakutkan ku. Dia dan kawan-kawannya berpikir aku takut. Aku tidak takut lagi Mak. Aku sudah berani sekarang. Aku tidak takut apa-apa lagi sekarang karena aku lebih menghargai kematian daripada hidup di pasungan ini. Kukira sama saja antara hidup di pasungan dengan kematian. Toh, hidup di pasungan tidak bisa menjenguk dunia luar, juga di alam kubur aku tidak bisa naik menyentuh helaian daun bumi. Ternyata benar dugaanku. Mahdi, Syafii, Azman dan Karim masuk ke gubuk terkutuk ini. Dia mengejek-ngejek penderitaanku. Mahdi berkata begini, “rasain kau. Begitu kuat pengaruhku bukan? Kau berhasil kuseret ke pasungan ini.” Kemudian mereka tertawa terbahak-bahak hingga perut mereka mengeras. Wajah mereka begitu samar-samar karena cahaya lampu minyak begitu temaram. Sakit hatiku bukan main Mak di saat ejekan mereka kudengar. Mereka begitu senang dengan penderitaanku. Alangkah jahanamnya manusia-manusia itu yang menari di atas penderitaanku. Setelah lelah mereka mengejekku mereka pergi. Sepeninggal mereka kebencianku mulai memuncak. Ingin kubunuh ekor per ekor. Kubabat habis-habis kepala mereka. Tapi pasungan ini meredakan kebencianku.

Pasungan ini telah membuat hatiku terpenjara pula. Hanya pikiranku saja bermain-main di angkasa lewat lobang-lobang daun rumbia. Aku telah melupakan kejadian semalam. Kunjugan mereka benar-benar membuatku tak tentram lagi. Hatiku kini tercabik-tercabik dan tak sanggup kuleraikan cabikan itu. Mak! Kau sudah tahu aku ini anak mu satu-satunya. Hanya satu permintaanku kepada engkau Mak. Tolong kau lepaskan aku karena aku tidak gila. Dan izinkan aku untuk membela Kepala Desa Teungku Rahman Hamid dari cepreten tindakan jahanam si Mahdi. Tolong Mak. Kalau tidak mungkin kau lepaskan aku tak lama lagi si Mahdi akan menjadi Kepala Desa Bungong Jeumpa. Dan jadilah kampung kita seperti jaman jahiliyah dulu. Bila itu terjadi jangan kau salahkan aku Mak. Karena suara kebenaran yang dulu aku ungkapkan dianggap gila. Memang dunia ini sudah terbalik ke dalam jurang kelicikan dan keburukan. Bila kau tidak bebaskan aku, maka sekalian saja kau tusuk aku dengan pedang ayah. Biar aku temukan alam lain, yang mungkin lebih baik dari alam terkutuk ini. Satu lagi harus kau ingat Mak. Orang jujur tidak boleh lagi menghuni bumi Tuhan ini. Sudah berubah kiranya Mak! Orang-orang licik kini yang mendapat giliran hidup di bumi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun