Mohon tunggu...
Darmawan
Darmawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Firdaus Djaelani, dari Betawi untuk Jakarta

21 Maret 2016   13:11 Diperbarui: 21 Maret 2016   18:46 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Firdaus Djaelani, Dari Betawi Untuk Jakarta

Oleh : Ali Sodikin

Sejarah Jakarta adalah sejarah kolonialisme dan pejajahan. Berbagai bangsa asing silih berganti merebut, menduduki, dan menguasai Jakarta. Ada Portugis, Inggris, dan juga Belanda. Yang terakhir bahkan hingga ratusan tahun.

Akibatnya, penduduk lokal (Betawi) yang telah mendiami Jakarta ratusan bahkan ribuan tahun lalu tersingkir secara paksa dan sistematis dipinggirkan dalam segala lini kehidupan. Disingkirkan dan dipinggirkan dari akses ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh bangsa-bangsa penjajah.

Era kemerdekaan, ketika bangsa ini berbenah, berproses mencari bentuk dan sistem negara-bangsa, hiruk-pikuk, riuh rendah era eforia politik, bahkan memunculkan konflik-konflik kekerasan dan pemberotakan dari banyak anak bangsa yang dilatarbelakangi berbagai konflik ideologi dan kepentingan, Soeharto yang akhirnya tampil sebagai pemenang dalam puncak dan  klimaksnya perseteruan antar bangsa sendiri memutuskan untuk memerintah dengan pola dan sistem yang otoriter dari pusat hingga daerah-daerah.

Dalam konteks pemimpin daerah, Gubernur, Bupat/Walikota , rezim Soeharto juga menerapkan kebijakan yang sangat ketat dan otoriter. Termasuk siapa yang harus menjadi Gubernur di DKI Jakarta. David Jenkis dalam bukunya Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA yang mengutip data dari Jenderal Nasution, pada tahun 1977, ketika Indonesia masih terbagi dalam 27 Propinsi, 21 dari 27 Gubernur adalah dari militer atau setara dengan 78%. Di pulau Jawa, 4 dari 5 Gubernur adalah militer, kecuali Yogyakarta. Lebih lanjut Nasution menjelaskan, selain itu para Gubernur tersebut dikategorikan menjadi tiga macam, yakni “orangnya Soeharto, orangnya Amir Machmud dan orangnya Hankam”. Dan para Gubernur tersebut diangkat oleh Presiden.

Karena kebijakan era Soeharto bersifat mutlak, maka proses demokrasi dalam pemilihan Gubernur tidak memiliki celah sedikitpun. Seluruh kebijakan adalah top down, dari atas kebawah, tidak ada pertimbangan yang digali dari aspirasi dan keinginan rakyat. Begitu juga dalam konsep pembangunan yang sangat sentralistik selama 32 tahun menjadikan kue pembangunan terpusat hanya di Jakarta. Akibatnya Jakarta menjadi kota dengan persoalan yang super-kompleks, karena Jakarta menjadi target utama kaum urban dari seluruh pelosok tanah air.

Secara umum penduduk Jakarta didominasi oleh orang Jawa, Betawi, Sunda dan Tionghoa. Menurut catatan BPS DKI Jakarta tahun 2012, penduduk Jakarta terdiri dari suku Jawa (35,16%), Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minang (3,18%), Melayu (1,62%), lain-lain (7,98%).

Mayoritas penduduk DKI Jakarta berpendidikan tingkat SLTA. Dengan perincian  tamat SLTA kebawah sebanyak 86,,22 %, dengan rincian lulus SLTA 3.873.916, lulus SLTP 1.556.107 jiwa, lulus SD 1.323.116 jiwa dan belum lulus SD 745.496 jiwa, serta tidak /belum sekolah 1.281.469 jiwa. Lulusan perguruan tinggi sebanyak 13,78%, dengan rincian  lulusan D1-42664 jiwa, D3-3.340.979 jiwa, S1-940.884 jiwa,  S2-73.616 jiwa dan  S3-5.251 jiwa. (data terus berkembang). Berdasar fakta dan data tersebut maka Jakarta adalah kota dalam kubangan masalah sosial yang sangat kompleks.
 

Baru setelah reformasi politik menjadi fenomena alam sejarah politik Indonesia dan daerah-daerah mendapat angin segar perubahan, pola dan sistem politik menjadi demokratis, pemilihan kepala-kepala daerah termasuk Gubernur dilaksanakan dengan demokratis yakni  Pilkada langsung.

Pilkada langsung untuk DKI Jakarta mulai diselenggarakan pada tahun 2007. Maka geliat dan semangat demokrasi warga Jakarta mulai mengemuka dan bergairah. Berbagai aspirasi politik yang beragam selaras dengan kemajemukan warga Jakarta juga berkembang, saling berebut eksentensinya.

Tak terasa kini Jakarta dan warganya akan menghadapi hajatan politik Pilkada langsung yang ketiga. Balon Gubernur mulai bermunculan. Salah satunya adalah Firdaus Djaelani (Bang Daus), sosok putra daerah asli Jakarta (Betawi). Majunya Bang Daus tidak semata-mata karena semangat ke-Betawian, yang didasari semangat egosentris sebagai penduduk asli Jakarta. Akan tetapi munculnya Bang Daus karena memang dirinya sangat layak menjadi pemimpin DKI Jakarta.

Sebagai ekonom handal, Bang Daus memiliki prestasi segudang. Hal tersebut didasari pendidikan tinggi yang dimilikinya. Jejak rekam keluarga besar Bang Daus dari keturunan ulama besar Betawi Kyai Haji Safii (cikal bakal pendidikan Assafiiah). Pergaulan yang sangat luas (Betawi Kosmopolit).

Sebagai pribadi yang lahir dari rahim keluarga ulama besar Betawi, Firdaus Djaelani tampil dengan menawarkan cara berpikir yang berbeda yang berlandaskan pada nilai luhur religius. Plus, sebagai putra asli Betawi, Bang Daus adalah pribadi yang inklusif, penuh toleran, terbuka, anti-diskriminasi, dan ramah. Karena pada dasarnya budaya Betawi adalah asimilasi dari berbagai budaya nusantara. Ada unsur Jawa, Sunda, Tionghoa, Arab, Melayu dan sebagainya.  Kearifan lokal tersebut merupakan modal yang sangat penting untuk memimpin Jakarta.

Kita tahu Jakarta adalah kota dengan kondisi ekstra-majemuk, nyaris semua suku dan etnis bangsa dari seluruh Indonesia ada di tanah Betawi ini. Maka kepemimpinan yang dilandasi kebijaksanaan dan kearifan luhurlah yang akan mampu menjaga keseimbangan dan keadilan bagi warganya.

Modal sebagai ekonom yang cemerlang juga diharapkan akan mampu menelorkan ide dan gagasan bagaimana meningkatkan perekonomian warga Jakarta. Kita tahu meski Jakarta tempat berkumpulnya para “dewa” dari berbagai jenis dan kelas elit. Kita juga sangat mengetahui bahwa sebagian besar warga Jakarta hidup dalam situasi yang tidak beruntung, rakyat kecil (miskin, pengangguran, rumah kumuh dsb).

Dari indikator dan siuasi-kondisi Jakarta tersebut, maka pilihan kita untuk mengusung dan mendorong Firdaus Djaelani “Bang Daus” sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah pilihan yang sangat cerdas dan elegan.

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun