Mohon tunggu...
Ahmed Tsar Blenzinky
Ahmed Tsar Blenzinky Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger | Content Creator | Sagitarius

Co-Founder BRid (Blogger Reporter Indonesia) | Sekarang Lebih Aktif di https://ahmedtsar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Problema Menulisku Saat Ini

8 Mei 2010   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_136226" align="alignleft" width="281" caption="Ilustrasi"][/caption]

Tidak bisa memilih kata yang tepat. Itulah masalah menulisku saat ini. Maksudnya, ketika ingin memindahkan kata dari memoriku ke layar komputer, otak seakan menahan keinginanku. Akibatnya, memoriku hanya mengingat berbagai kata persamaannya. Kata yang ingin diketik hilang tak berbekas. “Lho kenapa, tidak diteruskan saja dengan mengetik kata persamaannya?” Itulah, kalau aku memaksakan menuliskan kata pengganti, nantinya akan gagal dalam memberi pesan ke pembaca.

Saya berpihak pada filsuf bahasa (“siapa ya namanya. Lupa”) yang tesisnya kurang lebih begini: “Tak ada persamaan kata karena masing-masing kata tercipta untuk mewakili satu asosiasi saja”. Misalnya kata“memandang” tidak bisa dipersandingkan dengan kata “melihat”. Memandang ya (kurang lebih) mempergunakan kedua mata sekaligus hati untuk mendeskripsikan sesuatu yang menarik perhatian pemandang. Sedangkan kata “melihat” hanya mewakilkan pekerjaan kedua mata subyek atau obyek. Begitu pula dengan yang lainnya.

“Lalu apa hubungannya dengan khawatir tidak sampainya pesan tulisan ke pembaca, kalau tidak berhasil menuliskan kata yang tepat?” Nah, ini. Saya mengandaikannya begini, penulis yang gagal menempatkan kata yang tepat akan membuat pembaca tertipu. Awalnya, pembaca akan salah mengartikan makna kata tersebut. Akhirnya, pembaca akan salah arah menangkap pesannya. Ingat, makna kata berkaitan dengan satu asosiasi yang mewakili kata tersebut. “Penggandaiannya kurang tepat ya?” Ya seperti menggemas kado saja. Walau sama-sama bungkus, kemasan kado yang salah akan membuat penerima hadiah salah mengartikannya.

Problema ini mungkin yang menjadi sebab sebuah tulisan yang “kering”, lawannya adalah tulisan yang “mengalir”. Pantas saja banyak pakar kepenulisan berasumsi “seseorang yang banyak menguasai berbagai macam kosa kata, akan semakin lihai menulis”. Ya karena tulisannya mengalir. Mengalir mengandaikan tidak ada sesuatu yang menganjal pembaca dalam menikmati tulisan. Penganjal itu banyak macamnya. Ya seperti kata-kata usang yang diulang, diksi yang kurang tepat, kata yang membuat pembaca berpikir lebih dari dua kali dan lain-lain. Termasuk, pemilihan kata yang tepat.

Apakah ini problema yang menghinggapi penulis pemula? Menurutku, ya. Artinya apa? Saya masih termasuk penulis pemula. Bahkan awam. Saya jadi teringat suatu pertanyaan di Kompasiana MODIS kedua, kurang lebih begini: “bagaimana menulis tanpa dibarengi dengan aktivitas membaca?” jawaban saya secara positif “tidak bisa, harus dibarengi dengan aktivitas membaca berbagai buku karena di dalam segala macam buku terdapat aneka kosa kata”. Lebih jauh, memori yang terbiasa menyimpan aneka kosa kata secara otomatis akan mentransfer aneka kosa kata tersebut ketika melakukan aktivitas menulis.

Jawaban secara bijak “Bisa. Menulis tanpa membaca buku bisa jika anda membaca lingkungan sekitar. Apa kata lingkungan sekitar langsung anda tuliskan”. Tapi menurut saya ini berat. Ya karena harus mengikutkan hati ketika menulis. Kalimat lainnya, gaya tulisan ini adalah curhat yang direkam dalam tulisan. Bagi penulis fiksi dan absurd, jawaban ini sangat benar. Saya tidak mengadili kedua penulis tersebut. Bahkan saya ingin menjadi penulis fiksi yang handal.

“Lalu, apakah problema ini masih menjadi masalah buat saya?” Setelah melewati lima alinea tulisan ini, saya jadi berpikir. Problema yang saya ajukan ternyata bukan masalah bagi orang lain. Artinya apa? Sebagai penulis pemula, saya harus banyak berlatih saja, baik berlatih menulis maupun membaca. Biarlah penulis lain yang gagal menempatkan kata, mungkin memang maksudnya begitu agar pembaca tak cepat menangkap pesannya. Makin bingung pembaca, makin senang penulisnya. Lho kok? Waduh kok saya terjebak dalam stigmatisasi. Mohon maaf, saya tidak bermaksud menuliskan, penulis yang gagal menempatkan kata berarti penulis yang tidak terbiasa latihan membaca dan menulis.

Apakah anda sema para pembaca pnya saran ntuk masalahku ini? Please, sharing....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun