Menurut saya, ini merupakan kebetulan yang tak sengaja. Ya, wacana yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan sebagian para kompasianers saat ini secara tak sengaja menemukan pendulumnya pada tema besar ulang tahun SKH Kompas. Tahun ini, Kompas merayakan dirgahayu yang ke-45 dengan mengangkat tema “merajut Nusantara”. Apa yang didialogkan oleh beberapa kompasianers mengandaikan benang apa yang pantas untuk mejadi bahan rajutan keindonesiaan masa kini. Apakah benang berwarna kesatuan atau benang bergradasi federasi. Ketika sebuah media besar mempertanyakan sulaman keindonesiaan pada saat ini, patut kita berefleksi: apakah selama ini baju rajutan yang susah payah dirancang oleh para founding fathers telah usang? Memperhatikan berbalas dialog dari para kompasaners yang terlibat, ada semacam suatu hipotesa yang didapat. Nampaknya, permasalahan bukan terletak pada pakaian rajutan yang berpola negara kesatuan atau pola federasi. Akan tetapi pada sejauh mana pakaian rajutan tersebut memberikan nilai guna pada pemakainya. Dengan kalimat lain, jangan meributkan kesatuan atau federasi karena keduanya merupakan bentuk. Yang terpenting, bagaimana mencari isi yang bermanfaat bagi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bermanfaat bagi siapa? Tentunya bagi sebagian besar masyarakat bukan pada kaum elite. Lalu, apa isi yang pantas bagi bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa kini? Tengoklah pada sejarah perpolitikan dunia, kita akan menemukan suatu konsep yang mungkin pantas bagi NKRI. Jawabnya, bukan kapitalisme, sosialisme apalagi neoliberalisme. Coba kita menengok pada wacana Welfare State. Nampaknya, ia pantas dijadikan solusi. Inilah yang sedang digunakan oleh negara Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan berbagai negara maju. Negara kesejahteraan mendeskripsikan sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare), pelayanan sosial (social services) dan sistem pendekatan ideal yang menekankan cara memperoleh pelayanan sosial bagi setiap orang sebagai haknya (edi Soeharto: 2006). Ide dasar negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens. Bentham menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak kesejahteraan negara” (father of welfare states). Negara kesejahteraan merupakan anak kandung pergumulan ideologi dan teori, khususnya yang bermatra sayap kiri (left wing view), seperti Marxisme, Sosialisme, dan Sosial Demokratik. Namun demikian, dan ini yang menarik, konsep kesejahteraan negara justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis, bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, kesejahteraan negara sering dipandang sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas. Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari "kapitalisme baik hati"(compassionate capitalism). Dalam konteks kapitalisme, negara kesejahteraan memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara. Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme. Marshall melihat sistem kesejahteraan negara sebagai kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja untuk menciptakan stabilitas sosial dan memelihara masyarakat kapitalis. Pelayanan sosial yang diberikan pada dasarnya merupakan ekspresi material dari hak-hak warga negara dalam merespon konsekuensi-konsekuensi kapitalisme. Jadi, untuk reinventing keindonesiaan pada masa kini hendaknya bukan lagi mempersoalkan ideologi melainkan menentukan framework dengan cermat dan tepat. Meminjam analogi Edi Suharto, saat ini kesalahan dalam memilih kerangka kerja konseptual dan operasional akan membuat Indonesia terlihat seperti ‘menari-nari’. Tetapi, tarian Indonesia hanya mengikuti ‘gendang dan irama’ yang dimainkan lembaga internasional, seperti IMF atau Bank Dunia. untuk lebih lengkapnya tentang negara kesejahteraan, kunjungi situs www.policy.hu/suharto.htm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H