Mohon tunggu...
Ahmed Tsar Blenzinky
Ahmed Tsar Blenzinky Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger | Content Creator | Sagitarius

Co-Founder BRid (Blogger Reporter Indonesia) | Sekarang Lebih Aktif di https://ahmedtsar.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Disarankan Masuk SLB

16 Juli 2012   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:54 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari pertama sekolah. Teringat langsung suatu kata, yaitu menyenangkan. Ya itulah kesan saya pertama kali ketika mengingat sewaktu masuk SD (Sekolah Dasar) kelas satu. Saya pun gembira menyambutnya sama seperti anak-anak seusia tujuh tahun yang baru pertama kali memasuki tahun ajaran.

Terkenang waktu itu adalah, saya semangat sekali bangun pagi-pagi demi mencoba seragam SD dan bertemu teman-teman baru di salah-satu SD Kebagusan, Jakarta. Itu saja yang berkesan buat saya kala mengenang pertama kali masuk SD.

Namun belakangan saya baru tahu dari cerita orangtua, ternyata saya hampir gagal masuk SD pada tahun 1986. Hal ini disebabkan karena rupa fisik saya yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Ya saya difabel pada kedua mata (convergent strabismus).

Waktu itu Kepala Sekolah menyarankan orangtua saya (ibu), lebih baik anaknya dimasukkan ke SLB (Sekolah Luar Biasa). Alasannya, dikhawatirkan saya menjadi beban bagi sekolah. Lebih jauh, saya nantinya dianggap tak bisa menggikuti pelajaran sekolah dan itu merepotkan guru yang mengajarkan saya.

Akan tetapi ibu ngeyel (baca: gigih) untuk tetap memasukkan saya ke SD. Alasannya, anaknya bukan difabel pada otak (atau IQ di bawah anak normal). Selain itu cerita ibu, saya sedikit sudah bisa mengeja dan merangkai beberapa huruf, walau hanya sebatas "ini ibu Budi."

Akhirnya, pihak sekolah mau menerima saya sebagai salah-satu muridnya. Dengan syarat, kalau saya di kelas satu tidak bisa mengikuti pelajaran maka pihak sekolah akan mengembalikan saya ke orangtua. Ya saya harus membuktikan terlebih dahulu bahwa saya bukan difabel mental.

"Ibu, maaf ya saya telah berprasangka buruk terhadap Ahmed*. Ternyata anak ibu pinter sama dengan temen-temen lainnya," ujar Kepala Sekolah SD saya suatu hari ketika bertemu ibu. Ya menurut cerita ibu, Kepala Sekolah sampai-sampai memohon maaf secara pribadi karena ternyata saya bisa membaca, menulis dan menghitung sama seperti teman-teman yang lain.

Tidak hanya bisa membaca dan lain-lain, saya pun tidak pernah tinggal kelas dari kelas satu sampai lulus SD. Untuk rangking Raport dari kelas satu sampai kelas enam, saya selalu di antara peringkat 1 sampai 10 dari 40 siswa. Malah saya pernah menjadi salah-satu peserta (dari tiga siswa) untuk ikut lomba Cerdas Cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat SD karena dianggap mampu. Sayang waktu itu kami kalah di tingkat Kecamatan Pasar Minggu.

Bullying

Sekarang saya sangat bersyukur bila menggingat, bagaimana jika waktu itu saya ditolak sekolah di SD negeri. Termasuk juga bersyukur bagaimana saya bisa mengikuti semua mata pelajaran SD. Sewaktu kelas 1 SD, saya masih sama dengan anak yang lain masih ceria berpola pikir bocah. Seperti misalnya sewaktu istirahat sekolah, saya bermain bersama di lapangan.

Nah semenjak kelas 4, pelan-pelan saya merasa minder bermain dengan dengan teman-teman sekelas. Hal ini dikarenakan pengaruh lingkungan, yaitu intimidasi beberapa teman ke saya. Bentuknya berupa ejekan (dengan kata-kata kasar) bahwa saya berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun