[caption id="attachment_85108" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi (kompas.com)"][/caption]
Jangan-jangan pengambilan kosa kata "amuk" menjadi kata sifat atau keterangan dalam perbendaharaan Bahasa Inggris, menggambarkan karakter sebagian rakyat bangsa Indonesia. Setahu saya, hanya ada dua kata dalam bahasa Indonesia yang dialihkan ke aksara Inggris. Yaitu "orangutan" (kera besar di pulau Kalimantan dan Sumatera) dan amuk sendiri. Untuk kata amok, arti kata adjektivanya adalah frenzied as if possessed by a demon (gaduh seperti kerasukan setan). Sedangkan untuk kata keterangan, artinya adalah Wildly; without self-control (deengan liar; tanpa pengendalian diri). Dua arti kata tersebut, saya ambil dari kamus digital Wordweb Princeton University. Adakah hubungannya antara kedua kata tersebut? Saya tidak akan membahas ke arah sana.
Apa yang digambarkan makna kata amok tersebut dapat kita lihat dalam peristiwa kericuhan di gedung DPR kemarin (02/03/10). sangat-sangat tidak mengindahkan etika politik yang benar. Sebagian para wakil rakyat malah menampilkan karakter dasar leluhur manusia ala Darwin. Yakni marah, menyalahkan orang lain dan sifat primitif lainnya. Bagaimana dengan rakyat Indonesia sendiri? Apakah aksi demontrasi yang berakhir ricuh pada hari yang sama juga juga mendeskripsikan warga Indonesia yang mudah marah?
Kemana pelajaran moral yang kita pelajari dari berbagai kearifan lokal berbagai budaya di Indonesia? Belum lagi ditambah segala kearifan agama. Kearifan lokal mencerminkan ajaran budi pekerti yang diwariskan dari mulut ke mulut melalui orangtua atau lingkungan kita. Coba perhatikan berbagai suku dari Sabang sampai Merauke, banyak kearifan lokal kita yang mengajarkan bagaimana norma kehidupan itu. Walaupun saat ini memasuki era modern, masih banyak pembaca menyerap sebagian kearifan lokal. Tidak hanya pembaca, para politisi, negarawan dan rakyat kebanyakan juga masih banyak yang merasakannya.
Saya tidak percaya pada ungkapan "kericuhan tersebut merupakan bagian dari pembelajaran demokrasi" yang diucapkan banyak pakar dan para politisi yang membela diri. Apakah harus gaduh untuk mendapatkan demokrasi secara benar? Tanya pada nurani masing-masing. Tolong, jangan fokuskan kata demokrasi pada politik praktis, alihkan pada kesejahteraan rakyat. Ironi dan utopis memang. Tetapi apa salahnya mencoba. Maksudnya, ketika anda para wakil rakyat ingin marah, langsung ingatlah pada rakyat yang miskin dan kelaparan. Kalau nurani anda peduli, nicaya kemarahan tersebut mereda.
Terakhir, arti judul postingan ini senada dengan makna de-kontruksi ala filsuf Derrida. Yaitu kurang lebih, peniadaan sifat amuk pada rakyat. Mari, kita tunjukkan pada dunia, Indonesia bukan bangsa pemarah pada dunia. Tunjukkan ungkapan Toto Tentrem Kerto Raharjo (keadaan yang tentram dan membawa kesejahteraan) bukan kebanggaan semu warga Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H