Dalam rangka menyalakan kembali gairah menulis, saya kembali membaca buku-buku tips menulis. Ya konsistensi saya dalam menulis perlahan-lahan redup. Salah-satu ukurannya adalah: Bulan April ini saya jarang memposting tulisan di Kompasiana (hanya empat tulisan sepertinya). Saya merasakan di bulan ini ketika ingin menulis atau sedang menuliskan alinea awal, kepala langsung pusing (lebih pasnya mungkin: Cekot-cekot). Saya tak mau ini terus terjadi dalam diri Saya. Oleh karena itu, salah-satu usahanya adalah membaca segala buku tips menulis lalu mereviewnya kembali dengan bahasa saya (Istilahnya, mengikat makna. Meminjam istilah yang sering digunakan motivator penulisan: Hernowo Hasyim). Nah kali ini buku yang saya tulis ulang (tepatnya, hanya beberapa halaman) dengan kalimat-kalmat saya sendiri adalah: How To Write Fast Under Pressure karya Philip Vassallo.
[caption id="attachment_184359" align="aligncenter" width="480" caption="Gambar diambil dari sampul buku How To Write Fast Under Pressure karya Philip Vassallo"][/caption]
Buku karya Philiph ini bertujuan untuk memberikan solusi kepada penulis yang sedang tertimpa masalah kebuntuan menulis. Dan duaar, sepertinya inilah masalah yang saya sedang hadapi saat ini. Jangan-jangan saya memang terjebak dalam "bagaimana menyempurnakan tulisan" di awal proses menulis. Padahal dalam pengantar awal di buku itu, perfeksionist harus diimbangi proses kreatif. Berikut keterangan lebih lanjut.
Menulis mengandaikan terjadi dua proses berpikir kreatif dan kritis secara bersamaan dan berimbang. Masalah yang sering terjadi atau dengan kalimat lain sedang mengalami kebuntuan menulis, adalah: Penulis sering mempertentangkan berpikir kreatif dengan berpikir kritis. Paling sering terjadi di awal proses menulis adalah mengutamakan berpikir kritis agar tulisan langsung sempurna tanpa edit (perfeksionist). Dampaknya, segala ide yang berloncatan melalui berpikir kreatif terhambat untuk diimunculkan dalam untaian-untaian tulisan (Bahkan segala ide tersebut bisa mati sama sekali hanya karena penulis sangat berpikir kritis untuk menyempurnakan tulisan).
Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya proses menulis mengambarkan gabungan kritis dan kreatif. Tugas kreatif menulis misal: Menemukan segala ide menulis dan menulis (atau dalam hal ini, mengetik di keyboard computer) dengan kecepatan secepat ide-ide berloncatan dari otak. Adapun tugas kritis menulis di sini misal: Memilah segala ide menulis menjadi satu gagasan yang tepat untuk dituliskan (dengan cara mengubah, menambah serta menghapus) dan menjaga agar tulisan tidak keluar dari tema pada saat sedang menulis. Nah jadilah sebuah draft tulisan kala penulis mengkombinasikan kritis dengan kreatif di awal menulis. Lalu langkah selanjutnya adalah mengedit dan merevisi sebuah draft agar menjadi tulisan sempurna. Jangan salah, dalam langkah ini pun masih dibutuhkan berpikir kreatif. Seperti: membentuk (bukan memilih) pembuka serta penutup tulisan, mengulang diksi dan mempertimbangkan kata-kata yang tepat serta efektif. Ketiga langkah kreatif tersebut bertujuan agar tulisan menarik untuk dibaca.
Jadi selama penulis menulis draft hingga menjadi tulisan, disitu ada proses saling terkait antar kretif dengan kritis. Saling terkait diartikan juga sebagai tindakan pencegahan. Misal: Dalam langkah pengeditan, penulis tidak asal menghapus segala kata yang tidak “perlu” (ini tugas kritis) karena mempertimbangkan frasa-frasa menarik untuk dibaca (ini tugas kreatif). Begitu juga sebaliknya, tindakan menghapus kalimat-kalimat berlebihan serta tindakan tahu kapan saatnya kita berhenti menulis (ini tugas kritis) dapat mencegah keinginan penulis untuk menulis apapun dalam sebuah draft (ini tugas kreatif). Gambar di bawah ini mengilusrasikan dua tugas berpikir saling terkait pada saat proses menulis.
Betul ternyata, saya sepertinya lebih mementingkan tugas berpikir kritis dalam proses menulis, dibanding mengkombinasikan kedua tugas ketika menulis. Dengan kalimat lain, kebuntuan menulis saya datang dari menunggu "kesempurnaan" tulisan di pikiran kritis tanpa menulis satu kata pun. Lalu apa solusinya? Buku yang diterbitkan tahun 2010 ini baru saya baca beberapa halaman awal, maka dari itu mungkin solusinya ketemu seiring saya baca pelan-pelan buku ini sampai habis. Segitu dulu sharing saya untuk diri saya pribadi yang sedang buntu menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H