Mohon tunggu...
Ahmad Maulana
Ahmad Maulana Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Seorang pembelajar yang mecoba memberikan manfaat atas apa yang telah dipelajari

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

212 dan Konstelasi Politik 2019

17 Desember 2018   17:47 Diperbarui: 17 Desember 2018   18:02 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari pidato gubernur DKI Jakarta kala itu di Kepulauan Seribu yang menyulut demonstrasi besar-besaran pada tanggal 2 Desember 2016. Sebelum terjadinya aksi pada tangal 2 Desember 2016 itu ada serangkaian aksi-aksi yang telah dilakukan oleh jumlah masa yang cukup besar. 

Terlebih lagi setelah dikeluarkannya Fatwa MUI pada tanggal 11 Oktober 2016 yang menyatakan sikap bahwa Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Basuki Tjahaja Purnama telah menistakan agama.

Setelah itu terjadilah gelombang masa yang sangat besar pada tanggal 14 Oktober 2016 yang menuntut agar Basuki Tjahaja Purnama ini dihukum. 

Setelah menunggu sekitar 20 hari karena tidak ada kepastian hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama maka pada tanggal 4 November 2016 masa yang jumlahnya melebihi pada aksi pertama mengadakan aksi kedua untuk menuntut agar Basuki Tjahaja Purnama dipidanakan dan dipenjarakan.

lalu pada tanggal 16 November 2016 Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok dijadikan tersangka penistaan agama oleh polisi. Setelah Ahok ini dinyatakan sebagai tersangka. Mereka yang belum puas dengan hal tersebut, pada tanggal 2 Desember 2016 mengadakan demonstrasi yang jumlahnya ditaksir sekitar jutaan orang memadati kawasan silang monas, untuk mengawal kasus Ahok ini.

Ini bukanlah satu hal yang aneh, terlebih lagi Indonesia menganut sistem demokrasi yang membebaskan warga negaranya untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dan hal itu di lindungi oleh undang-undang. 

Namun yang menjadi pertanyaan mengapa setelah tuntutan mereka telah selesai, mereka terus mengadakan aksi aksi tandingan yang lainnya. Mengadakan reuni selama 2 tahun belakangan ini. Walaupun Hal itu sah-sah saja dilakukan oleh sebuah organisasi karena itu hak politik yang dilindungi oleh konstitusi.

Hal ini memberikan persepsi dipublik apakah gerakan ini murni untuk menjadikan satu gerakan sosial yang diikat dengan latar belakang kepeduliaannya terhadap agama atau memang gerakan ini adalah politisasi terhadap agama.

Pilpres 2019

Bukan suatu masalah jika memang aksi 2 Desember 2016 yang lalu ini dilatar belakangi dengan sikap politik. Namun yang belakangan ini menjadi masalah adalah mereka yang menuntut Ahok untuk dipenjarakan pada 2016 itu, hari ini menjadikan gerakan tersebut menjadi sebuah gerakan politik untuk konstelasi di 2019 nanti. Salah satunya dengan menghadirkan calon presiden no. Urut 02 kedalam acara reuni alumni 212 pada hari minggu, tanggal 2 desember 2018 kemarin. 

Walaupun dari pihak panitia mengkonfirmasi agar capres no. Urut 02 tersebut tidak berkampanye, akan tetapi dengan kehadiran beliau didalam acara reuni tersebut dapat menggiring opini publik bahwa aksi ini memang dari awal adalah gerakan politik.

Selanjutnya sebelum diadakannya acara reuni 212, ijtima ulama II yang digagas oleh ulama-ulama yang tergabung didalam aksi 212 mengeluarkan fatwa dukungannya terhadap pasangan Prabowo-Sandi. 

Hal ini ditegaskan oleh ketua persaudaraan alumni 212, setelah ditandatanganinya pakta integritas. Hal ini mengutkan persepsi ditengah masyarakat bahwa memang gerakan ini adalah gerakan sosial keagamaan yang disusupi oleh gerakan politik praktis.

Dan tidak menutup kemungkinan juga sang petahana bapak Joko Widodo memilih K.H. Ma'ruf Amin sebagai pasangannya dalam menghadapi kontestasi 2019 nanti juga untuk mendulang dukungan dari massa umat islam terutama kalangan NU.

Selain itu, dapat kita tarik fakta historis yang terjadi setelah kerusuhan aksi tanggal 4 November 2016 lalu, kala itu masa memaksa ingin bertemu presiden Jokowi yang diketahui beliau sedang tidak berada di Jakarta. Lalu kerusuhan terjadi hingga akhirnya perwakilan masa ditemui oleh wapres Jusuf Kalla.

 Setelah hal ini terjadi keesokan harinya presiden Jokowi langsung menemui PBNU dan Muhammadiyah, karena ketika itu telah menyebar persepsi negatif dikalangan masyarakat bahwa Presiden Jokowi anti islam, antek PKI, keturunan cina, dsb.

Dari fakta-fakta yang terjadi belakangan ini dapat disimpulkan bahwa kedua capres dan cawapres yang akan berkompetisi dikontestasi pilpres 2019 nanti sedang memperebutkan suara umat islam. Segala cara dilakukan mulai dari mendadak menjadi ustad, mengunjungi pondok pesantren dan yang lebih mengenaskannya lagi mempolitisasi agama untuk kepentingan pribadi.

Ahmad Maulana

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun