Mohon tunggu...
Ahmad Dwi Mubarok
Ahmad Dwi Mubarok Mohon Tunggu... Mahasiswa - student

badly written

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perbedaan Biaya Hidup Setiap Negara

30 Desember 2022   20:02 Diperbarui: 7 Maret 2023   18:54 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Well, pernahkah kalian berpikir kenapa harga-harga kebutuhan di luar negeri itu mahal ? Apalagi jika dilihat dari sudut pandang kita, masyarakat Indonesia. Misalnya, rata-rata biaya hidup di Eropa sekitar  US$ 13.350 per tahun atau US$ 1.112,5 untuk setiap bulannya (kalau dikonversikan ke rupiah sekitar Rp.17.238.187). Jika di Indonesia, uang sebesar itu sepertinya bisa digunakan untuk 3 atau 4 bulan. Kita mungkin merasa 4 atau 5 juta yang dihabiskan per bulannya adalah hal yang wajar, kita merasa cukup dengan uang itu untuk memenuhi kebutuhan kita. Sama halnya dengan masyarakat Eropa di sana, mereka merasa tercukupi dengan menghabiskan US$ 1.112,5 (17 juta Rupiah) per bulannya. Tentunya ini sebanding dengan harga kebutuhan masing-masing negara.

Bisa diambil kesimpulan seperti ini, harga kebutuhan di Eropa lebih mahal kalau dilihat dari sudut pandang kita di Indonesia (Bayangin aja uang senilai 17 juta rupiah habis dalam satu bulan) dan begitu juga sebaliknya, harga kebutuhan hidup di negara kita tampak murah dari sudut pandang mereka. Tentunya besaran biaya yang dikeluarkan masing-masing negara sebanding dengan pendapatan yang mereka terima juga. Kita bisa lihat contohnya pada upah minimum setiap provinsi di Indonesia, itu berbeda-beda, apalagi kalau skalanya internasional.

Untuk memperjelas, kita analogikan Indonesia dalam dua kondisi ekonomi dan waktu yang berbeda, hal ini berkaitan dengan penjelasan sebelumnya (Dua negara dengan kondisi ekonomi yang berbeda dalam satu waktu yang sama). UMP DKI Jakarta tahun 2000 sekitar Rp.231.000, sangat kecil dibandingkan dengan UMP DKI Jakarta saat ini yang sebesar Rp.4.453.935.

Apa yang terjadi? Saya bisa melihat beberapa indikator atau faktor-faktor yang menyebabkan kenaikan itu. Misalnya, inflasi dan GDP (Gross Domestic Product) atau produk domestik bruto. Menurut Sadono Sukirno dalam bukunya yang berjudul Makroekonomi Teori Pengantar, 

Produk Domestik Bruto (PDB) dapat diartikan sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara tersebut dalam satu tahun tertentu. 

Semua kegiatan produksi dalam negara tersebut dihitung sebagai Produk Domestik Bruto (entah itu yang diproduksi oleh perusahaan dalam negeri atau perusahaan asing yang beroperasi di negara tersebut). Saya bisa katakan, semakin banyak uang yang beredar dalam suatu negara (karena aktivitas produksi barang dan jasa), maka semakin kaya negara tersebut.

Menurut Bela Balassa dan Paul Samuelson, mereka adalah ekonom pada awal abad ke-20, menerangkan bahwa semakin tinggi tingkat produktivitas pekerja (apalagi yang berkaitan dengan perdagangan ekspor) suatu negara maka semakin kaya negara tersebut. Artinya negara tersebut menerima arus uang dari luar negeri.

Ada dua metode yang digunakan untuk menghitung Produk Domestik Bruto, bisa dengan pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Keduanya sama-sama menghasilkan angka yang sama.

Selanjutnya, inflasi juga ikut berpengaruh terhadap masalah ini. PDB tentunya berkaitan dengan harga barang dan jasa. Menurut pandangan saya, pada kondisi ketika kenaikan inflasi pada periode tertentu lebih tinggi dari kenaikan PDB dalam suatu negara, maka itu merupakan kondisi yang buruk. Hal ini bisa saja terjadi ketika harga-harga barang mengalami kenaikan melebihi dari yang mampu masyarakat beli, membuat PDB mengalami penurunan dari yang seharusnya dicapai suatu negara (masyarakat lebih memilih menyimpan uang mereka daripada menggunakannya untuk mengonsumsi barang dan jasa). Idealnya, persentase kenaikan inflasi lebih rendah dari kenaikan PDB, atau setidaknya persentase kenaikan inflasi sama dengan persentase kenaikan PDB dalam suatu periode tertentu.

Balik ke inti dari masalah ini, kita memandang negara-negara di Eropa adalah negara yang kaya sedangkan posisi kita ada jauh di bawah mereka. Kita sulit mendapatkan barang dan jasa yang mereka produksi karena selisih daya beli itu, membuat kita semakin tertinggal. Lantas, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan produktivitas pekerja kita (seperti yang dikatakan ekonom Bela Balassa dan Paul Samuelson). Sumber daya manusia yang berkompeten dapat memajukan suatu negara dengan inovasi-inovasinya. Menciptakan nilai tambah yang sangat besar pada setiap produk yang dihasilkan (apalagi kalau bisa dijual ke mancanegara, bakal menjadi arus uang masuk bagi negara kita). Sedangkan bagi seorang konsumen, sudah semestinya menggunakan uang kita untuk mengonsumsi setiap barang dan jasa yang diproduksi oleh produsen dalam negeri, sehingga terjadi perputaran ekonomi di sini.

Usahakan untuk meminimalisir pengeluaran atas barang dan jasa (termasuk liburan) luar negeri. Sebab, ketika kita menggunakan uang kita untuk kebutuhan tersebut, kita sama saja menyerahkan uang kita untuk berputar di perekonomian negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun