“Dewan = wakil rakyat, bukan wakil pengusaha” kalimat ini tercetak tebal pada spanduk yang dibawa oleh sejumlah akademisi dalam aksi protes pembangunan tol tengah Surabaya, Jumat (17/12) di gedung DPRD Surabaya. Kalimat tersebut bermakna seruan kepada para wakil rakyat agar tidak hanya berorientasi pada kepentingan pengusaha dalam merumuskan kebijakan pembangunan, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan rakyat, kebijakan yang dimaksud yakni realisasi pembangunan tol tengah kota Surabaya.
Keputusan realisasi tol tengah kota masih tarik-ulur antara pemerintah kota dan DPRD, serta mengundang kritikan dari kalangan akademisi, dan publik terseret pada hanya pada perdebatan setuju atau tidaknya pembangunan tol tengah. DPRD sebagai wakil rakyat menganggap pembangunan tol tengah adalah kebutuhan warga Surabaya , benarkah?
Kebijakan alokasi barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas harus dipertimbangkan terlebih dahulu secara menyeluruh dan terbuka pada semua pihak, namun DPRD dan Investor terkesan menggunakan kacamata kuda ketika ingin membangun tol tengah, karena kurangnya keterbukaan dan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkena dampak pembangunan, menyebabkan perhitungan biaya ganti rugi yang harus ditanggung investor kurang lengkap, salah satu pihak yang terkena dampak yakni PDAM. PDAM selaku penyedia infrastruktur air bersih mengungkapkan kerugian besar yang ditimbulkan akibat lokasi proyek tol tengah melewati jaringan pipa besar dan sekunder dan mengancam pasokan air bersih Surabaya. Temuan ini hanya dampak yang terkait jaringan air bersih, masih ada jaringan listrik, telepon, dan sebagainya yang belum diperhitungkan oleh investor.
Investor pun mengklaim melalui sebuah survey mengatakan warga mau digusur untuk kepentingan pembangunan jalan tol tengah, namun tidak dijelaskan kepada publik bagaimana kevalidan survey tersebut, mungkin saja responden saat disurvei memberikan jawaban dengan terpaksa karena merasa tidak ada pilihan lain dan praktis hanya berpikir soal ganti rugi, tidak sempat memikirkan kerugian untuk jangka panjang. Kali ini peran medialah yang menyadarkan masyarakat, dengan terus membeberkan banyaknya kerugian akibat pembangunan tol tengah, antara lain di bidang pendidikan, sosial, dan lingkungan.
Masyarakat akan mendapat dampak lingkungan yang muncul bila tol tengah ini terealisasikan, yakni hilangnya ruang terbuka hijau yang berada di median jalan, pohon-pohon yang ada sekarang harus mengalah untuk kepentingan pembangunan jalan tol tengah, padahal pohon ini berfungsi untuk paru-paru kota, juga penyejuk mata yang diperlukan untuk kenyamanan berkendara. Pemandangan asrinya jalur hijau di sepanjang jalan arteri primer dari Waru – Perak segera berganti dengan deretan pondasi jalan tol tengah.
Berkaca pada sejarah terdahulu, pembangunan jalan layang Mayangkara yang menghubungkan jalan Wonokromo dengan jalan Ahmad Yani, setidaknya memberikan sedikit gambaran tentang kondisi pelaksanaan dan pasca proyek tol tengah nantinya. Saat proses pelaksanaan proyek jalan layang Mayangkara berlangsung, konstruksi pondasi jalan layang sudah sangat menghambat arus kendaraan dari jalan Wonokromo ke jalan Ahmad Yani, menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat, dan mengganggu kegiatan perdagangan dan jasa di sekitarnya. Kini, keberadaan jalan layang ini tak lagi berpengaruh dalam mengurai kemacetan pada jalan di bawahnya, bahkan pengendara sepeda motor sering diperbolehkan menggunakan jalan layang jalan pada jam sibuk. Dari sini bisa dibayangkan betapa beratnya hambatan berkendara yang dialami warga Surabaya saat jalan tol tengah sepanjang 23,7 Km ini dibangun, dan setelah pembangunan kemacetan justru makin parah.
Solusi yang dilupakan
Sebenarnya, dalam revisi RTRW Surabaya telah menghapus rencana jalan tol tengah karena dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kota, jalan yang layak dibangun tetap tercantum dalam rencana, salah satunya rencana jalan lingkar. Jalan lingkar sebagai akses Utara-Selatan Surabaya, sepertinya sudah cukup untuk mengurai kepadatan lalu lintas di tengah kota dan mengalihkan kendaraan melewati sisi Barat dan Timur kota. Namun investor lebih tertarik membangun tol tengah ketimbang jalan lingkar, jika dilihat segi pembiayaan, pembangunan tol tengah lebih menguntungkan investor, dengan sedikit kendala dalam pembebasan lahan karena cenderung memakai bagian median jalan, dan juga asumsi pengguna tol tengah kota akan lebih ramai, akan mempercepat kembalinya modal investor.
Di sisi lain,peningkatan kapasitas jalan dengan melebarkan jalan atau membangun jalan tol bukanlah satu-satunya cara mengatasi kemacetan, adanya jalan tol akan semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat pada penggunaan kendaraan pribadi, berdasarkan data Dinas Perhubungan Surabaya, jumlah kendaraan mobil pribadi rata-rata naik 7,83 persen setiap tahunnya, ironisnya kendaraan umum semakin menurun sebanyak 0,77 persen pertahun, moda transportasi publik dalam kota seperti kereta api akan mati bila ditambah tol tengah, contohnya kereta Parahyangan Bandung diberhentikan pengoperasiannya karena terus merugi sejak dibangunnya tol Purwakarta-Bandung.
Perlu pendekatan lain yang lebih berkelanjutan, yakni dengan mengembangkan transportasi masal yang efisien, nyaman, dan ramah lingkungan. Sarana transportasi yang dapat dijadikan prioritas ialah bus dan kereta api, bila kedua sarana ini dibangun dengan memperhatikan kebutuhan perjalanan warga Surabaya dan terhubung dengan pusat kegiatan kota, ini akan menekan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi beban jalan. Sayangnya, belum ada kebijakan yang berpihak pada transportasi publik, dan sekali lagi, minim investor yang berminat. Padahal, solusi inilah yang semestinya diperjuangkan wakil rakyat jika memang serius mengatasi kemacetan Surabaya.
Menimbang kerugian besar yang dialami kota Surabaya baik jangka pendek maupun jangka panjang, dan penolakan warga Surabaya dari berbagai kalangan atas pembangunan tol tengah, maka keputusan DPRD untuk tetap menyegerakan pembangunan tol tengah menjadi sangat absurd , sementara DPRD mengelak adanya “keuntungan pribadi” dari keputusan tersebut, lantas tersisa pihak yang mendapat keuntungan adalah investor semata, masyarakat patut heran mengapa kota Surabaya harus dikorbankan demi kepentingan investor. Sekarang perdebatan tol tengah malah menjadi barang dagangan politikus dan mengesampingkan masalah teknis, warga Surabaya dengan harap-cemas menunggu kemauan politik wakil rakyatnya yang bersedia membela kepentingan rakyat, kalau sudah demikan terjawablah dengan tuntas pertanyaan “Tol tengah untuk Siapa?”