Cengiz Under menonjol di negara asalnya Turki, playmaker muda itu bahkan dijuluki 'Dybala dari Turki'- julukan yang cukup berat bagi seorang pesepakbola muda.
Bakatnya diasah semasa dia berlatih di akademi Altinordu sebelum namanya semakin besar seantero Turki bersama Istanbul Basaksehir.
Di usianya yang menginjak 19 tahun dia mencetak dua gol ketika melawan Besiktas, hal tersebut betul-betul mengabarkan ke seluruh dunia jika dia adalah masa depan sepakbola Turki -- tentu saja semua itu tinggal menunggu waktu sebelum dia menjajal salah satu dari lima liga top Eropa.
Di musim panas 2017 Under mesti membuat keputusan ke mana dia harus berlabuh. Hingga akhirnya AS Roma memboyongnya dengan nilai transfer mencapai 13,4 juta. Angka yang dinilai mahal mengingat pengalaman sang pemain-- yang baru sebatas di Liga Turki -- dan usianya yang masih relatif muda.
Kariernya di Roma mengalami pasang surut, pemain berusia 23 itu akhirnya melanjutkan perjalanan ke Inggris dengan status pinjaman bersama Leicester City.
Meskipun memiliki kreativitas lewat kaki Jamie Vardy, The Foxes nyatanya masih mencari sosok yang mampu menggantikan kepergian bintang dari benua Afrika, Riyad Mahrez. Kehadira Under diharapkan mampu memanjakan penyerang Leicester dengan umpan-umpan matangnya.
Bukan pertama kalinya Under disuruh untuk menggantikan bintang dari benua Afrika. Direktur olahraga Roma saat itu, Monchi, melihat potensi Under untuk menggantikan posisi Mohamed Salah di Stadio Olimpico setelah sang pemain asal Mesir itu hijrah ke Liverpool pada 2017.
Under telah menunjukan tajinya bersama Basaksehir, pelatihnya waktu itu Abdullah Avci membantunya berkembang dengan menyuruh sang pemain bermain di sayap kiri daripada di sayap kanan.
Sungguh, bintang keahiran Sindirgi ini berkembang pesat di posisi barunya, dia berhasil meningkatkan kemampuan kaki kirinya, potensinya itu pada gilirannya menarik perhatian Monchi.
Memulai karier bersama Giallorossi, sang pemain masuk dalam rencana Eusebio Di Francesco dan tampil impresif selama enam pertandingan dengan mencetak enam gol termasuk mencatatkan namanya di papan skor ketika melawan Shakhtar Donetsk di Liga Champions.
Namun, itu terbukti menjadi pencapaian tertinggi pada masanya saat membela tim ibu kota Italia. Rentetan cedera membuatnya kesulitan bermain regular di musim berikutnya dan setelah Di Francesco dipecat, dia harus berjuang mempengaruhi Claudio Renieri agar mendapat tempat utama.