Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan secara kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi terhadap suatu konflik atau sengketa yang bersifat "menang-menang" (win-win). Yang dimaksudkan solusi "menang-menang" disini adalah solusi atau kesepakatan yang mampu mencerminkan kepentingan atau kebutuhan seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (shared interest). Sedangkan menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 Angka 10 dijelaskah Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Ada dua cara yang diketahui penulis dalam penyelesaian kasus perdata diluar peradilan umum di indonesia yaitu melalui mediasi dan arbitrase. Mediasi jika merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dan dibantu oleh mediator. Mediator sebagai mana dimaksud dalam pasal adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat auditor sebagai pihak netral yang mebantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian (Perma Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 Angka 2). Berkaitan dengan Arbritase, Arbitrase sendiri merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didassarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) .
Â
Alasan sederhana penulis mengangkat ADR adalah terdapat sebuah solusi yang baik dengan adanya penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang secara umum lebih "murah" dan "fair". Namun tidak ada kekuatan hukum yang mutlak dikarenakan tidak ada kuasa untuk melakukan eksekusi karena sebagian besar penyelesaian sengketa melalui ADR bersifat rekomendasi, normatif, anjuran dan/atau wejangan. Tidak mengikat banget, seperti "yaudah saya melanggar, oke sepakat dengan rekomendasi, tapi nanti saya penuhi yaa kalau ada niat". Â seperti diposisikan sebagai manusia "Nerimo Ing Pandum" yang sebagian besar merasa mubazir ketika sudah menjalankannya. Mungkin sudah saatnya stakeholder terkait seperti lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif memulai untuk merumuskan peraturan yang memungkinkan putusan perdata jika tidak dijalankan maka dapat dipidanakan.
Â
Secara umum kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui ADR diantaranya adalah kasus PHI, kasus perdata sederhana dalam kegiatan fintech, dan mungkin kasus lain yang penulis belum temukan namun tercantum dalam Perjanjian Kerjasama dan/atau Perjanjian lainnya antara pihak yang menjalin hubungan kerjasama dan kegiatan lainnya. Â Jika dikatakan bahwa menyelesaikan permasalahan melalui ADR adalah murah menurut penulis tidak murah cukup mahal. Tapi saat ini cukup banyak Pengacara Pro bono yang bersedia memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang terlibat kasus hukum. Pengacara Pro bono adalah bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada seseorang yang tersangkut kasus hukum, tetapi orang tersebut tidak mampu membayar jasa pengacara sendiri. Jangan terlalu "Nerimo Ing Pandum" lho, jika bisa Speak Up.Â
Referensi:
1. UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 dan 2;
2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 1 dan 2;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H