Mohon tunggu...
Ahmad Zaky Nauval
Ahmad Zaky Nauval Mohon Tunggu... Editor - Semangat Perubahan

Hanya mencoba menuliskan apa yang dirasakan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mengukur Politisasi Agama Menuju Kontestasi Pilkada Serentak 2024

22 Juli 2024   12:59 Diperbarui: 22 Juli 2024   13:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kontestasi politik seyogyanya diselenggarakan untuk memenuhi hak-hak politik warga negara yang diatur dalam undang-undang, yakni hak kebebasan untuk memilih dan dipilih tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Salah satu yang menjadi ciri khasnya ialah kebebasan partisipasi masyarakat, namun ruang-ruang partisipasi tersebut banyak dipolitisasi oleh kelompok-kelompok tertentu atas dasar agama. Hal ini sesungguhnya berpeluang dalam melemahkan nilai demokrasi dan menjerumus kepada perpecahan.

Mayoritas penduduk Indonesia memiliki rasa sensivitas yang tinggi terhadap agama, sehingga mudah untuk dipengaruhi dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama. Jika kita melihat kebelakang, banyak elit-elit politik yang menggunakan pendekatan dengan unsur-unsur yang bewarna agama, hal ini diharapkan untuk mendapatkan respon yang cepat dari orang-orang yang beragama sama dengannya, namun tak jarang pendekatan tersebut terkesan dengan menjual agama untuk memperoleh suara hal inilah yang kita kenal dengan "Politisasi Agama".

Politisasi Agama mencapai titik tertingginya bermula pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017, dimana saat itu Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mencalonkan diri kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dalam pidatonya di kepulauan seribu, Ahok menyinggung ayat al-Quran, sehingga hal ini menyebabkan kemarahan umat islam dan melaporkan Ahok atas dasar penistaan agama. Beranjak dari kasus ini banyak terjadi aksi damai yang dilakukan umat islam mulai dari aksi damai 411, 212 dan lainnya. Menurut penulis terpolanya masyarakat dalam pilkada ini menjadi rentetan terpolanya masyarakat pada Pemilu-pemilu selanjutnya.

Pada Pemilu 2019 juga tidak terlepas dari politisasi agama, dimana Joko Widodo yang saat itu reputasinya di media digital dikenal sebagai orang awam tentang islam menggandeng K.H Ma'ruf Amin yang merupakan seorang ketua Majelis Ulama Indonesia, begitu juga dengan pesaingnya Prabowo Subianto yang terkesan mendekat dengan FPI dan menghasilkan Ijtima' Ulama, semua dilakukan diduga untuk merebut suara pemilih muslim yang merupakan mayoritas di Indonesia.

Begitu juga pada Pemilu 2024, politisasi agama seakan tak pernah ditinggalkan, dilihat dari ketiga calon presiden memiliki banyak cara dalam mendapatkan suara dari masing-masing agama, mulai dari mendekatkan diri kepada ulama, menjadi pemeran dalam video adzan, dan lain sebagainya. Tak salah memang, namun menggunakan politisasi agama dapat menimbulkan perpecahan pada masyarakat, tak jarang berujung kepada tindak pidana.

Lantas bagaimana mengukur politisasi agama pada Pilkada serentak 2024? Catatan akhir tahun  Koalisi Advokasi KBB mengatakan bahwa tahun 2024 menjadi penting diperhatikan bersama mengingat sebagai tahun politik. Potensi konflik kekerasan bisa bereskalasi apabila ujaran kebencian atau diskriminatif terhadap kelompok keagamaan tertentu digunakan dalam kampanye pemilu. Di antara yang rentan menjadi sasaran kampanye bermuatan ujaran kebencian adalah kelompok minoritas keagamaan.

Pilkada serentak 2024 jelas akan tak lepas dari politisasi agama, sebab menurut penulis hal-hal ini sudah terpola dan dimanfaatkan untuk memperoleh suara. Namun kita sebagai masyarakat harus mengupgrade diri, bahwa setiap orang bebas untuk dipilih dan memilih tanpa ada paksaan. Nilai dasar setiap agama selalu mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan menyayangi terhadap sesama manusia, berbedapun agama kita tidak boleh menjadi dasar untuk kita membenci, apalagi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berkesan mengintimidasi calon yang tidak beragama sama ataupun yang menurut kita kurang terhadap pemahaman agama.

Sebab kebebasan memeluk agama atau kepercayaan merupakan hak dasar warga negara Indonesia yang telah dilindungi oleh undang-undang dasar 1945. selain itu, hak memeluk agama atau kepercayaan merupakan hak asasi yang bersifat hakiki dan universal, melekat pada diri manusia sejak ia dilahirkan. diakhir penulis berpesan bahwa sejatinya kebebasan memeluk agama ataupun keyakinan merupakan hak yang dijamin oleh banyak instrumen, maka dalam pilkada serentak 2024 hendaknya jangan dibenturkan untuk mendapat simpati, karena kita semua bersaudara dan keberagaman ini adalah realitas kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun