- Mahasiswa Hukum Tatanegara (Siyasah)
  - Fakultas Syariah dan Hukum
  - UIN Sunan Gunung Djati Bandung
# Abstrak
Artikel ini mengkaji makna historis dan sosial dari gelar "Gus" dalam tradisi pesantren Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), serta relevansinya dengan fenomena kontemporer. Pembahasan diperkuat dengan analisis kasus aktual yang melibatkan salah satu tokoh penyandang gelar "Gus", yaitu kontroversi Gus Miftah. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dengan merujuk pada sumber-sumber otoritatif dari NU Online untuk memahami signifikansi gelar tersebut dalam konteks sosial-keagamaan Indonesia.
# Pendahuluan
Dalam khazanah budaya pesantren Indonesia, gelar "Gus" memiliki posisi yang unik dan terhormat. Gelar ini tidak hanya mencerminkan status sosial, tetapi juga membawa tanggung jawab moral dan spiritual yang besar bagi penyandangnya. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi makna mendalam dari gelar tersebut dan menganalisis relevansinya dengan dinamika sosial kontemporer.
# Asal Usul dan Makna Historis
Kata "Gus" berasal dari istilah "Bagus" dalam bahasa Jawa yang memiliki arti tampan atau terhormat. Awalnya, gelar ini digunakan di lingkungan keraton untuk menyebut anak-anak bangsawan. Seiring waktu, gelar ini diadopsi oleh komunitas pesantren sebagai bentuk penghormatan kepada putra kiai yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan spiritual.
# Tanggung Jawab dan Ekspektasi Sosial
Penyandang gelar "Gus" memiliki beberapa tanggung jawab penting: