Mohon tunggu...
Mas Zen
Mas Zen Mohon Tunggu... lainnya -

Nama lengkap ahmad zainul ihsan arif biasa dipanggil maszen. Mencoba menceritakan kehidupan yang dilihat oleh mata dan batin. Menulis apa yang diyakini untuk disharing. website

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alhamdulillah, Saya Selamat dari Air Bah Pariaman Utara

26 Maret 2010   15:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:10 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alhamdulillah, semalam saya selamat dari air bah yang menakutkan ketika saya terlalap tidur di Posko PNPM Mandiri Tim 507 Desa Cubadak Air Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman. Ya, hanya pertolongan Allah lah yang membuat saya masih tetap bisa menulis untuk kompasioner. Beginilah kalau tinggal di sebuah posko yang di depannya mengalir sungai besar dan panjang yang mengalir dari hulu Padang Alay Kab. Padang Pariaman, setiap saat harus waspada sewaktu-waktu air sungai bisa meluap bagai air bah yang menghantam apa saja.

Sebenarnya, malam itu pukul 08.00 WIB (25/03/10) hujan tidak begitu deras, justru suasana seperti itu bisa membuat lelap orang tidur. Ya, karena hujan rintik-rintik mulai turun kawan-kawan yang sedang asyik membantu Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) membuat laporan pertanggung jawaban (LPJ) memutuskan untuk meneruskannya besok dan segera pulang. Pukul 09:30 aliran listrik di posko padam, saya yang tinggal sendiri di posko memutuskan untuk tidur lebih awal dari kebiasaan saya Pukul 10:30 saya terbangunkan dengan nyalanya aliran listrik, bukan main kagetnya saya ketika kaki menjejak di lantai ternyata lantaiku sudah penuh air setinggi mata kaki.

Bingung, bukan kepalang, namun saya berusaha untuk tenang. Jarak rumah terdekat dari saya lumayan jauh 50 meter. Saya berusaha menyelamatkan baju-baju, laptop yang tergeletak di meja berkaki pendek ke atas lemari. Begitu cepat air mengalir masuk dari sela-sela pintu, dan retakan tembok paska gempa september lalu. Tak sampai 15 menit air sudah mencapai setinggi lututku. Bingung bukan kepalang, mana yang harus diselamatkan lebih dulu lagi. Oh ya, komputer TIM. Wedew, ada tiga biji PC. Saya pilih PC yang diletakan di meja yang kurang kokoh. Saya angkat monitor dengan berjalan di air yang telah setinggi paha, dengan susah payah akhirnya saya berhasil tempatkan monitor di tempat yang lebih tinggi. Balik lagi, untuk berjalan lagi sejauh 20 meter menyelamatkan CPU yaang penuh data tim. Ups motor baruku sudah terendam setengah badan. Bingung, *#****3##3???!!!!. Ada ruangan lebih tinggi 50 cm, namun tak ada pesawat miring (hanya ada tangga berjenjang). Dengan berucap la haula wala kuata illa billah, saya dorong sekuat tenaga untuk mencapai lantai yang lebih tinngi itu. Ups hampir ketimpa motor, saya tahan sekuatnya, akhirnya berhasil aku naikan motor ke lantai lebih tinggi.

Pukul 11:30, air sudah setinggi pinggang. Satu jam sudah aku terkurung di rumah, PLN belum juga mematikan listrik. Doaku mudah-mudahan tak ada kabel yang terkelupas. Saya mulai berusaha mencari pintu keluar. Tak mungkin saya buka pintu depan yang dibaliknya ada panel PLN. Pintu depan berhadapan langsung dengan sungai yang sedang meluapkan air bah. Pet.... tiba-tiba aliran listrik padam. Lengkap sudah, terkurung di air setinggi pinggang dalam gelap gulita malam. Aku coba nyalakan korek api gas, ah basah mana mungkin mau nyala.

Pukul 12.15, saya berdoa tak ada ular atau binatang yang menganggu lainnya di sekitarku. Saya berusaha mencari jalan ke dapur yang di sana ada meja cuci yang belum terendam air. Alhamdulillah sampai juga di dapur dan segera saya panjat lantai keramik untuk masak. Saya coba hubungin tetangga terdekat yang kebetulan adik pemilik rumah yang disewa menjadi posko. Alhamdulillah terhubung. Semoga pintu belakang yang terkunci bisa terbuka. Beberapa menit kemudian pintu belakang dekat dapur di gedor. Mas... mas..., panggil seseorang. “Pintu terkunci,” teriakku.. tak lama kemudian pintu terbuka. Alhamdulillah, alhamdulilah ada satu orang pemuda desa Cubadak Air masuk. “Ayo kita keluar,” ajaknya yang kuketahui belakangan bernama Hendra.

Kira-kira pukul 12.30 saya keluar posko. Di tuntunnya, saya mengarungi air berlumpur setinggi pinggang. Menyusuri jalan aspal desa tepat di pinggir sungai yang meluap. Saya percayakan pemuda yang sangat mengenal lika-liku jalan desanya. Tak tahu lagi mana selokan, mana tepi sungai, saya pasrah. Ups, kaki saya tersandung pohon bambu yang tumbang. Sarung dan baju ganti yang belum sempat tercuci terlepas dari tangan hanyut entah kemana. “Mas, jangan ke arah sana,” teriak pemuda itu. Itu tepi sungai, tambahnya. Saya berhenti dan berusaha tidak bergerak sampai tangan pemuda itu menuntunku kembali.
Akhirnya, setelah berjalan sejauh kurang lebih 1 km saya sampai ke tempat kering. Ya, sebuah tempat dekat Mushola Al Muhsinin Dusun Pasar Desa Cubadak Air yang telah berbatasan dengan desa manggung. “Tak biasanya mushola itu tergenang air setinggi mata kaki,” kata pemuda itu.

“Ini air bah yang terbesar sepanjang sejarah di cubadak air. Memang, air bah ini biasa menerjang desa ini 2 tahun sekali namun tak sampai di musola itu,” jelas pemuda itu

Alhamdulillah, sampai juga saya di rumah penduduk yang masih kering lantainya. Saya langsung meminjam baju bersih, dan mereguk kopi hangat yang disediakan penduduk dan menyulut rokok basah yang tersisa di saku bajuku. Muah, muah, suara apa itu pikirku. Ooo ternyata suara seekor sapi gemuk yang di kandangkan di teras rumah karena kandangnya kebanjiran. Ehm, saya mengungsi bersama sapi yang kedinginan.

Pukul 2.00, air terliat sudah mulai menyurut. Terdengar kabar dariku aparat satpol PP dan lainya telah berkumpul di KUD Desa Sikapak Barat, 2 km ke arah dataran atas dari tempatku mengungsi. Namun, aneh tak ada pelampung, ban dan ronda untuk evakuasi warga. Ah mungkin perlengkapan itu ga ada pikirku. Alhamdulillah, yang penting saya telah terevakusai oleh pemuda itu.

Pukul 03.00, air di musola al muhsini sudah kering yang tersisa hanya lumpur yang mengotori masjid. Sekitar 10 Remaja putra dan putri segera berhamburan ke musola itu. Oh, ternyata mereka dengan sigap kerja bakti dan gotong royong membersihkan musola. Agar musola itu bisa digunakan untuk sholat subuh nanti. Karena capek saya merebahkan badan di tikar yang disediakan penduduk, lelap.

Pukul 7.30 WIB, hujan masih turun rintik-rintik. Air sudah surut total, begitu cepat air bah itu mengering. Aku berjalan terseok dengan sarung dan sandal yang dipinjamkan warga menuju posko. Jalanan aspal yang saya lewati semalam penuh lumpur, dan beberapa berlubang-lubang tererus air. Aku mendapati posko telah porak poranda, dokumen-dokumen dan buku-buku habis tertimbun lumpur. Beberapa bajuku dan sepasang sepatu sudah tak saya dapati lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun