Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Pengesahan dan Prosedur Hukum terhadap Transgender di Indonesia

31 Desember 2017   19:51 Diperbarui: 31 Desember 2017   23:58 16114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cikal bakal Tuhan menciptakan manusia adalah melalui Adam dan Hawa, Adam sebagai laki-laki dan Hawa sebagai perempuan. Namun disamping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa jenis golongan yang tidak dapat disebut dengan golongan pria maupun golongan wanita, istilah tersebut biasa disebut dengan Waria (wanita-pria). Fenomena tersebut tidak dapat kita hindari, karena faktanya keberadaan mereka tetaplah manusia yang diciptakan oleh Tuhan.

Fenomena jenis kelamin yang dilematis atau yang biasa dikenal sebagai gejala transeksualisme. Transeksualisme adalah kondisi dimana seseorang secara psikologis merasa memiliki gender dan identitas seksual yang berbeda dengan kondisi biologis seksual tubuh mereka sebagaimana mereka dilahirkan. Yang artinya, adanya ketidakpuasan seseorang karena merasa hubungan kejiwaan dan fisik yang dimiliknya berbeda. Mereka yang memiliki gejala transeksualisme percaya bahwa mereka hanyalah korban dari suatu kecelakaan biologis, karena mereka menganggap gejala ini terjadi ada sebelum mereka lahir.

Dalam ilmu kedokteran, gejala transeksual dapat dilacak melalui metode DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Metode tersebut dapat melacak beberapa gejala: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J. P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkahlaku negativisme.

Pergantian jenis kelamin atau transgender dikenal sejak berkembangnya metode DSM diatas. Namun demikian, tidak serta merta semua orang bisa melakukan operasi pergantian kelamin. Menurut dr. Dadi Garnadi, seseorang untuk dapat dilakukan operasi perubahan kelamin sesuai standar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) harus didahului oleh observasi oleh tim dokter yang meliputi tes psikologi, tes hormonal, tes kepribadian, tes kesehatan yang dilakukan oleh ahli-ahli seperti psikiater, psikolog, bedah, penyakit alam, genetikal, obstetry dan ginecology. Seseorang dapat melakukan operasi perubahan kelamin maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut telah melakukan proses tersebut dan dikatakan layak melakukan perubahan kelamin.

Dalam perspektif hukum, aturan mengenai prosedur pergantian jenis kelamin atau transgender di Indonesia belum ada aturan yang mengatur hal tersebut. Namun demikian, dengan adanya UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Apen). Dalam Pasal 1 angka 17 UU Apen menyatakan bahwa, "Yang dimaksud dengan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan". Dari pemaparan pasal diatas, memang pergantian jenis kelamin tidak masuk dalam kategori peristiwa penting sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 17 UU Apen.

Namun demikian, pergantian jenis kelamin dikenal dalam Pasal 56 ayat (1) UU Apen sebagai "peristiwa penting lainnya". Dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Apen dinyatakan bahwa "Yang dimaksud dengan Peristiwa Penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin".

Jadi, jika benar seseorang telah merubah jenis kelaminnya, agar mendapatkan pengesahan dari negara, perlu didahului dengan penetapan dari pengadilan terlebih dahulu. Karena tidak seorangpun dapat merubah, mengganti, atau menambah identitasnya tanpa seizin pengadilan. Dengan adanya perubahan jenis kelamis tentunya ada perubahan juga mengenai data kependudukan. Oleh sebab itu maka sangat wajar apabila seseorang yang telah melakukan transgender mengajukan permohonan kepada pengadilan mengenai perubahan atas data identitas kependudukannya.

Setelah mendapati pengesahan dari pengadilan, berdasarkan Pasal 3 UU Apen yang menyatakan bahwa, "Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil". Jadi, seseorang yang telah melakukan transgender diwajibkan untuk melaporkan perubahan atas data identitas kependudukannya kepada Instansi Pelaksana, dalam hal ini yang dimaksud dengan Instansi Pelaksana adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dalam Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Sebagai contoh konkrit di Indonesia sendiri yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, yang mengabulkan permohonan pemohon untuk menetapkan status pergantian jenis kelaminnya. Salah satu hakim di Pengadilan Negeri Makassar dalam menghadapi permohonan pemohon yang ingin mengubah status jenis kelaminnya dari wanita ke pria. 

Dalam permohonannya, permohonan dikabulkan oleh hakim tersebut. Hakim tersebut mendalilkan bahwa dari hasil tes psikolog terungkap bahwa pemohon akan lebih berkembang dengan statusnya sebagai laki-laki. Selain itu, dikabulkannya permohonan tersebut didasari oleh pertimbangan hukum agama. Menurutnya, pergantian jenis kelamin atas dasar nafsu atau dorongan seksual itu diharamkan. Namun demikian, jika karena alasan medis, hal tersebut diperbolehkan dan dapat dibenarkan oleh hukum.

Walaupun penggantian jenis kelamin di Indonesia secara implisit diperbolehkan, namun harus tetap dengan catatan bahwa penggantian jenis kelamin dibenarkan sepanjang bertujuan untuk penegasan status orientasi seksual atau kelamin yang dimiliki seseorang yang memiliki gejala transeksualisme. Idealnya, operasi pergantian kelamin yang dilakukan harus diasumsikan sebagai perbaikan atau penyempurnaan, dan bukan penggantian jenis kelamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun