Bila sejarah demokrasi Indonesia di tarik ke belakang, demokrasi Indonesia pernah dibunuh mulai pertengahan 1959 sampai dengan tahun 1998, mengalami masa jeda sebentar antara tahun 1966-1967. Dengan tumbangnya sistem Orba (Orde Baru) pada akhir 1998, Indonesia memasuki era reformasi, gerbang kedua gelombang demokrasi yang dikomandoi oleh Presiden BJ Habibie, bapak demokrasi setelah Bung Hatta. Menjadi tanggung jawab bersama dalam menjaga akar demokrasi agar tetap tertanam kuat sebagai ideologi bangsa demi menjaga keutuhan negara.
Mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa harus mengambil sikap dan bergerak cepat dalam merespon keadaan lingkungannya serta tidak golput ketika pesta demokrasi digelar. Selain memiliki hak mendapatkan pendidikan yang layak, mahasiswa juga berhak dalam menyuarakan pendapatnya, umumnya seluruh warga negara. Berpikir sebelum bertindak, mengenali dan mengetahui semua calon kandidat sebelum memilih. Tentunya tidak mudah terbuai dengan tarian politik di panggung demokrasi, terlebih sekarang banyak yang menggunakan kedok tertentu untuk mengambil perhatian massa, layaknya hoax yang tersebar di mana-mana. (Faktanya, bukan katanya).
Suara mahasiswa menjadi bagian dari aspirasi masyarakat yang gerah di kala pemilu menyapa. Soe Hok Gie telah mengajarkan kita sebagai mahasiswa bahwasanya harus memiliki pendirian yang teguh dan kokoh melawan arus. Seperti yang dikatakan oleh Gie, “hidup ini ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus, namun saya memilih untuk menjadi manusia yang merdeka”. Berpikir kritis dan menolak menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang).
Tidak sekedar pandai berbicara dalam teori, namun mampu memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa. Rakyat tak butuh nilai, Rakyat hanya membutuhkan gebrakan yang nyata untuk perubahan yang lebih berharkat dan bermartabat.
Hidup Mahasiswa!