Mohon tunggu...
Ahmad Yani
Ahmad Yani Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati dan praktisi pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Miskonsepsi Pembelajaran Saintifik

1 April 2020   09:37 Diperbarui: 1 April 2020   09:41 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 4 (empat) standar pendidikan yang diperbaharui dalam menyertai kebijakan Kurikulum 2013 yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian Hasil Belajar. 

Selama lebih kurang enam tahun, rumusan SKL tidak banyak dikomentari oleh masyarakat walaupun diperkenalkan istilah Kompetensi Inti (KI) untuk mengangkat Standar Kompetensi (SK) pada level mata pelajaran menjadi Standar Kompetensi pada level jenjang pendidikan. 

Kebijakan Standar Isi dan atau struktur kurikulum, cukup mendapat perhatian masyarakat karena ada penambahan jumlah jam pelajaran yang lebih banyak dari kurikulum sebelumnya. 

Namun seiring dengan waktu, polemiknya mereda dan diterima oleh masyarakat. Kebijakan penilaian hasil belajar, kurang mendapat perhatian masyarakat namun banyak dikeluhkan oleh guru karena terlalu merepotkan. Akhirnya dengan mengacu pada Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar (KD), penilaian aspek sikap spiritual dan sikap sosial hanya dilakukan oleh guru Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dan PPKn.

Adapun kebijakan Standar Proses mendapat perhatian yang cukup luas dari guru, karena guru “diwajibkan” menggunakan pendekatan saintifik dalam setiap pembelajaran di kelas. 

Pada waktu sosialisasi dan pelatihan Kurikulum 2013, terjadi perbedaan persepsi tentang pembelajaran saintifik yaitu pada kedudukannya sebagai suatu pendekatan atau suatu model pembelajaran. 

Perbedaan pendapat ini berdampak pada implementasinya di ruang kelas; ada yang menganggap sintaksisnya (langkah pembelajaran) harus berurutan, tetapi ada juga yang memperbolehkan untuk tidak berurutan.

Untuk mengawali kajian, saya mencoba menguraikan tentang perbedaan pendekatan dan model pembelajaran. Menurut Sukmadinata (2004), pendekatan pembelajaran adalah cara melihat suatu proses belajar yang sedang berkembang pada peserta didik. Cara pandang inilah yang kemudian melahirkan teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan atau konstruktivistik. 

Sedangkan model pembelajaran adalah desain atau rancangan belajar untuk mencapai tujuan belajar yang lebih spesifik. Dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, kedudukan pembelajaran saintifik tidak dinyatakan dengan tegas; pada peraturan tersebut hanya dinyatakan bahwa ranah sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”; ranah pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta”; dan ranah keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta”. Kecuali pada Permendikbud sebelumnya, yaitu Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, di sana dinyatakan secara jelas bahwa pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik atau pendekatan berbasis proses keilmuan. Bahkan untuk mempertegas, dibuat tabel sintaksis-nya yaitu Mengamati (observing), Menanya (questioning), Mengumpulkan informasi/mencoba (experimenting), Menalar/Mengasosiasi (associating), dan Mengomunikasikan (communicating) yang kemudian dikenal dengan 5-M.

Pada dua aturan inilah, muncul perbedaan persepsi di kalangan guru. Sebagian guru mengurutkan sintaksis 5-M secara eksplisit dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan sebagian lainnya tidak menggunakan sintaksis 5-M tetapi memilih satu dari 3 (tiga) model rujukannya yaitu discovery learning/inqury learning, problem-based learning, dan project-based learning. Mereka yang menggunakan 5-M, memiliki rujukan peraturan menteri, sedangkan yang lainnya menganggap sebagai suatu pendekatan sehingga langkah saintifik tidak perlu diadopsi sebagai suatu sintaks pembelajaran.

Perbedaan pandangan selama beberapa tahun terakhir ini, akhirnya menyisakan "residu" pemikiran yang mengarah para kekeliruan fatal. Guru, yang menganggap pembelajaran saintifik sebagai suatu pendekatan, ia menyamakannya seperti model pembelajaran yang berlaku sebelumnya di Indonesia yaitu Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM), dan Contextual Teaching and Learning (CTL). Ketiga model tersebut tidak mengajukan sintaks, tetapi hanya mengajukan prinsip-prinsip pembelajarannya saja. Misalnya CTL, model ini memiliki 7 pilar pembelajaran yaitu menggunakan filsafat kontruktivistik, bertanya, inquiry, modeling, masyarakat belajar, penilaian autenik, dan refleksi. Kita tidak perlu menyebutkannya secara berurutan karena ketujuh unsur tersebut hanya sebagai prinsip pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun