[caption id="attachment_405113" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Gagal Mendaftar s3 karena IPK Kurang
Perjalanan saya mendapatkan kesempatan untuk kuliah s3 tidak semulus yang dibayangkan. Saya harus melalui berbagai kegagalan dan kegagalan. Kegagalan pertama saya alami saat ingin masih mencari informasi tentang universitas-universitas ternama di Indonesia. Namun demikian, ternyata nilai saya tidak memenuhi syarat semua universitas di Indonesia. Rata-rata univesitas mensyaratkan IPK 3.25 bagi yang ingin mendaftarkan sebagai mahasiswa S3, sedangkan IPK saya waktu S2 hanya 3.16. Jadi ada kekurangan beberapa poin untuk bisa memenuhi syarat mendaftar S3 di universitas tersebut.
Puncak kegagalan saya adalah saat saya memberanikan diri mendaftar di sebuah universitas di Bandung, Jawab Barat. Meskipun sudah mengetahui nilai saya sudah tidak memenuhi standar persyaratan universitas, saya tetap memberanikan diri untuk mendaftar di universitas tersebut. Saya berpikir bahwa kekurangan IPK yang hanya nol koma bisa ditoleransi dengan proposal saya yang sudah disetujui sekaligus mendapat rekomendasi seorang profesor di mana saya menempuh S2. Tetapi ternyata hasilnya nol besar, alias saya gagal diterima kuliah di universitas negeri tersebut.
Kegagalan demi kegagalan tidak menyurutkan niat saya untuk kuliah, bahkan sekedar untuk mendaftar kuliah di universitas swasta. Hal ini karena memang tidak ada universitas swasta yang memiliki jurusan untuk program S3 yang sesuai dengan bidang yang ingin saya ambil.
Menyadari sudah tidak memungkinkan untuk kuliah di dalam negeri (karena kendala syarat IPK), saya akhirnya beralih mendaftar ke beberapa universitas di luar negeri. Tujuan kuliah saya pertama adalah di Malaysia. Saya sudah mendatangi beberapa universitas di Malaysia saat saya mengikuti seminar internasional di Malaysia. Beberapa profesor dari universitas ternama di Malaysia sudah siap menjadi supervisor untuk saya. Bahkan ada seorang anggota parlemen sekaligus pengurus partai terbesar di Malaysia siap membantu saya mencarikan beasiswa atau minimal pekerjaan bagi saya.
Sebelum sempat mendaftarkan secara resmi di Malaysia, saya sudah mendaftarkan diri di sebuah universitas di Amerika Serikat, University at Dallas disingkat UTD. Secara tidak sengaja saya justru diterima di UTD sebagai manahsiswa PhD di Dallas. Namun, hal ini bukanlah hal yang membahagiakan karena beasiswa yang bakal saya terima hanya sekitar 3 tahun, sedang mahasiswa PhD di UTD harus kuliah teori 2 tahun baru kemudian melaksanakan research. Jadi total lama kuliah bisa saja sampai 5 tahun. Mengetahui sistem perkuliahan tersebut, akhirnya saya membiarkan begitu saja tawaran dari UTD untuk bisa kuliah di negara adidaya tersebut.
Di saat yang hampir bersamaan saya mendapatkan informasi kalau saya diterima di beberapa universitas di Australia. Pengumuman pertama saya mendapatkan LoO dari sebuah universitas di Australian bagian utara. Saya mendapatkan LoO tanpa beasiswa sehingga saya harus mencari dulu lembaga donor yang mau memberikan beasiswa kepada saya. Namun sebelum saya melangkah, saya mendapatkan informasi kalau proposal saya diterima di sebuah universitas sekaligus mendapatkan beasiswa. Akhirnya di universitas yang memberikan beasiswa inilah saya menentukan pilihan.
Perjalanan yang sangat panjang itu tentu bukanlah perjuangan yang mudah. Saya harus mengorbankan tenaga, waktu, pikiran, bahkan biaya yang tidak sedikit untuk menjalani semua proses pendaftaran tersebut. Salah satu pendaftaran yang membutuhkan proses dan biaya yang paling ribet adalah saat mendaftar di UTD. Saya harus mengirimkan fotokopi secara fisik semua dokumen ke universtias tersebut. Bukan hanya itu biaya pendaftaran juga cukup mahal. Bukan hanya itu, setelah diterima pun saya harus merogoh kocek untuk memperbaiki kekeliruan dokumen saya. Tempat tanggal lahir yang tertera di dalam akta kelahiran saya berbeda dengan yang tertera di kartu identitas. Sehingga saya harus membayar notaris untuk meng-authorize kekeliruan tersebut.
Kegagalan demi kegagalan sudah saya lalui. Saya bukanlah tipe orang yang mudah menyerah untuk sebuah kebaikan. Saya sangat menyakini bahwa kekuatan mental dan imajinasi kita akan mengalahkan semua penghalang. Dan sekarang sudah terbukti bahwa kebodohan saya secara intelektual telah terpatahkan oleh spirit saya untuk bisa kuliah di negeri berbahasa yang “tidak saya sukai” tersebut.
Akhirnya, saya berkayakinan bahwa kekuatan spirit adalah penting dalam kehidupan kita. Karena manusia sudah dibekali dengan keunikan sendiri-sendiri. Saat kita memiliki kekurangan di bidang tertentu, maka kita pasti memiliki kelebihan di bidang yang lain. Maka berfikir positiflah. Hidup kita pasti lebih baik... Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H