Seriuan Memilih Pemimpin Seiman, SARA?
No!!!!!!!!!!!!!!!
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
Kasus SARA yang ditujukan pada pidato si Raja Dangdut, Rhoma Irama adalah menarik. Hal ini dikarenakan ceramah yang ia sampaikan mengenai pilihan pemimpin harus seiman dianggap sebagai mengandung unsur SARA. Kok bisa? Pertanyaan itu mungkin yang ada di benak kita. Kan, negeri ini mayoritas muslim. Jadi semua sudah paham bahwa ajaran Islam memang menganjurkan memilih pemimpin itu harus seiman.
Persoalan ini nampaknya menjadi semakin menarik jika nanti sampai terjadi putusan hukum atas apa yang disampaikan sang Raja Dangdut itu. Karena jelas-jelas agama mengajarkan hal itu, tentu siapapun boleh menyampaikan kebenaran agama ini kepada umat. Menyampaikan kebenaran di dalam islam adalah kewajiban dan tentu dengan segala resiko. Itu sebabnya sang Raja Dangdut pun tidak mau dibantu oleh pengacara dari manapun. Ia akan menghadapinya sendiri, karena memang berada dalam jalur yang benar. Mantab!!
Di dalam sebuah negara yang menjunjung demokrasi harusnya setiap orang memiliki kebebasan di dalam memilih pilihannya. Mereka mau memilih pemimpin seperti yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan mereka adalah hak setiap orang. Oleh karena itu tidak boleh ada intervensi golongan atau seseorang untuk memilih pemimpin dari golongan tertentu. Pemaksanaan dengan alasan apapun akan melanggar ketentuan UUD di negeri ini. Tetapi kita harus membedakan mana paksaan dan mana seruan. Hal ini penting kita pahami karena terkadang kita salah mengartikan persoalan ini. Kalau seruan untuk memilih seorang calon pemimpin tentu diperbolehkan. Karena masa kampanye adalah proses sosialisasi baik berkaitan dengan si calon pemimpin maupun keunggulan program yang akan diimplementasikan. Seruan ini sudah sangat terbuka dan setiap juru kampanye menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Dalam proses kampanye ini, juga terdapat adanya perbedaan vis misi dari masing-masing calon. Dan hal ini tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Adanya perbedaan latar belakang ideologis (termasuk agama) tentu berakibat pada beberapa konsekuensi. Karena sudah dapat dipastikan latar belakang keagaamaan akan mewarnai idealisme pemimpin yang bersangkutan. Pemimpin yang berlatar bealakang agama tertentu (apapun itu), tentu memiliki misi tertentu. Dan ini jelas hak setiap orang untuk hal itu.
Agama adalah pegangan seseorang di dalam beramal ibadah di dunia ini. Agama membawa dampak pada amal perbuatan bukan hanya kaitanya dengan akherat tetapi juga di dunia. Oleh karena itu, agama juga berimplikasi pada visi misi seseorang dalam beramal ibadah di dunia ini. Bagi orang biasa (buka pejabat/pemimpin) mungkin dampaknya tidak begitu besar, tetapi jika seseorang itu sebagai pemimpin tentu akan sangat besar pengaruhnya di dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan. Dampak dari kebijakan inilah yang nanti tentu akan menimbulkan berbagai masalah. Ambilah contoh, jika pemimpin itu seorang ateis (tidak percaya tuhan), maka segala kebijakan tentu akan lepas dari kendali agama. Demikian juga sebaliknya jika seorang pemimpin itu beragama tertentu, maka sudah bisa dipastikan corak pemikiran yang tertuang dalam kebijakanyapun akan berdasar pada agama atau paham yang diyakini si pemimpin itu. Itulah sebabnya memilih pemimpin itu sangat penting mempertimbangkan latarbelakang ideologis termasuk agama.
Kembali kepada kasus sang Raja Dangdut. Kasus ini tentunya akan sangat absurd bagi lembaga hukum di negara kita, jika saja sampai dimejahijaukan. Saat demokrasi digaungkan di negeri ini berarti orang berdakwah diperbolehkan dimanapun dan kapan pun. Melarang seseorang menyampaikan kebenaran dalam agama sesungguhnya hanya akan melanggar ketentuan demokrasi. Toh, masalah audien mengikuti seruan sang dai atau tidak itu juga urusan pribadi masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini penegak hukum, harusnya menyadari bahwa di dalam dakwah setiap agama pasti akan melakukan hal yang sama. Dalam kasus ini apa yang disampaikan dai tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan ataupun kejahatan kemanusiaan tidak perlu dibesar-besarkan. Kecuali jika seruan itu atas nama agama tertentu untuk memerangi agama lain, tentu ini lain masalah.
Opini tentang unsur SARA sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Bisa jadi persoalan ini mencuat justru karena adu domba yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (bisa jadi ini salah satu strategi salah satu calon untuk menjatuhkan calon yang lain!!!!). Hanya karena kebetulan saja salah satu calon (kebetulan terkuat) berasal dari agama yang bukan mayoritas di daerah ini, sehingga menjadi persoalan. Toh, kalaupun tidak ada perbedaan agama dari masing-masing calon yang bersaing, tetap saja banyak dai yang akan menyampaikan tentang pemimpin yang baik bagi umat islam, yaitu seiman.
Kita hanya berharap persoalan ini tidak merambah sampai pada akar rumput. Hal itu akan sangat membahayakan kedamaian dan kerukunan antarumat beragama di negeri ini. Biarlah persoalan ini diselesaikan secara baik antara penegak hukum dengan yang bersangkutan. Para calon pemimpin yang kebetulan sedang bersaing, jangan gunakan persoalan ini untuk komoditi politik demi meraup keuntungan. Rakyat kecil yang sudah hidup susah jangan diperkeruh pikirannya dengan isu-isu agama. Karena hal ini hanya kana menyulut api permusuhan antarpemeluk agama di negeri ini. Wallahua’lam.
Gerbong Kereta berjalan, 4 Agustus 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H