Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Kepala Pusat Pengembangan Bahasa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
"Meminta-minta adalah seperti seseorang
mencakar wajahnya sendiri kecuali jika
ia meminta-minta pada penguasa atau
pada perkara yang benar-benar ia butuh."
(HR. An Nasai, At Tirmidzi,
dan Ahmad.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih).
Saat duduk di angkringan dekat kantor selalu saja ada yang menyambangiku. Satu dua, dalam hampir setiap lima menit datang silih berganti. Mereka adalah para pengemis yang berkeliling untuk meminta-minta. Saat duduk di angkringan itu hampir setiap pagi selalu ada pengemis yang datang. Dalam pengamatan ku hari yang paling banyak pengemis di daerah itu adalah hari Jumat. Sama dengan daerah-daerah lain seperti masjid Syuhada, masjid UGM dan beberapa masjid besar di daerah Yogyakarta. Berjubelnya para pengemis ini sudah hampir menasional (mungkin malah sudah). Karena di hampir semua daerah akan kita temui pengemis.
Ironis memang. Saat kita berfikir kasihan kepada mereka, belas kasihan kita akan dibalas dengan semakin semangatnya mereka mengemis. Tetapi jika kita tidak member mereka, rasanya juga tidak tega. Padahal kebanyak mereka adalah orang sehat, orang yang kuat, dan tidaka ada kekurangan suatu apa. Hanya gaya dan pakaian saja yang dibuat-buat memelas. Inilah dilema bagi kita yang mungkin sering menemui para pengemis ini.
Keberadaan pengemis sudah bukan barang langka di negeri ini. Kalau dulu kita hanya melihat para peminta-minta di pinggir jalan atau di sekitar pemberhentian. Tetapi sekarang para pengemis semakin agresif. Mereka berkeliling dari toko ke toko dari rumah ke rumah (door to door). Jika dulu kita hanya menemukan pengemis di kota-kota besar, saat ini pengemis sudah masuk ke desa-desa. Jadi pamor pengemis sudah mengalahkan ABRI masuk desa. Dulu para pengemis umumnya meminta dengan menampilkan sesuatu (menyanyi, jogged atau berseruling dll), tapi sekarang pengemis hanya menadahkan tangan.
Saking banyaknya pengemis kadang kita jadi bingung mengambil sikap terhadap mereka. Mungkin waktu memberi kepada orang yang pertama kita ikhlas, tetapi untuk orang yang ke 3 atau keempat dan seterusnya kita jadi mikir-mikir. Atau bahkan mungkin jengkel. Coba bayangkan, jika dalam sekali duduk; dalam beberapa menit kita harus merogoh saku untuk member uang. Ya kalau pas ada uang receh, kalau tidak. Mau di diamkan aja tidak tega, tetapi mau memberi tidak ada uang kecil. Dan lain sebagainya.
Mental pengemis nampaknya sudah menjadi ciri khas bangsa kita. Umumnya, pengemis adalah mereka yang tidak bisa bekerja atau tidak produktif lagi karena berbagai kendala; cacat atau karena sudah tua. Di negara-negara yang pernah saya kunjungi. Setahu saya pengemis hanya dilakukan oleh orang-orang cacat atau sudah sangat tua. Itu pun hanya di tempat-tempat tertentu; masjid, gereja atau tempat wisata. Seperti di Saudi saya juga hanya melihat pengemis di Masjid-masjid besar dan itupun umumnya hanya hari jum’at. Demikian juga di Malaysia, para pengemis di Malaysia juga hanya ada di masjid atau gereja. Sepanjang pengetahuan saya mereka adalah orang cacat atau orang yang sudah sangat tua. Jumlahnya pun tidak sebanyak seperti yang di Negara kita.
Saat ini pekerjaan mengemis sudah menjadi profesi. Para pengemis itu diorganisasi. Para pengemis ini layaknya para pekerja kasar atau buruh lainnya. Ada coordinator, ada yang mengawasi dan mengatur mereka. Itulah sebabnya kita sering menemukan para pengemis ini bergerombol di salah satu daerah. Mungkin juga kita pernah melihat mobil dengan bak terbuka yang membawa para pengemis ini. Mobil ini adalah sarana transportasi mereka untuk pindah dari tempat satu ke tempat lain.
Lebih mencengangkan lagi, penghasilan bos para pengemis ini sangat fantastis. Dalam waktu sebulan bos para pengemis ini berpenghasilan lebih dari 9 juta (http://biografi.rumus.web.id/2011/07/biografi-cak-to-pengemis-kaya-di.html). Pengahasilan sebesar itu tentu sangat menggiurkan bagi orang yang tidak memiliki prinsip hidup. Karena penghasilan ini sangat besar dibandingkan dengan profesi lainnya.
Inilah sebuah fenomena masyarakat yang sangat ironis di Negara kita. Sayangnya pemerintah belum begitu serius menangani persoalan ini. Padahal jika orang tua mereka melakukan hal seperti ini, kemudian tidak pernah mendapat peringatan atau larangan dari pemerintah. Tidak menutup kemungkinan anak turun mereka pun akan bermental seperti mereka. Itulah sebabnya diperlukan langkah tegas untuk para pengemis ini. Mudah-mudahan mental pengemis ini tidak menjalar pada para pembesar yang ada di dalam birokrasi di negeri kita ini. Amin… Wa Allah A’lam.
Yogyakarta, 27 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H