Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Manusia dhoif yang ingin sekali ikut berkontribusi bagi kehidupan)
Manusia diciptakan oleh Allah dalam kondisi yang sangat lemah. Ketika bayi ia tidak bisa mandiri sebagaimana makhluk lain. Ketika manusia dilahirkan, ia harus dilayani segala kebutuhannya bahkan sekedar untuk membersihkan kotorannya sendiri. Hal ini berbeda dengan makhluk lain, ayam seumpamanya, binatang ini ketikan keluar dari cangkang telurnya bisa langsung berjalan, bahkan mencari makan sendiri. Demikian juga dengan binatang-binatang lain. Manusia juga secara fisik tidak memiliki alat pertahanan khusus, tetapi binatang memilikinya. Harimau dengan taringnya, ayam dengan cakar dan paruhnya dan seterusnya.
Ketidak berdayaan manusia, sebenarnya menunjukan bukti ketergantungan manusia dengan orang lain. Manusia membutuhkan bimbingan, arahan dan motivasi dari orang lain. Itu sebabnya ketergantungan manusia itu bukan hanya ketika bayi saja, tetapi sampai akhir hayat tetap akan membutuhkan yang lain. Ketika ia sudah dewasa pun akan selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Itu sebabnya manusia harus sadar bahwa dirinya memang sangat lemah dan lemah.
Kelemahan manusia sebenarnya bukan hanya dalam hal fisik, tetapi juga mental. Manusia diciptakan oleh Allah dalam kondisi yang sangat labil. Manusia selalu menghadapi kondisi-kondisi kritis yang sering menjerumuskan dalam perbuatan noda dan dosa. Manusia ditakdirkan dalam kondisi keluh kesah. Manusia ditakdirkan sebagai makhluk khoto wanisyian, tempat salah dan lupa. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Manusia seberapappun kekuatan imannya akan tetap mengalami penurunan keimanan yang berakibat kesalahan dan dosa.
Sebagai makhluk yang sangat lemah, baik fisik maupun psikologis maka menusia diberi kesempatan untuk memperbaiki kelemahannya tersebut. Akal adalah kelebihan yang bisa digunakan manusia untuk menanggulangi kelemahannya dalam hal fisik. Meskipun secara fisik lemah, tetapi dengan akalnya manusia bisa menjadi makhluk yang paling kuat. Sekuat-kuatnya seekor gajah seumpanya, tidak akan pernah bisa mengalahkan kekuatan manusia karena akalnya. Dengan akal manusia dapat melakukan segala perbuatan atau aktivitas jauh melampaui kekuatan fisiknya. Itulah fungsi akal yang hanya diberikan kepada manusia.
Sebagai makhluk yang diberikan kelebihan dibanding makhhluk lain (dalam hal akal),manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia. Manusia harus menggunakan akal untuk memilih jalan kebaikan. Dengan akal inilah manusia yang hina dan dina menjadi makhluk yang paling sempurna. Manusia yang lemah menjadi makhluk yang paling kuat di muka bumi ini.
Selain anugrah akal, manusia juga diberi nafsu oleh Allah SWT. Nafsu ini juga menjadi ciri khas manusia dibanding makhluk yang lain. Jika malaikat tidak diberi nafsu sebagaimana halnya manusia, maka malaikat kedudukannya tidak lebih terhormat dari manusia. Fungsi nafsu adalah sebagai pendorong manusia untuk melakukan sesuatu bagi kebaikan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Nafsu memberi dorongan manusia untuk melakukan yang terbaik di dalam kehidupan ini. Itu sebabnya karena manusia yang sudah dibekali akal pikiran, harus mengoptimalkan dorongan nafsu baik bagi keberlangsungan hidupnya. Manusia yang bisa mengendalikan nafsunya adalah manusia pilihan yang memiliki kedudukan sangat mulia baik disisi Tuhan maupun manusia. Tetapi sebaliknya jika manusia memperturutkan hawanafsunya, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling hina dan rendah kedudukannya.
Kodrat manusia sebagai tempat salah dan lupa menjadikan manusia memiliki kewajiban saling mengingatkan antara satu dengan yang lain (Al Asr). Kewajiban saling mengingatkan ini dalam Islam menjadi sebuah kewajiban dengan cara kebaikan dan kebijaksanaan. Isalm mengajarkan ini karena jangan sampai terjadi justifikasi kebenaran mutlak atas pendapat seseorang. Setiap orang setinggi apapun ilmunya tetap akan pernah mengalami kegagalan, kekhilafan dan kealpaan. Itu sebabnya saling mengingatkan adalah menjadi kewajiban dari masing-masing individu dalam islam. bahkan kewajiban saling berbagi ilmu ini menjadi keharusan bagi seorang muslim agar tidak rugi dalam hidupnya.
Kesadaran kita akan kelemahan, membawa konsekuensi keterbukaan kita terhadap kritik dan saran dari orang lain. Itu sebabnya sebagai manusia, kita tidak boleh berfikir kolot, dan terlalu memaksakan kehendak meskipun itu sebuah kebaikan. Karena pada dasarnya setiap manusia akan memiliki batas dan standar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Manusia tidak boleh menjustifikasi sebagai manusia paling suci atau paling benar, karena kebenaran hanya milik Tuhan semata. Justru yang terbaik bagi manusia menurut islam adalah memberi penerangan, mengajak kepada kebaikan dan memotivasi orang lain untuk kembali ke jalan yang benar. Tetapi keputusan untuk mengikuti sesuai dengan saran kita adalah hak pribadi masing –masing orang. Jadi sebagaimana diajarankan dalam Islam laa ikrohafiddin, tidak ada paksaan dalam agama. Keimanan, keyakinan dan keteguhan hati dalam memegang prinsip kehidupan hanya Allah Yang Maha Kuasa atas manusia bukan diri kita... wallahua’lam bishawab.
Lampung, 14 Agustus 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H