Dinamika Sastra Islam di Indonesia
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.,
Perhatian kritikus sastra terhadap Sastra Islam nampaknya belumlah memadai di Indonesia. Hal ini ditandai dengan minimnya jumlah artikel jurnal, atau pun tesis yang mengupas secara khusus tentang Sastra Islam. Kalau pun ada masih sekedar wacana mengenai pengertian dan karakteristiksnya. Itulah sesababnya, kita sering kesulitan menemukan tesis, khususnya disertasi yang secara khusus membahas Sastra Islam di Indonesia.
Rendahnya minat para sarjana, untuk menelaah Sastra Islam kemungkinan disebabkan oleh masih rancunya mengenai konsep Sastra Islam itu sendiri. Beberapa kritikus menilai tidak perlunya dibedakan anatara Sastra Islam dengan sastra yang lainya. meskipun sesungguhnya secara konseptual Sastra Islam memang memiliki perbedaan dengan non-islam. Dari esensi maupun estetika yang dibangun dalam Sastra Islam memiliki ciri khas tersediri dibandingkan dengan sastra umum. Sastra islami mengutamakan isi daripada estetika. Muatan nilai-nilai moral yang dibangun dalam sastra islam lebih jelas dan lebih konkrit. Dengan kata lain, nilai-nilai kemanusiaan dalam sastra islam lebih mudah diaplikasikan dan lebih bermanfaat dalam membangun karakter penikmat/pembacanya.
Adanya perselisihan tentang pentingnya penyebutan sastra islam mengindikasikan adanya berbagai macam kepentingan atau interest di dalamnya. Sejarah pun sudah membuktikan adanya pertentangan itu, para penulis yang bernafaskan ke-islaman selalu mendapat tekanan baik sosial maupun politis di kancah perpolitikan Indonesia. Hamka pernah dianggap sebagai “Kyai Cabul” karena menuliskan roman percintaan, Tenggelamnya kapal Vander Wijck. Bukan hanya itu, kelompok-kelompok yang memusihi Hamka pun, mencoba menjatuhkan Kyai kharismatik ini dengan tuduhan plagiarisme atas karya yang dihasilkanya.
Kondisi yang tidak menguntungkan inilah kemumngkinan yang menjadikan para sastrawan jaman itu enggan untuk menuliskan karya sastra yang berbau ke-islaman secara terang-terangan. Meskipun ada beberapa penulis muslim mengnyinggung tentang keyakinan, itupun dikemas sedemikian rupa sehingga tidak secara terbuka berafiliasi pada nilai-nilai keagamaan. Atau sebaliknya, jika ada sastra yang bertolak pada persoalan keagamaan, sastra itu mengkritik para penganut agama itu sendiri. Itulah sebabnya dari jaman pemerintahan Sukarno hinga Orde Baru tidak ada Sastra Islam yang mengemuka sebagaimana yang ditulis oleh Hamka. Meskipun tetap saja kepopuleran karya-karya Hamka hanya dalam ranah dinamika sosial masyarakat penikmat karya sastra itu, bukan dalam ranah wacana kritikus di Indonesia.
Meningkatnya peranan islam dalam dinamika perpolitikan Indonesia pada tahun 1970-80an nampaknya memberikan angin segar bagi Sastra Islam di Indonesia. Pasalnya setelah pemerintah Orde Baru merapatkan diri pada golongan Islam, para sastrawan dan budayawan muslim mulai mendapat tempat yang lebih layak. Walhasil banyak sastrawan yang mulai menampakan diri dengan menggunakan nilai-nilai agama sebagai landasan tema karya sastra mereka. Landasan ideologis karya sastra islam pada saat itu dimulai dari gerakan kaum muda yang menuliskan roman percintaan yang berbasis pada nilai-nilai keislaman, sehingga karya sastra mereka sering disebut sebagai sastra islam, sastra religious, atau sastra islami. Sementara itu, untuk golongan tua (lebih mapan) sering diistilahkan sebagai sastra sufi, yaitu sastra yang menyuarakan Ke-esa-an Tuhan dan Keagungan Tuhan.
Pertumbuhan sastra islam di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat cepat, khususnya menjelang dan sesudah reformasi. Era reformasi adalah puncak dari lahirnya kebebasan semua golongan di Indonesia, sehingga kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh penulis muslim untuk berpartisipasi dalam dinamika sosial dan politik dalam karya sastra. Pada jaman ini banyak penulis muda yang membawa bendera ideologi islam dalam karya sastranya, seperti Helvy Tiana Rosa, Gola Gong, Habiburrahman El Shyrozy, Asmanadia dan lain sebagainya. Keberadaan mereka sangat besar pengaruhnya terhadap pengenalan nilai-nilai atau ideologi islam di Indonesia. Mereka juga berjasa dalam mendorong para penulis pemula untuk mengembangkan bakat dan kemampuan mereka dalam bersastra dengan berdirinya FLP (Forum Lingkar Pena). Lembaga ini telah berhasil mendorong dan melahirkan sastrawan-sastrawan muda beraliran ke-islaman di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri kelahiran sastrawan-sastrawan yang membawa ciri khas keislaman telah memberikan perubahan besar bagi masyarakat Indoensia. Mereka telah merubah image islam sebagai ajaran yang kolot, kumuh dan terbelakang menjadi islam yang lebih modern dan berkemajuan. Nilai-nilai ideologi islam yang mereka gambarkan dalam karya sastra lebih moderat. Itulah sebabnya, mereka juga telah mendorong adanya pemahaman akan toleransi sekaligus prinsip islam secara khafah di Indonesia.
Kembali pada pokok persoalan di atas, meskipun sastra islam sudah sangat menjamur dan familiar di masyarakat pembaca Indonesia, nampaknya masih diperlukan adanya peningkatan jumlah kritikus sastra islam. Keberadaan kritikus (khsusnya sastra islam) sangat penting di dalam mengangkat nilai-nilai islam sekaligus meningkatkan political bargain sastra islam di kancah nasional mapun Internasional. Semoga!
Hobart, Australia, 8 November 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H