Politik Identitas dalam Kasus Ahok
Hampir tiga tahun lamanya tidak menulis dalam Bahasa Indonesia (meskipun Bahasa Inggris juga pas-pasan hehehe), nulis artikel kurang dari seribu kata aja butuh beberapa hari. Padahal dulu cukup sepuluh menit, selama-lamanya satu jam sudah edit…. any way.... terserah pembaca...
Mengikuti perkembangan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, saya jadi teringat sebuah teori politik yang disebut dengan identity politics atau juga identitarian politics. Politik identitas merupakan gerakan politik berdasarkan atas beberapa kesamaan; baik agama, budaya, suku, profesi, gender dan lain sebagaimananya. Gerakan politik identitas inilah sepertinya yang sekarang ini sedang terjadi di Indonesia.
Pasalnya kasus yang menimpa Ahok bukan hanya menjadi masalah personal dirinya, tetapi menyangkut kepentingan banyak orang dan banyak golongan. Pertama pernyataan Ahok memang telah menyinggung jutaan umat Islam khususnya di Indonesia. Kedua kedudukan Ahok sebagai calon gubernur incumbent juga menjadi “sumbu” politik yang memperkeruh persaudaraan antarmasa pendukung dan masa dari lawan politik dalam pemilihan calon gubernur DKI Jakarta.
Dua sumbu yang menyulut pertikaian emosional antaramasa itu saya pikir akan reda setelah mengetahui hasil putusan sidang dan putusan hasil Pemilukada. Ternyata, hasil keputusan KPU pada 29 April yang menyatakan bahwa Calon pasangan Gubernur Ahok-Jarot dinyatakan kalah dan juga hasil sidang putusan hakim yang menjebloskan Ahok ke penjara 9 Mei 2017 justru menyulut keprihatinan masa dari pihak pendukung yang meluas. Perseteruan yang awalnya terjadi antar lawan politik meluas menjadi perseteruan agama dan bahkan etnis.
Percikan api perseteruan yang ditimbulkan dari keputusan pengadilan masih terus berkobar. Terutama dari pihak pendukung Ahok yang awalnya atas kepentingan politik, menjadi sejenis kepentingan agama dan etnis. Buktinya setelah Ahok dijebloskan ke penjara kasus-kasus etnis yang selama ini sudah tenggelam, di kobarkan lagi bertepatan dengan diperingatinya tragedi Mei 98.
Meskipun banyak yang menganggap kriminalisasi kasus penodaan agama adalah bagian dari strategi politik dalam Pemilihan Calon Gubernur Jakarata beberapa saat mengemuka, tetapi hal itu tidak terbukti, pasalnya setelah Pemilukada selesaipun masa (umat Islam) tetap menuntut Ahok dipenjara. Hal ini menunjukan bahwa kemarahan masa umat Islam terhadap kasus ahok benar-benar persoalan ideologis (kemarahan akibat ucapan Ahok yang melecehkan umat Islam atau sering disebut penodaan agama).
Setelah Pemilukada dan siding kasus Ahok tuntas, sepertinya percikan api perang identitas terus akan berlanjut. Perang identitas agama sepertinya sedang bergulir. Hal ini terlihat setelah ahok benar-benar di jeblokan ke dalam penjara selama dua tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Demontrasi lilin pun terjadi di berbagai kota di beberapa kota, seperti Semarang, Palembang dan Medan. Menariknya demonstrasi lilin itu bukan hanya dilakukan di Indonesia tetapi juga di luar negeri, seperti di Toronto (Canada), Seattle dan San Fransisco (Amerika Serikat) dan Melbourne (Australia). Tanggapan pun bermunculan dari berbagai pejabat pemerintah dari berbagai negara seperti Kemenlu AS, Dewan keamanan PBB, Duta besar Inggris untuk Indonesia yang mana mereka mengkritisi keputusan hakim yang menjatuhkan hukupan pada Ahok.
Masifnya dukungan yang diberikan kepada Ahok ini menunjukan bahwa kahsus Ahok bukan sekedar persoalan diri Ahok sendiri tetapi telah menyulut perang identitas. Hal itu juga seperti disampaikan oleh salah satu media Muslim yang menyebutkan bahwa demonstrasi seribu lilin digerakan oleh pihak geraja.
Melihat perkembangan ini pemerintah berlaku adil dan jeli terhadap berbagai gejolak yang terus berkembang. Jangan sampai persoalan yang dilakukan oleh segelintir orang akhirnya menyebar pada perpecahan. Demikian juga dengan ormas agar tidak mudah tersulut dengan pancingan-pancingan yang ingin mengadudomba baik antarumat, antaraagama, Suku dan golongan. Semua pihak harus bisa menahan diri untuk tidak mengumbar pernyataan-pernyataan yang memperuncing persoalan. Semoga. Wallahua’lam bish shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H