Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Perjalanan ke Pantai Santolo

19 Agustus 2012   14:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:32 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa, aku sangat suka melakukan perjalanan ke luar kota untuk mengisi hari libur. Kadang aku suka bepergian berkilo-kilo meter hanya untuk membeli mie ayam, bakso atau buku atau kadang tidak membeli apapun. Pada hari minggu, tanggal merah atau libur lain, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah dengan membaca koran sebanyak banyaknya. Tapi tidak jarang aku juga habiskan waktu libur ku dengan pergi ke luar kota; seperti Solo, Semarang, Gunungkidul, atau kota lain untuk sekedar menghilangkan rasa penat di dalam kamar atau di rumah.

Selama diperjalanan biasanya aku membawa koran (Kompas, Jawa pos, KR, atau Harjo) kadang salah satu tetapi tidak jarang malah semua ku beli sekedar mengisi kekosongan ku.

Perjalanan ku kali ini jauh dari biasanya. Jika umumnya hari minggu ku habiskan di dalam rumah atau kota sekitar tempat tinggal ku (Jogjakarta), liburan kali ini ku sempatkan untuk pergi jauh keluar kota. Tujuan ku ke Garut, Jawa Barat tepatnya.

Saat itu hari Sabtu pukul 16:00 sore hari aku sudah bersiap pergi ke stasiun Tugu. Sebelum berangkat aku berpamitan terlebih dahulu ke ibu kos. Seperti biasa jika aku hendak pergi jauh selalu ku sempatkan berpamitan sekaligus menitipkan barang-barang berharga di kamarku, juga motor agar tuan rumah tahu jika aku tidak ada di kamar. Hal itu juga agar mereka tidak mencariku saat aku tidak menampakkan diri seharian.

Tepatnya sebelum adzan maghrib aku sudah berada di dekat stasiun. Saat itu sudah berkumandang tanda berbuka puasa. Tampa menunggu lama aku turun dari bus yang kutumpangi. Aku turun tepatnya di utara Stasiun Tugu. Aku langsung menuju ke sebuah warung makan, tepatnya warung makan ayam goreng dekat Kantor Kedaulatan Rakyat. Ku pesan satu porsi ayam goreng beserta teh hangat untuk mengisi perutku yang sedang kosong. Meskipun agak ragu, aku mencoba melahapnya. Karaena aku jarang memakan makanan berat saat berbuka. Aku seringnya hanya minum air manis atau kolak, baru setelah shalat isya aku akan makan nasi. Kebiasaan itu sudah ku lakukan bertahun-tahun semenjad di pesantren waktu SMA dulu.

Sehabis makan, sekaligus sebagai buka puasa ku. Aku langsung pergi ke tempat penjualan tiket kereta. Aku membeli tiket dan mendapatkan kelas bisnis Lodaya Malam yang berangkat jam 21:24 malam. Itu artinya aku harus menunggu kurang lebih dua jam.

Aku langsung menuju masjid yang letaknya di dalam ruang tunggu Stasiun Tugu. Aku memang merasa kagum dengan fasilitas layanan yang ada di stasiun itu. Pasalnya, dulu aku adalah orangyang sangat antipati dengan yang namanya Kereta Api. Selain terkenal kumuh, kereta sering ku anggap fasilitas umum yang paling tidak nyaman. Terbayang dalam pikiranku sebagai tempat yang penuh sesak, belum lagi banyaknya para pengamen, pedagang asongan, bahkan pencopet. Alasan itulah yang membuatku enggan untuk menggunakan fasilitas yang disediakan pemerintah ini. Namun demikian, persepsiku itu kini berubah drastis. Keengganan itu kini menjadi sebuah kebanggaan. Selain tempatnya yang bersih, aman sekaligus bisa menjadi tempat refreshing.

Di masjid stasiun itu ku sempatkan shalat maghrib terlebih dahulu. Meskipun agak telat, aku tetapi sempat shalat berjamaah, karena kebetulan masih banyak juga para traveler yang telat, mungkin mereka juga sama dengan aku, berbuka terlebih dahulu sebelum memasuki Stasiun Tugu.

Aku sengaja tidak menjamak shalat maghrib dengan shalat isya, karena keberangkatan ku masih lama sehingga memungkinkan aku ikut berjamaah shalat isya sekaligus shalat terawaeh di masjid itu. Setelah adzan berkumandang, kami pun melaksanakan shalat isya yang disambung dengan shalat taraweh berjamaah. Meskipun suara imam bercampur dengan deru suaramesin kereta, shalat isya’ dan teraweh itu ku laksanakan dengan khusuk. Aku bersyukur meskipun dalam perjalanan tetap bisa beribadah atau minimal tidak ku tunda.

Seusai shalat taraweh, ku masih memiliki banyak waktu. Ku usahakan untuk sekedar ngobrol dengan siapappun di stasiun itu. Tapi karena tidak memungkinkan, terpaksa aku membaca buku yang sudah ku persiapkan dari rumah. Buku tentang Derida, Teori Dekonstruksi hampir habis ku baca dalam sekali duduk. Tapi karena waktu berangkat sudah mulai tiba aku harus menghentikan kegiatan membaca ku. Aku bergegas ke arah yang disebutkan oleh petugas stasiun, jalur lima. Para penumpak yang hendak pergi ke Bandung, Tasik dan sekitarnya diharapkan bersiap di jalur itu.

Tepat pukul 02:34 aku sudah memasuki wilayah Tasikmalaya. Tempat yang ku tuju. Aku sengaja turun di stasiun itu untuk berhenti membeli makanan buat sahur. Setibanya di stasiun itu aku langsung ke luar dan mendapati banyak orang berkerumun di salah satu tenda tempat menjual makan. Aku tidak bisa menikmati santap sahur saat itu. Selain karena tempatnya kurang nyaman, makanan yang disajikan tidak senikmat yang biasa ku nikmati di kota tempat tinggalku. Maklum aku sudah agak terlambat datang ke warung itu,sehingga makanan yang dijajakan sudah tinggal sisa-sisa.

Sambil menunggu waktu subuh tiba, aku merebahkan diri di kursiruang tunggu stasiun. Sebenarnya sudah banyak tukang ojek, becak yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan aku ke kendaraan jurusan Garut, tetapi karena ku pikir masih terlalu pagi aku menolaknya dan beristirahat sejenak di ruang tunggu stasiun itu. Setelah shalat subuh tiba akupun segera shalat subuh terpaksa sendirian karena tidak ada orang lain yang hendak shalat saat itu. Setelah itu aku panggil salah satu tukang ojek yang dari tadi sudah menunggu ku di depan gerbang stasiun.

Aku meminta tukang ojek itu mencarikan bus yang paling awal berangkat ke Garut. Tukang ojek itu nampaknya sangat familiar dengan jadwal dan tempat berhenti kendaraan jurusan Garut. Aku pun diajaknya mengejar salah satu bus sudah berangkat lebih awal. Setelah sampai di beberapa titik pemberhentian bus yang searah dengan yang aku tuju ia pun menanyakan keberangkatannya. Setelah membayar tukang ojek itu, aku segera beralih ke dalam minibus itu. Orang setempat menyebutnya mobil ELF (elep). Aku dapat di bagian pinggir pintu, tepatnya dibelakang sopir. Hawa dingin menyerang tubuh ku. Bus pun melaju dengan cepatnya.

Setibanya di terminal Garut langsung saja ku cari kendaraan ke arah Cikajang. Agak sulit memang menemukan kendaraan arah ini. Mengingat ini adalah pertama kali aku pergi ke arah ini. Tapi, berkat tanya sana-sini akhirnya aku mendapatkan elep jurusan Bandung- Cikajang. Aku turun di alun-alun dimana tempat yang pernah disebutkan teman ku. Di tempat ini ku sempatkan mandi dan shalat dhuha mengingat teman yang berjanji mengantarkan aku masih ada di rumah. Aku mencoba menikmati suasana baru yang cukup cerah dan fresh saat itu.

Setelah lumayan lama menunggu, tibalah teman yang siap mengantarkan ku ke pantai yang ku tuju. Nampaknya tidak mudah untuk mencapai ke pantai itu. Karena sudah hampir setengah jam menunggu kendaraan yang ke arah itu tidak juga kami dapatkan. Akhirnya kami pun mencari alternatif dengan pergi ke arah pemberhentian di dekat pasar. Meskipun agak lama, kami pun sabar menunggu. Setiap ada kendaraan arah Pantai Santolo, pasti sudah dipenuhi dengan penumpang dan barang dagangan. Kami pun harus bersabar. Setelah menunggu lebih dari satu jam barulah kami mendapatkan kursi yang sangat terbatas. Tempat duduk kami harus terpisah dengan dagangan dan juga penumpang lain. Dalam kondisi seperti itu aku tetap menikmati perjalanan itu. Bau dagangan, dan juga pikiran keganggu dengan orang yang mabuk di samping ku, tidak mempengaruhi kenikmatanku menikmati pemandangan di sepanjang jalan itu. Pemandangan indah memberikan hiburan segar padaku. Gunung-gunung yang hijau menawan, sungai yang berada di samping kiri jalan dan juga hijau hutan lebat menjernihkan pikiran ku. Tanaman sayuran yang ada di kaki gunung itu membuat mataku semakin fresh, sehingga menghilangkan rasa pegal yang ada di tubuhku karena posisi duduku yang tidak pas. Kelok jalan dan tebing yang curam menjadi hiburan tersendiri dalam pikiran ku. Aku hanya bisa bergumam ternyata di daerah yang ku anggap kota itu masih ada daerah yang dikelilingi hutan. Bahkan rumah-rumah berada di tepi tebing yang sangat curam, membuat ku penasaran untuk bisa menikmati bagaimana rasanya tingal di tempat seperti itu.

Waktu tempuh perjalanan itu nampak cukup lama. Pikirku cukup2 jam tapi ternyata lebih dari itu, mungkin malah 4 jaman. Sesampainya di sebuah pasar yang kami tuju kami pun turun dari mobil elep itu. Langsung saja kami dikerumuni tukang ojek yang menawarkan jasanya. Setelah berdikusi sebentar kami pun menetukan tukang ojek untuk mengantarkan kami ke pantai yang kami tuju. Hari itu sudah siang sehingga kami harus segera sampai ditempat tujuan. Pantai itu adalah tempat pelelangan Ikan yang disebut TPI Pantai Santolo. Banyak pengunjung lokal yang sedang bertransaksi. Kami pun berhenti sejenak di masjid untuk shala dhuhur dijamak dengan shalat asar. Maklum kami adalah musafir sehingga merasa perlu untuk melaksanakan shalat jamak sebagai kemudahan bagi para pelancong.

Sore hari sembari menunggu waktu berbuka, aku sempatkan untuk berkeliling di sekitar tempat kami menginap. Aku lihat pantai yang menghapar luas itu nampak bersih dan indah. Ombak pantai tidak begitu besar, sehingga memungkinkan anak-anak kecil bermain di bibir panti berpasir putih yang bersih itu. Nampaknya pantai ini masih sangat alami, karena letaknya yang sangat jauh dari perkotaan. Mungkin karena jarak yang jauh menjadikan pengunjung di pantai ini hanya waktu-waktu tertentu saja. Oleh karena itu, aku beruntung bisa berkunjung ke pantai ini mendekati Hari Raya Idul Fitri sehingga meskipun agak kesulitan, kemacetan karena ramaian kendaraan tidak ku temui saat itu.

Setelah puas menikmati pemandangan dan semilir angin pantai sore. Ku berjalan menyusuri bibir pantai sambil melihat-lihat warung makan yang kira-kira cocok untuk berbuka petang itu. Ku pilih sebuah warung makan yang tempatnya menjorok ke bibir pantai dengan tempat makan yang unik dan menawarkan berbagai menu khas pinggiran pantai. Tapi aku tidak bisa memesan makanan ala ikan laut karena tidak bisa dipesan dengan hitungan porsi. Jika membeli ikan laut atau apapun hasil laut akan dihitung dalam kilogram. Sehingga ku tentukan untuk memesan ayam goreng saja sebagai menu berbuka waktu itu, plus kolak pisang. Aku tidak menyangka ternyata makanan di tempat itu memang sangat khas. Dasar aku yang hobi makan sambal, sambalnya sangat nikmat. Tidak terlalu pedas, tetapi sedang untuk aku yang hobi sambal. Sambal inilah yang menjadikankumerasa tidak kecewa meskipun tidak bisa memesan ikan laut yang tadinya sudah ada dalam angan ku.

Aku tidak sempat mengikuti shalat maghrib berjamaah karena sudah telat. Tempat makan dan posissi masjid agak berjauhan. Tetapi aku akhirnya bisa shalat maghrib berjamaah dengan jamaah masbuk lainnya. Nampaknya orang yang mengimami ku adalah pendatang juga, tetapi dari bacaannya sudah dapat ku tebak bahwa orang itu bukan orang sembarangan. Bacaan tadjwit, dan mahrojulhuruf-nya sangat baik, membuatku menikmati shalat maghrib itu.

Susai shalat maghrib, aku tidak pulang dulu ke penginapan tetapi sengaja ku sempatkan waktu sebentar untuk ngobrol bersama beberapa orang yang ada di depan masjid. Orang yang barusan menjadi imam itu ternyata penasaran juga dengan keberadaan ku. Setelah berkenalan kami pun saling berbagi pengalaman. Ia adalah seorang guru agama yang ditugaskan di daerah pesisir pantai itu. Setiap sabtu sore sampai malam ia menjadwalkan diri untuk berdakwah di masjid itu. Meskipun tidak digaji atau tidak ada yang menjadwal, tetapi ia sudah dilakukannya puluhan tahun. Semenjak lulus kuliah jurusan agama di kota Bandung ia bertekad membangun daerah itu. Waktu awal berjuang ia adalah seorang honorer yang bergaji tidak tetap, sehingga ia memutuskan tinggal di masjid itu sebagai penjaga masjid. Namun setelah diangkat menjadi pegawai negeri ia tetap bertekad ingin menjaga silaturahmi dan mendedikasikan diri bagi masyarakat di sekitar wilayah Pantai Santolo.

Aku sangat kagum dengan pendirian dan tekad bapak itu. Karena ternyata dia memiliki keluarga besar yang sangat taat beragama. Malam itu semua keluarganya diajaknya di masjid itu. Ia memang sering mengajak keluarganya untuk melakukan tarawih keliling, terutama di sepuluh hari terakhir bersama keluarganya. Selain ingin menanamkan keberssamaan keluarga, ia berharap anak-anaknya akan bisa belajar dari pengalaman keprihatinan orang tuanya. Ia juga senang bercerita dan berbagi kepada siapapun agar memberikan semangat hidup. Baginya kehidupan adalah pengabdian dan pengorbanan. Barang siapa yang berjuang dengan ketulusan, maka pasti suatu saat kelak akan dimudahkan dalam kehidupannya. Demikian prinsip hidupnya.

Dalam pengamatan ku selama di masjid itu mereka melakukan ibadah sebagaimana jamaah lainnya. Seusai shalat taraweh mereka sekeluarga mempelopori tadarus bersama. Meskipun hanya sekitar satu jam, sudah sangat berarti bagi kegiatan masjid itu. Karena berkat keluarga itu, menurut pemilik penginapan yang ku tempati, banyak masyarakat yang bisa mengaji karena jasa sang guru itu. Berkat kegigihannya, masyarakat banyak yang shalat berjamaah di masjid itu. Bahkan tidak jarang, lahir pendakwah-pendakwah kampung yang dulu pernah diajarinya. Saat ini jamaah masjid itu sudah mandiri sehingga saat tidak ada orang itu beberapa generasi muda sudah siap mengganti. Kegiatan rutin yang sudah berjalan puluhan tahun adalah pengajian tiga bulanan dan shalat jum’ah setiap minggunya.

Perjalanan ku ke pantai Santolo merupakan pengalaman yang tidak pernah terpikir dalam benak ku. Aku tidak membayangkan akan bisa mengunjungi tempat yang sangat jauh itu. Hanya kekuatan Tuhanlah yang mentakdirkan ku sampai di tempat yang sangat indah itu. Itu sebabnya, aku bersyukur bisa sampai di situ. Meskipun ada kecemasan, aku tetap bersyukur semoga apa yang sudah menjadi takdirku, memberikan mafaat bagi kehidupan ku mendatang. Semoga....

Banten, 18 Agustus 2012

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun