Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsep Hegemoni dalam Kebudayaan Modern

9 Agustus 2012   15:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:27 17766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konsep Hegemoni dalam Kebudayaan Modern

Pengertian Hegemoni

Dalam percaturan global, persoalan hegemoni nampaknya menjadi salah satu teori sosial yang paling relevan untuk mengetahui proses perang ideologi atau oleh Huntington (1996) disebut dengan perang antarperadaban. Dengan adanya kemajuan tekonologi informasi dan transformasi, sekat-sekat negara akibat jarak dan batas waktu nampaknya sudah tidak menjadi kendala lagi. Akibatnya arus pertukan informasi dari berbagai belahan dunia mengalir deras ke seluruh sudut di dunia ini. Kondisi ini memungkinkan perebutan pengaruh antara satu negera terhadap negara lain. Itu sebabnya negara-negara yang memegang kendali di dalam penguasaan media teknologi informasi adalah penguasa ideologis-politis di belahan dunia ini. Amerika adalah satu-satunya negara super power yang sudah membuktikan kemenangannya di dalam percaturan ini. Produk budaya negara adi daya ini sudah merambah dan menjadi kiblat di hampir semua negara.

Teori Hegemoni Gramsci merupakan penyempurnaan teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik yang memadai (Hoare, 2000:vi; Sugiono, 1999: 20). Oleh karena itu, untuk memahami secara menyeluruh menganai konsep hegemoni perlu dipahami juga teori Marxisme dalam kaitannya dengan lahirnya konsep Hegemoni. Pemahaman ini akan mempermudah pemahaman tentang konsep hegemoni itu sendiri.

Marx membagi lingkup kehidupan manusia menjadi dua yaitu infrastruktur (basis/dasar) dan superstruktur/bangunan atas (Barry, 1995:158). Infrastruktur adalah bidang produksi kehidupan material, sedangkan superstruktur terdiri atas dua unsur, yaitu tatanan institusional dan tatanan kesadaran kolektif. Tatanan institusonal merupakan lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum dan negara. Di sisi lain, tatanan kesadaran mencakup segala sistem kepercayaan, norma, dan nilai yang memberi kerangka pengertian makna dan orientasi spiritual (pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai budaya, seni, dan sebagainya). Superstruktur ditentukan oleh infrastruktur, dan infrastruktur dibentuk oleh dua faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produktif (Magnis-Suseno, 1999:135-148).

Dalam teori kelas Marx terdapat tiga usur penting. Pertama, besarnya peran struktural dibandingkan dengan segi kesadaran dan moralitas. Kedua, perbedaan kepentingan antara kelas atas dan kelas bawah yang menyebabkan perbedaan sikap terhadap perubahan sosial. Kelas atas (dominan) cenderung bersikap konservatif, sedangkan kelas bawah (subaltern) bersikap progresif dan revolusiner. Kelas atas berkepentingan mempertahankan status quo, menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Sebaliknya, kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Ketiga, setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melaui revolusi (Magnis-Suseno, 1999: 117-119).

Simon (2001:19-20) menyatakan bahwa titik awal konsep Gramscitentang hegemoni berkaitan denganadanya suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan mempertimbangkan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Dalam beberapa paragraf dari karyanya, Prison Notebooks, Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan hegemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan dominazione (dominasi).

Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik (Sugiono, 1999:31-34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu, mereka harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksudkan Gramsci dengan “hegemoni” atau dengan kata lain, hegemoni dapat diartikan menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Di pihak lain, penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.

Menurut Faruk (1999:63) secara literal, hegemoni berarti “kepemimpinan”, yaitu suatu kondisi dimana suatu kelompok mendominasi kelompok lain. Istilah ini lebih sering digunakan oleh para komentator politik untuk menunjukan dominasi. Konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kutural, dan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat; suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinanya sebagai suatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa.

Dalam pemikiran Hegemoni Gramsci, ada istilah Fungsionaris Hegemoni yang dapat diartikan sebagai media untuk menanamkan pemahaman sehingga dapat dijadikan legitimasi dominasi. Pendidikan, intelektualitas, dan berbagai macam bentuk kebudayaan tinggi dan popular (termasuk ideologi, kepercayaan, dan common sense) merupakan perangkat hegemonik (Faruk, 1999: 63). Hal ini membedakan pemikiran Gramsci dengan aliran Marxis Ortodoks. Marxis Ortodoks menekankan pentingnya peranan represif dari negara dan masyarakat kelas, Gramsci memperkenalkandimensi “masyarakat sipil” untuk melokasikan cara-cara kompleks yang di dalamnya “kesetujuan” pada bentuk-bentuk dominasi yang diproduksi.

Menurut Faruk (1999:65), setidaknya ada enam konsep kunci dalam pemikiran Gramsci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual, dan negara. Keenam kata kunci ini menunjukan bahwa yang menjadi inti pemikiran Gramsci dalam menentukan kepemimpianan adalah moral dan intelektual. Hal ini berbeda dengan yang terdapat dalam bentuk-bentuk analisis Marxis yang lebih ortodoks dan mengindikasikan berbagai macam cara yang di dalamnya kepemimpinan sudah dibangun secara historis. (Faruk, 1999: 63).

Superstruktur bukanlah semata-mata sebagai sebuah epifenomena atau refleksi (Sugiono, 1999:34). Dari elemen infrastruktur seperti yang dikemukankan oleh Karl Marx, Gramsci justru mengkarakterisasi superstruktur sebagai sesuatu yang penting dengan sendirinya. Sedangkan Lenin menganggap hegemoni sebagai strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari mayoritas (Patria, dkk., 2003). Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah hegemoni memperluas pengertiannya sehingga hegemoni mencakup peran kelas kapitalis beserta anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan negara maupun dalam mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh (Simon, 2001: 21).

Gramsci mengubah makna hegemoni dari strategi (sebagaimana dikemukakan Lenin) menjadi sebuah konsep (seperti halnya konsep Marxisme tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas, dan negara) yang menjadi sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya (Sugiono, 1999). Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaanya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan. Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik, atau kelompok kelas hegemonik, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi (Semon, 2001: 22).

Menurut Gramsci, revolusi fisik yang terjadi di Perancis tidak akan terjadi kalau sebelumnya tidak terjadi revolusi ideologis (via Patria, 2003). Revolusi ideologis merupakan pencerahan yang membangkitkan gerakan perubahan dalam suatu masyarakat. Pencerahan, bagi Gramsci, merupakan revolusi yang luar biasa dalam dirinya sendiri. Filsafat tersebut memberikan suatu semangat borjuis internasional dalam bentuk kesadaran terpadu, suatu kesadaran yang sensitif terhadap seluruh nasib masyarakat umum pada seluruh Eropa. Pendek kata, revolusi sosial harus didahului oleh revolusi kebudayaan atau revolusi ideologis.

Revolusi kebudayaan tidak berlangsung secara spontan, alamiah, melainkan melibatkan berbagai faktor kultural tertentu yang memungkinkan revolusi tersebut terjadi (Faruk, 1994: 66-67). Oleh karena itu dalam mendapatkan kekuasaan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Penanaman ideologi melalui gagasan membutuhkan waktu yang cukup lama karena melalui proses yang cukup panjang. Namun demikian, perubahan yang diakibatkan dari sebuah kesadaran ideologis lebih penting dan lebih bermakna dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Gramsci, ada suatu keterkaitanyang penting antara kebudayaan dengan politik, meskipun pertalian itu lebih jauh daripada pertalian yang sederhana dan mekanis (Gramsci, 1987). Kebudayaan dibagi menjadi bermacam-macam bentuknya, misalnya kebudayaan “tinggi” dan “rendah”, kebudayaan elit atau popular, filsafat atau common sense; dan dianalisis dalam batas-batas efektivitasnya dalam merekatkan bentuk-bentuk kepemimpinan yang kompleks. Gramsci menolak konsepsi Marxis yang lebih dasar dan lebih ortodoks mengenai “dominasi kelas” dan menyukai satu pasangan konsep yang lebih tinggi dan bernuansa, yaitu “kesetujuan”. Gramsci fokus pada cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktik-praktik kultural, politis, dan ideologis yang bekerja untuk merekatkan masyarakat menjadi satu kesatuan yang relatif, meskipun tidak pernah lengkap. Gramsci membuat hubungan-hubungan yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan. Dia mempersoalkan wilayah common sense yang dianggap lugu dan spontan, menginterogasi jajaran luas bentuk-bentuk kultural dari yang “tertinggi” sampai yang “terendah” dan menerangkan situs-situs historis dan politis dari interaksi dan formasinya.

Gramsci memilah superstruktur menjadi dua level struktur utama, yang pertama masyarakat sipil dan yang kedua masyarakat politik atau negara. Masyarakat sipil mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut swasta, seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. Sebaliknya, masyarakat politik adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah” secara yuridis, seperti tentara, politisi, pengadilan, birokrasi, dan pemerintahan. Kedua level superstruktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda, yaitu ranah persekutuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat politik (Suginono, 1999: 35).

Negara bagi Gramsci sama dengan masyarakat politik ditambah masyarakat sipil, atau hegemoni yang dilindungi baju besi koersi; kombinasi kompleks antara hegemoni dan kediktatoran. Dengan kata lain, hal itu merupakan gabungan antara aparatus koersif pemerintah dengan aparatus hegemonik instansi swasta. Hubungan hegemonik ditegakan jika legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri kelompok subordinat (subaltern) sehingga lahirlah konsensus. Dengan begitu, penggunaan kekuasaan koersif oleh negara tidak penting lagi (Sugiono, 1999: 36-37).

Menciptakan hegemoni baru hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berfikir dan pemahaman masyarakat, “konsepsi mereka tentang dunia”, serta norma perilaku moral masyarakat. Kelas hegemonik diyakini bertindak bagi kemaslahatan masyarakat secara keseluruhan. Konsep hegemoni dengan demikian pengaplikasiannya melibatkan konstelasi kekuatan sosial politik yang disebutnya dengan blok historis, merupakan hubungan resiprokal antara wilayah aktivitas politik, etik, ataupun ideologis dengan wilayah ekonomi. Tanggung jawab untuk membangun blok historis ada dipundak “intelektual organik”.Setiap intelektual kehadirannya terakit dengan struktur produktif dan politik masyarakat, dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili. Intelektual organik adalah fungsionaris atau deputi kelompok penguasa (Sugiono, 1999: 42).

Untuk meraih kekuasaan, Gramsci membedakan dua strategi, yaitu perang gerakan atau perang manuver dan perang posisi. Perang gerakan atau perang manuver mengacu pada strategi revolusioner Marxisme-Leninis. Perang posisi berupa sentralitas konsensus. Perjuangan merebut kekuasaaan dalam perang posisi lebih diarahkan pada upaya untuk mengenyahkan ideologi, norma, mitos politik, dan kebutaan keompok berkuasa. Perang posisi adalah sebuah proses transformasi kultural untuk menghancurkan sebuah hegemoni dan menggantikannya dengan hegemoni lain (Sugiono, 1999: 45-46).

Bagi Gramsci, bentuk-bentuk kultural atau kebudayaan merupakan objek yang menarik untuk diteliti secara konkret, terutama dalam hubungannya dengan kemungkinan dioperasikanya dalam kehidupan praksis. Studi mengenai kebudayaan juga meliputi berbagai aktivitas kultural lainnya seperti seni dan kesusastraan (Faruk, 1994: 67). Kenyataan inilah yang memperkuat asumsi bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara kesusastraan dengan ideologi pengarangnya.

Ada empat hal yang perlu dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya terjadi antar kelas, tetapi dapat terjadi konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan umum. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas dan mengembangkan interesnya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern. Kata kunci dalam pemahaman teori Hegemoni Gramsci adalah negosiasi untuk mencapai konsensus semua kolompok. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya. Seni membawa ideologi atau superstruktur yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan wujud counter-hegemony (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk alam. Seni merupakan salah satu upaya persiapan budaya sebelum sebuah kelas melakukan tindakan politik. Hal ini berarti bahwa seniman atau sastrawan merupakan intelektual. Untuk mengidentifikasi ideologi tidak hanya melihat karya seni atau sastra, tetapi juga memperhatikan pandangan seniman dan intensi pengarang tentang kehidupan, serta kondisi sosial historis pada saat yang bersangkutan (Harjito, 2002: 23-24).

Teori Hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra Raymond Williams (Faruk, 1994:78).

Dalam bukunya yang berjudul Culture and Suciety (1967), Williams menolak teori Marxis ortodoks yang cenderung menempatkan kebudayaan sebagai superstruktur yang ditentukan, dan dengan demikian terpisah dari masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya. Menurut Williams, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Di dalam totalitas, itu tidak ada perbedaan tingkat atau derajat antara elemen-elemen pembentuknya, baik yang berupa infrastruktur maupun superstrukturnya. Setiap usaha untuk mengambil salah satu elemen dalam totalitas pasti akan mebuahkan penemuan mengenai elemen yang lain yang tercermin di dalamnya.

Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas, di dalamnya tidak ditemukan hubungan determinasi antara elemen yang satu dengan elemen yang lain, yang ada hanya hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi persoalan determinasi tersebut, Wiliams menggunakan konsep Hegemoni Gramscian.

Sebagai kekuatan material, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasi massa manusia, menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak. Bagi Gramsci hubungan antara yang ideal dengan yang material tidak berlangsung searah, melainkan bersifat saling tergantung dan interaktif. Kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individual belaka tanpa kekuatan material (Faruk, 1999: 62).

Persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, iradiasi, penyebaran dan persuasi. Kemampuan gagasan atau opini dalam menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebut oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni (Faruk, 1999: 62).

Sebagaimana sudah disebutkan, pemikiran Gramsci terdiri dari enam kata kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual dan negara (Faruk, 1999:65). Agar lebih jelas mengenai masing-masing kata kunci tersebut, berikut ini penjelasan masing-masing kata kunci tersebut.

Hubungan Ideologi dan Hegemoni

Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada tahun 1885 oleh Marxis Rusia, terutama oleh Plekhanove yaitu pada tahun 1883-1984. Gagasan ini dikembangkan sebagai bagian dari strategi menggulingkan rezim Tsarisme. Istilah Hegemony menunjukan kepemimpinan yang harus dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakil politiknya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi Tsaris. Dengan istilah lain, hegemoni dapat juga diartikan sebagaikontrol dan kepemimpinan, khususnya oleh suatu negara terhadap suatu kelompok masyarakat dalam hal kebudayaan, politik dan militer, control and leadership, especially by one country over others within a group, cultulural, economic militery hegemony (Oxford English Dictionary[1]).

Berdasar dari pemahaman kita akan pengertian hegemoni di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam hegemoni, hal yang memiliki peranan besar dalam perubahan sosial adalah ideologi. Ideologi yang lahir dari kesadaran akan eksistensi seseorang atau sekelompok orang akan menggerakan orang tersebut melakukan suatu perubahan.Oleh karena itu, di dalam hegemoni kaum intelektual memiliki peran sentral sebagaimana yang diungkapkan Lenin, yang dikutip dalam buku Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni karya Robert Bocock;

“Betapapun kita mencoba untuk “mencoba meminjamkan kepada perjuangan ekonomi itu sendiri suatu karakter politik” kita tidak akan mampu mengembangkan kesadaran politik para pekerja....dengan tetap berada dalam kerangka perjuangan ekonomi, karena kerangka tersbut terlalu sempit.

Untuk membawa pengetahuan politik ke para pekerja, sosial demokrat harus membaur ke segala kelas penduduk... (dan ini merupakan) kaum intelektual, selaku pelaku propaganda, adikator dan organiser”.

Di sini dapat kita pahami bahwa pemikiran Lenin mengindikasikan teori memiliki peranan sentral dalam membangun opini masyarakat. Gagasan atau ide-ide dalam hegemoni sangat dipengaruhi oleh kesadaran ideologi, dan kepemimpinan teoritis sangat penting dalam persoalan ini. Lebih lanjut Lenin menyatakan; ...peran pejuang barisan depan hanya dapat dipenuhi oleh suatu partai yang dibimbing oleh teori yang paling maju.

Menurut Marx, ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama mengenai struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada kepentingan kelas atas. Kritik ideologimerupakan sumbangan terpenting teori Marx terhadap analisis struktur kekuasaan dalam masyarakat.

Pemahaman mengenai ideologi akan memperjelas perbedaan antara konsep Marx dan konsep Hegemoni Gramsci. Jika di dalam Marxisme, dominasi ditentukan oleh kekuatan ekonomi, maka dalam hegemoni Gramsci dominasi lebih ditentukan oleh intelektualitas atau ide-ide, paham dan pengetahuan. Reena Mistry menyebutkan bahwa unlike Marxist theories of domination, Gramsci relegates economic determinants to the background and brings to the fore the role of intellectuals in the process (1999)[2]. Dengan kata lain, teori hegemoni Antonio Gramsci lebih menekankan pada tataran budaya dan ideologi, sedangkan Marxisme lebih pada wilayah kekuatan ekonomi. Gramsci menyebutkan bahwa perubahan ideologi harus diutamakan dalam pembangunan masyarakat.

“Antonio Gramsci's theory of hegemony is of particular salience to the exploration of racial representations in the media because of its focus on culture and ideology.”

Dalam sebuah negara, tuntutan para penguasa terhadap kepatuhan hukum yang dibuat pemerintah adalah sebuah keputusan ideologis. Hukum yang dibuat oleh para penguasa berdasarkan pada kepentingan-kepentingan kelas yang berkuasa, meskipun terkadang dibuat atas nama kepentingan masyarakat yang diperintah. Ironisnya semua itu hanya pengelabuhan/pembohongan yang dilakukanpara penguasa untuk mendapat hati dari masyarakat.

Kedudukan ideologi dalam sistem kapitalisme sama dengan konsep di dalam negara. Dalam kapitalisme, pemilik modal memiliki kedudukan sama dengan para penguasa. Pemilik modal dapat mengendalikan dan membuat aturan yang menguntungkan pemilik modal. Meskipun kaum buruh dapat menolak hal itu, tetapi jika pemilik modal bersikukuh dengan kententuannya, maka para buruh tidak akan dapat hidup. Bagaimanapun kehidupan kaum buruh sangat tergantung dari pekerjaan yang diberikan oleh para pemilik modal.Marx menyebutkan, meskipun kaum buruh memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak pekerjaan yang ditawarkan pemilik modal, tetapi karena mereka hanya dapat hidup apabila bekerja, dan dengan demikianterpaksa para buruh menerima pekerjaan tersebut.

Hegemoni suatu kelas terhadap kelas yang ada di bawahnya merupakan hasil dari bangunan konsensus. Konsensus merupakan suatu dominasi yang dilakukan bukan dengan suatu paksaan tetapi melalui persetujuan dan pemahaman. Dalam Kamus Ilmiah Populer (Hantanto:1994), konsensus diartikan sebagai suatu persetujuan, kesepakatan bersama atau kata sepakat. Oleh karena itu, pada dasarnya konsensus berkaitan dengan persoalan psikologis. Dengan kata lain, konsensus merupakan kepatuhan atau ketertundukan seseorang atau sekelompok orang karena adanya suatu kesadaran.

Pada dasarnya ketertundukan pada aturan dan perangkat hukum penguasa dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena takut, terbiasa, dan karena kesadaran/persetujuan. Dari ketiga hal tersebut, pandangan yang terakhir merupakan ciri dalam konsep hegemoni. Dengan demikian hegemoni bersifat menyeluruh karena bersifat psikologis (Patria dkk., 2003:125).

Menurut Gramsci, hegemoni berdasar pada konsensus yang muncul melalui komitmen aktif atas klas sosial yang secara historis lahir dalam hubungan produksi. Gramsci mengatakan (secara tidak langsung) bahwa konsensus adalah komitmen aktif yang didasarkan pada adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah. Konsensus ini secara historis lahir karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi (Patria dkk., 2003:126).

Sebuah konsensus yang diterima oleh kelas pekerja, bagi Gramsci, pada dasarnya bersifat pasif. Kemunculan konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni dan menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai keinginan mereka. Sebaliknya, hal tersebut terjadi karena mereka kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara efektif.

Femia (Patria dkk., 2003:124) menyatakan bahwa setidaknya ada empat model konsensus, yaitu konsensus pada masa Romawi Kuno, pra-moderen, masa masyarakat kapitalis, dan masa pemikiran kontemporer. Keempat masa ini memiliki pemikiran-pemikiran khas. Untuk lebih jelasnya berikut ini ditampilkan kutipan pendapat Femia mengenai konsensus hegemoni (Hendarto (1993: 79, Nezar dkk., 2003:124-125).

Pertama, dalam sejarah Romawi Kuno, pusat kekuasaan berada dalam tangan seorang Kaisar. yang berperan sebagai hakim agung, sumber otoritas politik. “Konsensus” berada di tangan Kaisar seorang, segala sesuatu mutlak di tangan kaisar.

Kedua, dalam sejarah pra-moderen, pandangan tentang konsensus tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat organik dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status dan fungsi yang ditentukan dalam hierarki alamiah (kodrat). Bahwa etika politik bukanlah pertama-tama bertalian dengan masalah hukum, melainkan lebih merupakan kewajiban manusia terhadap masyarakatnya. Di dalam konsensus dipahami bahwa subjek-subjek yang memegang otoritas memahami dan mengikutinya. Dalam pengertian ini tidak dipakai penerimaan indiviual karena tujuannya pada keteraturan universal.

Ketiga, dalam masyarakat kapitalis lanjut secara filosofis dan politik tampil teori-teori hukum alam dan kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya dilakukan dengan sukarela secara individual, tidak ada sesuatu pun yang dapat memaksa manusia. Konsensus memasuki hidup bersama dengan perjanjian positif. Dengan kata lain, kebebasan individu mendapat tempat utama dalam masyarakat.

Keempat, dalam pemikiran politik dewasa ini, ada perubahan pengertian konsensus dari pengertian liberal mengungkapkan tuntutan yang baru. Warga negara secara individual menuntut keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam masyarakat politik yang diorganisasi dan ditentukan. Dapat dikatakan bahwa konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran mengenai kontrak sosial. Konsensus dipandang sebagai kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familliar.

Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukanakn Gramsci dalam konsepnya mengenai hegemoni, yaitu pertama hegemoni total (integral), hegemoni merosot (decadent), dan hegemoni minimum. Pertama, hegemoni integral adalah hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas, masyarakat menunjukan kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Kondisi tersebut tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah.

Kedua, hegemoni merosot adalah suatu kondisi hegemoni yang mengandung kontradiksi. Kontradiksi itu mengakibatkan adanya pertentangan-pertentangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Dalam hegemoni ini rawan terjadi disintegrasi.

Ketiga adalah minimal hegemoni. Hegemoni ini merupakan hegemoni paling rendah. Hegemoni bersandar pada satuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang diturunkan bersamaan dengan keengganan setiap campur tangan massa dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.

Kata Ideologi memiliki pengertian yang cukup luas, oleh karena itu perllu diperhatikan makna dari ideologi. Pertama, ideologi adalah semua sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia. Ideologi memberikan ajaran kepada manusia tentang suatu keadaan, terutama mengenai struktur kekuasaan yang dianggap sah. Ideologi merupakan ilusi atau kesadaran palsu yang tidak menggambarkan situasi nyata manusia sebagaimana adanya. Ideologi menggambarkan realitas dengan penafsiran terbalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar dinyatakan sedemikian rupa sehingga nampak baik dan wajar. Hal itu terjadi karena ideologi melayani kepentingan kelas yang berkuasa sebagai alat legitimasi (Magnis-Suseno, 1999:122-123).

Kedua, ideologi adalah sistem berpikir, kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Ideoloogi adalah sistem gagasan yang mempelajari keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial. Ideologi dalam hal ini disebut neutral conception (Thompson, 2003:17).

Ketiga, ideologi merupakan kepercayaan kepada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh kelompok masyarakat tertentu. Hal ini biasanya terwujud dalam suatu perkumpulan yang berjuang merealisasikan gagasan atau kepentingan kelompok tersebut, seperti perkumpulan anggota partai politik, serikat buruh, dan organisasi sosial lain yang bertujuan merealisasikan kepentingan mereka. Ideologi ini seringnya disebut dengan ideologi yang diselewengkan, karena ideologi yang dianut merupakan idealisme pemimpin mereka.

Keempat, pengertian ideologi sama dengan kesadaran palsu, yaitu praktik-praktik gerakan ideologis untuk menggerakan suatu kelompok demi suatu kepentingan. Distorsi tersebut sengaja disebut untuk melanggengkan kepentingan kelompok berkuasa dan mengendalikan sepenuhnya pihak yang lemah (Storey, 2003:5).

Kelima, ideologi dapat juga digunakan sebagai alat menyembunyikan realitas sebenarnya, yakni realitas dominasi para panguasa. Hal ini umumnya terdapat dalam ideologi kapitalis. Pada umumnya ideologi ini mengaburkan agar orang-orang yang dieksploitasi tidak merasa ditindas meskipun sesungguhnya mereka sedang diperas.

Keenam, ideologi bukan hanya pelembagaan ide-ide, tetapi sebagai praktik material yang dapat dijumpai dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ideologi seperti ini terdapat dalam cara-cara dan tempat ritual, kebiasaan-kebiasaan tertentu yang menghasilkan akibat yang mengikat dan melekatkan seseorang pada tatanan sosial.

Persoalan sesungguhnya adalah kenapa ideologi tersebut lebih banyak menguntungkan orang-orang berkuasa. Ada beberapa alasan yang menjadikan ideologi para penguasa beredar di masyarakat. Pertama, pikiran yang berkuasa setiap zaman adalah pemikiran kelas berkuasa. Kedua, kelas yang menguasai sarana produksi material adalah kelas yang menguasai sarana produksi spiritual. Ketiga, hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pemikiran serta gagasan mereka. Akhirnya, nilai-nilai resmi masyarakat adalh nilai-nilai kelas atas (Magnis-Suseno, 1999: 124).

Penguasaan ideologi kelas atas ini terjadi bukan hanya di dalam sistem masyarakat feodal, tetapi juga di dalam masyarakat kapitalis. Di zaman feodal, raja dianggap sebagai titisan Tuhan. Raja adalah orang suci yang sudah dipilih Tuhan untuk memerintah masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada yang berani membantah atau melanggar ketentuan dari seorang raja. Perbedaannya dengan sistem masyarakat kapitalis adalah kekuatan pemimpin itu sudah agak berkurang, meskipun kekuatan itu masih tetap ada dan masyarakat masih tunduk kepada ketentuan mereka yang kuat, baik kuat secara ekonomi, keturunan, maupun intelektual.

Dari seluruh pengertian ideologi yang sudah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ideologi dapat disamakan dengan kebudayaan, filsafat, pandangan dunia, atau reformasi moral dan intelektual (Simon, 2001: 85). Berdasarkan pengertian tersebut, ideologi memiliki aspek psikologis karena berkaitan dengan kesadaran dan ketidaksadaran seseorang. Ideologi dalam hal ini berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian, ideologi bukan fantasi seseorang karena ia terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat.

Hubungan Hegemoni dengan Kebudayaan, Kepercayaan Populer, dan Common Sense

Gramsci menyadari bahwa kebudayaan merupakan kekuatan material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya” bagi masyarakat (via Faruk, 1999: 65). Oleh karena itu, kebudayaan bukan sekedar pengetahuan tanpa makna, tetapikebudayaan dapat berarti kekuatan politik.

Gramsci menganggap kebudayaan sebagai organisasi, disiplin diri batiniah seseorang, merupakan suatu pencapaian suatu kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya seseorang berhasil dalam memahami nilai historis diri dan fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (via Faruk, 1999: 66).Dengan demikian, kebudayaan tidak bisa disepelekan hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diperhatikan dan dipahami sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kebudayaanlah sebuah negara atau suatu komunitas dapat mengangkat derajat dan martabatnya di mata komunitas atau negara lain.

Pentingnya peranan kebudayaan didasarkan pada pemahaman bahwa manusia adalah produk sejarah. Mengingat yang paling penting dari manusia adalah pikirannya, dengan demikian kesadaran akan posisi seseorang akan menggugah adanya kesadaran diri untuk mengubah nasib diri yang sedang tereksploitasi, ia akan melakukan perlawanan atau pemberontakan setelah menyadari bahwa dirinya diperalat atau diperas oleh golongan atau kelompok lain. Kebudayaan memiliki peran penting karena dapat memberikan kesadaran kepada kelompok-kelompok yang menjadi korban eksploitasi kelas penguasa. Itulah sebabnya Gramsci beranggapan bahwa sebuah revolusi sosial hanya akan terjadi jika didahului oleh adanya revolusi kebudayaan. Revolusi sosial tidak terjadi secaraspontan, alamiah, tatapi melibatkan berbagai faktor kutural tertentu yang memungkinkan terjadinya revolusi sosial (via Faruk, 1999: 66).

Gagasan-gagasan dan kepercayaan populer merupakan aspek yang sangat penting dalam perubahan sosial. Menurut Gramsci gagasan-gagasan dapat juga dikatakan sebagai kekuatan material. Aspek ini akan mempengaruhi cara pandang seseorang mengenai dunia. Dengan demikian dinamika sosial sangat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang terhadap kehidupan.

Dalam kaitannya dengan penyebaran gagasan-gagasan tersebut, folklor, common sense, dan opini-opini memiliki peran penting dalam penyebaran gagasan atau ideologi. Faruk menyebutkan ada tiga cara penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu, yaitu melalui bahasa, common sense, dan folklor (Faruk, 1999: 71). Folklor meliputi sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul-tahayul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu. Jika folklor dapat disamakan dengan karya sastra, maka karya sastra (sebagaimana disebutkan oleh Lotman) merupakan media yang tidak tergantikan oleh media lain dalam peranannya terhadap penyebaran gagasan.

Literature is accordingly defined as secondary modeling system (...) Literature possesses an exclusive, inherent system of signs (...) which serve to transmit special messages, not transmittable by other means” (via Noth, 1995351).

Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa karya sastra merupakan media paling efektif dalam menyebarkan gagasan-gagasan. Dengan demikian, karya sastra menjadi sangat penting dipelajari dan dianalisis karena di dalamnya terdapat gagasan ideologis yang dapat mengubah kondisi sosial masyarakat.

Selain folklor dan common sense, bahasa juga memiliki peran sentral dalam penyebaran gagasan. Bahasa marupakan media utama komunikasi antara manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, melalui bahasa dapat diketahui sejauh mana pemikiran seseorang. Menurut Faruk (1999:71) dari bahasa seseorang dapat ditafsirkan kompleksitas yang lebih besar atau lebih kurang dari konsepsinya mengenai dunia. Di dalam bahasa terkandung elemen-elemen suatu konsepsi mengenai dunia dan kebudayaan.

Gramsci menyatakan bahwa common sense merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasif meskipun tidak sistematik. Common sense berbeda dengan filsafat karena ia mempunyai dasar dalam pengalaman popular dan tidak merepressentasikan suatu konsepsi yang terpadu menganai dunia. Dengan demikian, filsafat merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan common sense (via Faruk, 1999: 71).

Stratum sosial memiliki common sense sendiri-sendiri. Setiap arus filosofis manusia meninggalkan endapan pada common sense. Hal itu merupakan dokumen dari efektivitas historisnya. Common sense sendiri bukan merupakan sesuatu yang kaku dan immobil, melainkan selalu mentransformasikan dirinya, memperkaya dirinya dengan gagasan ilmiah dan opini-opini filosofis yang memasuki kehidupan sehari-hari. Sebagaimana disebutkan oleh Faruk, common sense menciptakan folklor masa depan, yaitu sebagai satu fase yang relatif kukuh dari pengetahuan popular pada suatu ruang dan waktu tertentu (via Faruk, 1999: 71).

Menurut Gramsci, kesadaran untuk menjadi bagian dari kekuatan hegemonik yang khusus adalah tahap pertama ke arah kesadaran diri yang progresif yang di dalamnya teori dan praktek menjadi satu (via Faruk, 1999: 73). Hal ini dimaksudkan bahwa pemahaman teori harus diaplikasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Setiap teori akan disempurnakan dalam praktek, dengan demikian teori akan mempermudah praktek dalam kehidupan sehari-hari. Teori akan menginspirasi adanya perubahan sosial masyarakat, teori merupakan panduan kehidupan atau praktek sosial.

Dengan demikian, pengertian mengenai filsafat atau konsepsi mengenai dunia bagi Gramsci bukan sekedar persoalan akademik, melainkan merupakan persoalan politik. Filsafat merupakan gerakan kebudayaan, suatu ideologi dalam pengertian luas, yaitu sebagai suatu konsepsi mengeani dunia yang secara implistik memanifestasikan dirinya dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dan dalam kehidupan individual maupun kolektif (via Faruk, 1999:74). Dengan demikian, ideologi filsafat berfungsi mempersatukan kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan. Hal ini tercermin dari pada fungsi agama yang mempersatukan berbagai kekuatan sosial dalam satu jalur agama tersebut.

Kaum Intelektual (Agen ideologisasi)

Kaum intelektual merupakan agent of change yang memiliki fungsi menyebarkan ideologi perubahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, ideologi tidak akan pernah efektif atau bermanfaat selama tidak ada yang menyebarkan ideologi tersebut. Para intelektual adalah pelaku atau pendorong adanya perubahan. Dengan kata lain, merekalah kunci utama adanya dinamika sosial. Peranan kaum intelektual di dalam menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai ideologis kepada masyarakat menjadi dominan.

Penanaman nilai-nilai ideologis dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga sekolah atau lembaga pengajaran dan lembaga keagamaan. Melalui lembaga-lembaga inilah ideologi disebarkan dan menjadi sebuah komando perubahan sosial. Dengan demikian, kaum intelektual disebut sebagai fungsionaris hegemoni (Faruk, 1999:75).

Menurut Faruk (1999:75) kata intelektual bukan dipahami dalam pengertian yang sederhana, tetapi suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan fungsi organisasinonal dalam pengertian yang luas, baik dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik.

Di dalam Prison Notebooks disebutkan bahwa sebenarnya semua orang berpotensi menjadi seorang intelektual. Namun ke-intelektual-an tersebut sangat ditentukan oleh fungsi mereka dalam masyarakat (via Hoare, 1983: 3).

All man are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function.

Pernyataan tersebut menunjukan bahwa fungsi atau peran seseorang atau kaum intelektual lebih ditentukan oleh fungsinya dalam mempengaruhi dinamika sosial. Lebih lanjut Gramsci membedakan kaum intelektual menjadi dua, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah para intelektual yang memiliki profesi khusus (seperti para ahli di bidang ilmu pengetahuan, bidang sastra dan lain sebagainya), sedangkan yang kedua adalah intelektual organik, yaitu mereka yang mengorganisasi dan memikirkan organisasi sosial tententu. Dalam konteks ini mereka tidak memiliki profesi tententu, tetapi peran mereka menginspirasi dan mendorong dinamika sosial (via Hoare, 1983: 3). Pengertian kedua ini menunjukan bahwa kaum intelektual memiliki peran paling besar di dalam menyebarkan ideologi-ideologi perubahan sosial.

Simpulan dari paparan di atas adalah Gramsci menyatakan bahwa kaum intelektual merupakan ‘deputi’ dari kelompok dominan yang menjalankan fungsi khusus dari hegemoni sosial dan pemerintahan sosial,yang meliputi:

1).Persetujuan ‘spontan’ yang diberikan oleh populasi massa yang besar kepada kepemimpinan umum yang dilakukan kelompok dominan atas kehidupan sosial; persetujuan ini bersifat ‘historis’ disebabkan oleh prestise (dan kepercayaan diri yang konsekuen) dimana kelompok dominan menikmatinya karena posisi dan fungsi mereka dalam dunia produksi.

2).Aparat kekuasaan secara ‘legal’ memaksakan disiplin pada kelompok-kelompok ini pada siapa yang tidak ‘setuju’ baik secara aktif maupun pasif. Aparatus ini, bagaimanapun juga, digunakan untuk seluruh masyarakat sebagai antisipasi dalam momen krisis dari kepemimpinan atau manakala persetujuan spontan telah melemah (Patria, 2003:158).

Negara (Perangkat Hegemoni)

Sebelum membicarakan makna sesungguhnya dari apa yang dinamakan negara, perlu kiranya dipahami bahwa pandangan Gramsci akan negara selalu bertolak dari pandangan Marxisme. Lahirnya konsep negara dan hegemoni Gramsci sebenarnya berasal dari ketimpangan yang ada dalam aliran pemikiran tersebut. Pertama, terjadinya kesenjangan teori Marxis antara teori dan praktek kelas proletariat. Kedua, upaya menemukan sarana dan strategi partai revolusionerdalam menumbuhkan dukungan dan mencapai kekuatan penuh dalam masyarakat kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci ingin menyelesaikan kegagalan strategi dan taktik kelas proletariat dalam menumbangkan kelas borjuis di Italia.

Bagi Gramsci, partai adalah alat sesungguhnya bagi kelas pekerja untuk menyatukan teori dan praktik. Teori muncul dari partai dan dalam rangka merespon problem yang dihadapi oleh masa yang terorganisir. Oleh karena itu, konsep tentang negara dan hegemoni sesungguhnya merupakan bagian dari praktek revolusioner yang dilakukannya. Dari praktik ini pula, Gramsci mencoba menyusun konsep baru tentang peranan partai dalam rangka menjalankan tugas revolusi(Patria, dkk., 2003: 113).

Negara atau state dalam Bahasa Inggris berarti suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Dengan pengertian lain, negara adalah pengorganisasian masyarakat dalam suatu wilayah dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu sebagai tempat negara itu berada (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara).

Negara merupakan institusi resmi yang mengatur kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, melalui negara produk-produk hukum dan aturan dibuat guna mengendalikan kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Negara dalam pandangan Marxisme berkaitan dengan kelas-kelas sosial. Dengan demikian, negara dalam Marxisme adalah negara kelas.

Dalam konsep Marxisme, negara tidak lepas dari model dalam kaitannya dengan ekonomi. Menurut Marx, para penguasa merupakan bagian dari orang-orang yang memiliki modal, hanya orang kaya yang dapat masuk di lembaga pemerintahan. Dengan kata lain, struktur kekuasaan dalam bidang ekonomi tercermin juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx adalah bahwa negara secara hakiki merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi (Magnis-Suseno, 2000: 121).

Marx berpandangan bahwa negara bukanlah lembaga di atas masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, melainkan apa yang diusahakan oleh para pemegang kekuasaan tersebut sebagai usaha mengelabuhi masyarakatnya dengan tindakan-tindakan yang seolah-olah untuk kepentingan rakyat. Frederick Enggel menyatakan bahwa negara bertujuan untuk mempertahankan syarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa (Magnis-Suseno, 2000:120). Jika demikian adanya, maka negara merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan bagi kelas-kelas atas atau kelas pemilik modal. Negara mengawasi setiap gerak dan pemikiran masyarakat sipil yang berada di bawah naungannya. Untuk itu Karl Marx (1869) menyebutkan bahwa negara berperan sebagai berikut.

Negara terlibat, mengontrol, mengawasi, dan mengelola masyarakat sipil dari perbagai ekspresinya yang mencakup semua hal sampai gerakan-gerakannya yang paling tidak signifikan, dan dari bentuk-bentuk eksistensinya yang paling umum sampai kehidupan pribadi individu-individu[3].

Dengan demikian, di dalam konsep Marxisme, negara merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara dalam hal ini bukan kawan melainkan lawan bagi masyarakat kecil. Orang kecil diharapkan tidak menuntut keadilan atau bantuan yang sesungguh-sungguh dari negara, karena negara justru merupakan wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga kerja orang kecil (Magnis-Suseno, 2000:121).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas Plato menyatakan;

“Dan bentuk pemerintahan yang berbeda membuat hukum menjadi demokratis, tiranis, dan aristokratis, sesuai dengan kepentingan mereka; dan hukum ini, yang mereka ciptakan untuk kepentingan para penguasa sendiri, merupakan keadilan yang mereka terapkan pada rakyat mereka, dan seseorang yang melanggar hukum itu mereka hukum sebagai pelanggar hukum dan penjahat. ... satu-satunya kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa dimana-mana hanya ada satu prinsip tentang keadilan yang merupakan kepentingan dari yang lebih kuat.” (Plato, 1992: 22)

Setelah memahami konsep negara di dalam Marxisme, kita perlu mengetahui konsep negara menurut Gramsci. Gramsci membedakan dua wilayah dalam negara; yaitu dunia masyarakat sipil dan masyarakat politik. Wilayah pertama penting bagi konsep hegemoni karena merupakan wilayah “kesetujuan” dan“kehendak bebas”. Wilayah kedua merupakan dunia kekerasan, pemaksaan dan intervensi (Faruk, 1999:77). Negara tidak hanya menyangkut aparat-aparat pemerintah, melainkan juga aparat-aparat hegemonik atau masyarakat sipil. Jika Marx memandang negara hanya sebatas fisik, Gramsci lebih dalam dari itu. Negara adalah kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoritis dan praktis yang dengannya kelas penguasa tidak hanya membenarkan dan mempertahankan dominasinya, melainkan juga berusaha memenangkan kesetujuan aktif dari mereka yang diperintah.

Pemahaman tersebut merupakan perluasan dari makna negara yang sesungguhnya. Gramsci memandang bahwa negara secara fisik dan ideologis, karena itu ada negara “etis” atau negara “kebudayaan”. Suatu negara disebut etis sepanjang salah satu fungsi terpentingnya adalah untuk membangkitkan massa penduduk yang besar pada level moral dan kultural; suatu level yang berhubungan dengan kebutuhan akan kekuatan-kekuatan produktif, dengan interes-interes kelas penguasa. Dengan demikian, negara dapat berfungsi sebagai edukator sejauh ia cenderung menciptakan suatu tipe atau level kebudayaan baru (Faruk, 1999:77).

[1] Oxford Advance Learner’s Dictionary of English oleh AS Hornby diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 1995 edisi ke-5

[2] This essay was written in November 1999, when Reena Mistry was a Level Three student on the module Communications Theory at the Institute of Communications Studies, University of Leeds, UK.

[3] Sebagaimana dikutip dalam buku Robert Bocock yang diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyudin, Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni, diterbitkan oleh Jalasutra, Yogyakarta halaman 21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun