Artis Amatiran
(kritik Terhadap Para Peminta-minta)
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
Artis memang pandai bersandiwara. Kata-kata dan tindakannya seolah sungguhan adanya.Ia bahkan bisa menangis dan tertawa sebagaimana menangis dalam kesedihan. Air mata akan mengucur deras menggambarkan kesedihan. Air mata mewakili jumlah persoalan yang pecah dan memuncah dalam jiwanya.
Tawanya menggoda seolah ia sedang berbahagia, meskipun ia sedang merana. Ia mampu mengekspresikan segala persasaan seolah ia sendiri mengalaminya. Sungguh hebat memang, sebuah tiruan seperti kenyataan.
Namun artis yang dimaksudkan, bukan arti sungguhan. Ia adalah artis yang tidak diundang. Artis yang tidak dibayar. Ia datang sukarela. Berekting tanpa diminta. Tetapi di akhir cerita ia mengiba mendapat bayaran seadanya. Ia bahkan pandai membuat cerita. Padai mengambil hati pendengarnya. Dengan harapan ia akan dibayar sebagaimana yang diharapkannya.
Inilah ironi kehidupan kita. Tanpa dinyana, kita sering ditemui atau menemui artis karbitan. Ia datang dengan berbagai cerita. Ada yang bilang kehilangan harta, kecopetan. Ada yang bilang mencari orang tua, ada juga yang bilang mencari keluarga. Keluh kesah menyertainya. Duka lara diceritakannya untuk mendapat simpati pendengarnya.
Seperti apa yang baru saja terjadi pada suatu masa. Ku temukan seseorang datang ke kantor idaman. Ia datang dengan wajah penuh dengan persoalan. Ia datang ke kediaman. Singkat cerita, ia bilang orang tua sudah tiada. Ibu dan ayahnya telah pergi selamanya. Ia bersudara 2, satu dirinya dan yang lain perempuan di negeri sana. Ia tidak berpapa. Ia hidup menderita.
Pertengahan cerita ia gambarkan bahwa ia sudah sukses kerja di perguruan tinggi ternama. Ia juga sudah berkerja di perusahaan ternama.
Ceritanya dramatis. Membuat orang sampai menangis. Ia terpingkal-pingkal bukan karena senang tetapi terharu dengan kemampuan cerita yang dramatis. Siapapun yang mendengar akan terhipnotis. Ia memang artis.
Sayang-sungguh disayang, diakhir cerita kesuksesan ia meminta imbalan. Ia butuh dana perjalanan. Papua suatu kepulauan yang jauh tenan. Ia pun dengan memelas meminta sumbangan para dermawan agar dapat menghantarkan dirinya sampai ke negeri impian.
Inilah kisah tragis kehidupan. Semoga dapat menyadarkan, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Memberi lebih baik dari pada meminta dan mengiba. Wa Allah a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H