Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Kepala Pusat Pengembangan Bahasa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini menghadapi berbagai persoalan yang sangat memprihatikan. Pasalnya, dari berbagai sudut pandang, negeri ini mengalami degradasi moral yang sangat membahayakan. Sebagai Negara yang mayoritas beragama, Indonesia ternyata tidak lepas dari persoalan moral yang melibatkan lembaga-lembaga agama. Kasus korupsi yang melibatkan para agmawan termasuk kasus pengadaan al-Qur’an adalah sebuah contoh ketidakmampuan umat beragama membersihkan diri dari jeratan korupsi. Padahal dalam agama (Islam) tindakan ini sangat tercela dan merupakan dosa besar. Selain mengandung unsur penipuan, korupsi merugikan negara. Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah tindakan dosa besar yang harus dijauhi oleh kaum agamawan.
Kebobrokan moral yang terjadi papa para politisi beragama ini menjadi tantangan cukup berat bagi umat muslim untuk meyakinkan peranan agama islam di dalam pembangunan bangsa ini. Jika agama sudah tidak bisa menjadi jaminan atas perbaikan moral di negeri mayoritas muslim ini, lalu apa lagi yang harus kita lakukan dengan penduduk yang mayoritas muslim ini?
Persoalan korupsi memang bukan hal yang mudah diselesaikan dengan sebuah keyakinan. Karena tabiat manusia adalah tempat salah dan lupa (manusia adalah khoto' wan nisyaan). Oleh karena itu, mengandalkan hanya pada kepercayaan atau agama saja rasanya tidaklah pas jika segala sesuatu menjadi patokan. Agama memang melarang dan mengendalikan sifat-sifat manusia untuk berbuat curang. Tetapi agama sebagai ajaran tidak bisa serta merta menjadikan manusia mengimplementasikan keyakinan itu secara tegas. Godaan dan tantangan atas tabiat manusia yang serakah akan sangat mungkin menjerumuskan manusia dalam tindakan kotor ini (korupsi).
Itu sebabnya yang menjadi solusi atas persoalan di negeri ini adalah sistem. Sistem pemerintahan yang transparan, sistem keuangan yang sistematis sehinggga mudah dilacak segala pelanggaran. Program-progam pemerintah harus dibuatkan prosedur yang jelas dengan menejemen atau system yang mudah dievaluasi dan transparan akan mengurangi kemungkinan adanya penyelewengan anggaran pemerintah. Itu sebabnya system menjadi kunci seseorang berkurangnya kecurangan di negeri ini.
Kedudukan agamawan
Para agamawan sama halnya dengan manusia lainya. Karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Perbedaannya hanya kadar keimanan seseorang itu saja, yang mebedakan satu dengan yang lainnya. Ada diantara kita yang keimanannya kuat, sehingga terpancar dalam cara pandang dan segala gerak kehidupan. Tetapi ada juga yang kadar keimamannya rendah sehingga hanya pada tataran keyakinan saja, tetapi dalam kehidupan masih panyak pelanggaran atas jaran Islam. Masalah kadar keimanan ini memang sesama manusia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sekedar menjastifikasi pun tidak boleh karena kita tidak mengetahui secara pasti siapa yang kadar keimananya lebih kuat.
Perlu ketegasan dan kepribadian yang jelas bagi kita umat islam di dalam mengambil langkah dalam kehdupan. Terutama dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Bagi kita umat muslim, dunia adalah tempat menanam bagi kita kehidupan di akherat. Oleh karena itu kita harus menanamkan kebaikan sebanyak-banyaknya selama kehidupan di dunia ini. Cara menanam sebanyak-banyaknya adalah dengan cara memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan ini, termasuk di dalamnya dibidang politik. Bidang ini adalah bidang yang sangat besar tantangannya, tetapi disitu juga terdapat pahala yang besar pula. Jika kita bisa mewarnai perpolitikan ini dengan nilai-nilai islam, tentu amalan kita akan sangat efektif. Itu sebabnya kita umat Islam tidak perlu takut berpolitik karena ini bagian dari lahan yang paling potensial dalam bidang dakwah. Umat islam tidak boleh apatis terhadap diri sendiri atau saudara kita yang berjuang di bidang ini. kita harus dukung semoga mereka bisa berkontribusi yang lebih besar dalam percaturan, dalam rangka pembangunan bangsa dan negara ini.
Nampaknya ada sebuah perubahan orientasi nilai di dalam masyarakat kita saat ini. Sebagai negara yang percaya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, harusnya para agamawan memiliki kedudukan istimewa di negeri ini. Kenyataannya sekarang ini terbalik, para agamawan (para santri, ustad dan kiayi) tunduk pada penguasa dan nasionalis. Kaum santri dianggap lebih rendah kedudukannya dari pada anak sekolah umum, demikian juga dengan mereka yang menempuh pendidikan di jurusan agama (non pesantren). Belum lagi dalam sosial kemasyarakatan, masyarakat saat ini lebih cenderung tunduk pada pemegang kekuasaan pemerintah daripada ulama atau kiayi. Ironisnya lagi, ulamanya sendiri sering mengemis kepada para penguasa, demi kepentingan duniawi. Apakah dunia sudah terbalik?
Kita hanya berharap kejadian yang banyak menimpa para agamawan di negeri ini tidak sampai melemahkan posisi agama dalam membangun mental masyarakat di negeri ini. meskipun pada kenyataannya sudah banyak indikasi adanya anggapan bahwa agama bukan jaminan kebaikan seseorang. Tetapi kita tetap berharap akan banyak lahir intelektual yang benar-benar bisa merepresentasikan nilai-nilai luhur yang ada di dalam agama itu. Karena jika agama sudah tidak dipercaya lagi di negeri ini, alamat kehancuran negeri ini. wa Allah a’lam.
Yogyakarta, 08 Juli 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H