Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ban serep (Sebuah Interpretasi Kedudukan Perempuan)

5 Juni 2012   14:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ban serep

(Sebuah Interpretasi Kedudukan Perempuan)

Oleh

Wajiran, S.S. M.A.

(Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)

Ban serep adalah bahasa Jawa yang digunakan untuk menunjukan kedudukan kaum perempuan dalam rumah tangga. Ban berarti roda, sedangkan serep berarti cadangan. Kalau diartikan secara keseluruhan berarti roda yang digunakan hanya dalam kondisi-kondisi darurat. Interpretasi inilah mungkin yang menjadikan “harga jual” kaum perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki, karena fungsinya hanya menggantikan.

Tulisan ini akan memberikan sebuah alternatif pandangan yang menunjukan kedudukan sekaligus fungsi kaum perempuan secara proporsional. Penulis lebih memilih bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga ibarat roda depan dan roda belakang. Roda depan kita asosiasikan dengan kaum perempuan, sedangkan roda belakang sebagai laki-laki. Asosiasi atau pengistilahan ini memiliki makna yang lebih seimbang karena masing-masing memiliki fungsi. Fungsi sesuai kedudukan dan kemampuan. Ini berbeda dengan istilah ban serep yang menempatkan kaum perempuan seolah tidak punya fungsi apa-apa.

****

Adanya pertentangan atau bisa dikatakan peperangan antara laki-laki dan perempuan karena terdapat adanya kesalahan interpretasi. Interpretasi terhadap fungsi dan potensi dari masing-masing mereka (laki-laki dan perempuan). Pasalnya di era global ini, dimana setiap keluarga dituntut untuk mencapai kesuksesan-kesuksesan duniawi telah melahirkan sebuah kompetisi antara laki-laki dan perempuan. Kesuksesan atau keberhasilan itu umumnya diukur dengan capaian-capaian duniawi, seperti pendidikan, kekayaan dan kekuasaan. Itu sebabnya kaum perempuan yang mengerjakan pekerjaan di dalam rumah dianggap tidak penting dan tidak punya nilai bagi orang yang bersangkutan. Itu sebabnya lahir gesekan-gesekan yang mendorong kaum perempuan untuk ikut berkarya di luar rumah.

Di dalam islam, sudah sangat jelas bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan secara fisik dan juga psikis. Namun demikian, islam tidak memandang rendah kaum perempuan. Justru kaum perempuan memiliki kedudukan yang sangat mulia di dalam keluarga. Di depan anak-anak perempuan adalah ibu yang sangat terhormat. Oleh karena itu ada istilah Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu. Hal ini mengindikasikan begitu mulianya seorang ibu di dalam sebuah keluarga. Karena secara kodrati, ibu adalah yang melahirkan anak-anak dalam keluarga.

Di sisi lain, kaum ibu (istri/perempuan) adalah permata yang sangat berharga. Meminjam istilah yang digunakan Rhoma Irama, istri adalah harta yang paling indah. Oleh karena itu, perempuan harus dijaga dan dilindungi dari segala ganguan yang dapat membahayakan dirinya.

Untuk menempatkan kaum perempuan dan laki-laki secara proporsional nampaknya perlu meminjam istilah ban depandan ban belakang, seperti tersebut di atas. Ambil lah contoh ban dalam kendaraan roda dua. Antara ban depan dan ban belakang itu memiliki tekstur (bentuk) yang berbeda. Entah, para pembuat kendaraan bermotor ini ingin menunjukan perbedaan kaum laki dan perempuan atau tidak, tetapi perbedaan bentuk ini menggambarkan potensi dan fungsi yang ada. Ban depan umumnya lebih kecil dan dengan bentuk irisan yang berbeda. Sedangkan ban belakang memiliki ukuran lebih besar dan bentuk irisannya umumnya lebih rumit dibanding ban belakang.

Perbedaan ban dapan dan ban belakang menunjukan adanya dua nilai. Yaitu nilai nilai etis, nilai kegunaan dan nilai estetis, nilai keindahan. Nilai etis adalah nilai guna atau fungsi masing-masing ban itu. Ban depan (sebagai representasi kaum perempuan) memiliki fungsi menjaga keseimbangan sekaligus pengarah jalannya kendaraan. Sedangkan ban belakang adalah pendorong laju jalannya kendaraan itu. Dengan demikian, cepat-lambatnya laju kendaraan sangat ditentukan oleh kekuatan dorongan dari ban belakang.

Nilai yang kedua adalah nilai estetis. Yaitu suatu nilai yang menunjukan keindahan. Di dalam nilai estetis ini kita mengenal adanya suatu standar tertentu yang menjadikan sesuatu itu dianggap baik atau tidak. Di sisi lain, nilai estetik juga mengandung nilai kesopanan, kerapian dan juga keserasian. Itulah sebabnya antara ban belakang dan ban depan itu berbeda.

Gambaran antara kedudukan ban belakang dan ban depan ini menjadi sebuah ilustrasi, bahwa masing-masing tidak boleh saling ditukar, kecuali dalam kondisi darurat. Jika ban depan ditaruh di belakang secara etis dan estetis akan mengalami kerusakan. Dilihat secara etis pertukan kedudukan ini akan mengurangi kinerja laju kendaraan, jika dilihat nilai estetis akan mengurangi nilai keindahan dan keserasian kendaraan itu. Demikian halnya jika pertukaran kedudukan ini terjadi pada laki-laki dan perempuan. Penempatan kedudukan istri dan suami yang tidak sesuai, akan melahirkan keluarga yang tidak serasi dan tidak efektif di dalam mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.

Dalam kondisi darurat, dimana salah satu mengalami disfungsi, maka dapat saja dipertukarkan. Tetapi pertukaran ini ini hanya bersifat sementara, dalam kondisi emergency. Oleh karena itu masing-masing harus menerima dan merelakan diri berkedudukan sebagai ban depan maupun ban belakang.

Lalu bagaimana kalau kedua-duanya ingin menjadi ban depan atau sebaliknya? Di dalam islam kaum perempun diperbolehkan melakukan kegiatan di luar rumah selama tidak mengganggu tugas utamanya. Tugas utama kaum permpuan sebagaimana yang sudah dikodratkan oleh Tuhan adalah merawat dan membesarkan anak-anak mereka. Karena kaum perempuan lah yang dikodratkan oleh Allah untuk melahirkan dan menyusui. Kedudukan ini harulah diterima dengan lapang dada dan tidak perlu merasa iri dengan laki-laki yang dikodratkan memiliki kemampuan berbeda dengan perempuan.

Pemberontakan atau penolakan terhadap kodrat ini hanya akan mempersulit diri sendiri dan menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Hal ini sudah terbukti, ketika kaum perempuan diberi kewenangan untuk bekerja di luar rumah. Mereka merasa keberatan karena harus menanggung beban ganda, professional di luar rumah dan di dalam rumah.

Terjadinya perdebatan terhdap kedudukan laki-laki dan perempuan nampaknya akan semakin meruncing. Di negara-negara maju, pemberontakan kaum perempuan sudah sangat begitu nyata. Di kota-kota besar, kaum permpuan ada kecenderungan tidak mau menikah, karena tidak mau terbebani dua beban ini. Sudah banyak kaum perempuan yang menentang kodrat mereka sebagai perempuan, untuk melahirkan dan menyusui. Lahirnya kelompok-kelompok Lesbianisme bisa saja sebagai sebuah akumulasi kebencian terhadap laki-laki.

Penempatan yang tidak jelas antara laki-laki dan perempuan melahirkan sebuah dilema dalam suatu keluarga. Kondisi ini melahirkan persoalan-persoalan yang dapat mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. Dari segi keturunan, keluarga yang orang tuanya dua-duanya mengejar karir akan mengorbankan anak turun mereka. Mereka hanya melahirkan anak-anak secara biologis, tetapi tidak pernah membesarkan mereka sebagai orang tua. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga seperti ini umumnya dibesarkan di tempat-tempat penitipan, atau sekolah-sekolah. Dengan demikian terjadilah split personality yang melahirkan anak-anak brutal dan susah di kendalikan.

Inilah sebuah fenomena masyarakat yang saat ini sudah mulai menjalar di negeri kita. Faham-faham materialis, hedonis, feminis, dan liberalis sudah merusak pemikiran manusia sedemikian rupa. Di kota-kota besar kaum perempuan lebih memilih hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, karena mereka akan lebih bebas dan tidak terbebani dengan tanggungjawab sebagai istri. Jepang dan Singapura adalah contoh riil adanya persoalan yang mengkhawatirkan ini.

Agama adalah satu-satunya solusi yang bisa menempatkan kaum perempaun dan laki-laki secara proporsional. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, menunjukan bahwa mereka harus melakukan sesuatu sesuai dengan fungsi dan potensi masing-masing. Perbedaan ini akan memberi fungsi saling menyempurnakan antara kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan). Penempatan sesuai dengan potensi inilah yang akan memberikan kekuatan kepada mereka di dalam mencapai tujuan hakiki dari kehidupan ini. semoga! Wa Allah a’lam.

Yogyakarta, 5 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun