Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dinamika Politik Perempuan dalam Sastra Indonesia Pasca-Suharto

30 April 2014   13:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

DINAMIKA POLITIK PEREMPUAN

DALAM SASTRA INDONESIA PASCA-SUHARTO

Oleh

Wajiran )

Dosen Fakultas Sastra, Budaya dan Komunikasi UAD)

Pengantar

Setiap peradaban memiliki sejarah yang beragam mengenai persepsi terhadap perempuan. Semua peradaban itu memandang bahwa lahir sebagai seorang perempuan adalah sebuah ketidakberuntungan. Tidak jarang para ilmuan atau filsuf seperti Aristotle, St Thomas Aquinas, dan Plato (yang dianggap paling bijaksana) menganggap kaum perempuan sebagai makhluk yang kurang terhormat, kurang beruntung, dan penuh kekurangan (Selden, 1986:128). Mereka (filsuf barat) menganggap kondisi perempuan yang secara fisik dan psikologis berbeda dengan laki-laki, kualitas mereka dianggap lebih rendah. Dampak dari persepsi itu, kaum perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak strategis. Kaum perempuan dianggap sebagai the second people.

Itu sebabnya kaum perempuan tidak bisa berpartisipasi dalam ranah publik. Pada jaman dulu kaum perempuan tidak diperkenankan ikut dalam pengambilan kebijakan publik, termasuk sekedar ikut serta dalam pemilihan umum. Walhasil, kebijakan-kebijakan publik yang diambil oleh suatu komunitas lebih menguntungkkan kaum laki-laki. Kaum perempuan selalu dalam posisi sebagai objek pembangunan, bukan sebagai subjek.

Bertolak dari itu, tulisan ini mencoba menggambarkan kondisi politk perempuan Indonesia, khususnya pasca reformasi. Tulisan ini akan lebih fokus pada area atau kiprah perempuan dalam karya sastra. Bagaimana peran perempuan di dalam berkebudayaan dari awal berdirinya negeri ini sampai pada kondisi setelah kejatuhan Suharto. Benarkan ada perbedaan yang mencolok pasca kejatuhan penguasa Orde Baru itu? Dengan demikian, tulisan ini pun akan mengupas perkembangan kondisi politik kaum perempuan Indonesia dari masa Orde Lama sampai pada Pasca Reformasi.

Kondisi Politik di Indonesia Pasca Reformasi

Kejatuhan Suharto memberikan perubahan politik yang sangat besar di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada pemerintahan B.J Habibie telah melakukan beberapa perubahan sistem pemerintahan di negeri ini, termasuk undang-undang no 40 tahun 1999. Perubahan itu berlanjut pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Gusdur melakukan perombakan yang sangat signifikan bagi kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia. Pada masa ini setiap manusia diberi kelonggaran di dalam menyampaikan pendapat, melakukan perkumpulan baik politik maupun non-politis. Hal itu ditandai dengan dihapuskannya Departemen Penerangan. Dengan demikian setiap insan pers mendapat kemudahan dalam perijinan penerbitan baik koran, majalah, tabloid dan segala jenis publikasi.

Dihapuskanya Departemen penerangan juga memberikan dampak pada kebebasan lembaga pers untuk menyebarkan inforamasi. Lebaga Dewan Pers yang pada masa Orde Baru berfungsi sebagai panjangan tangan pemerintah, pada masa ini Dewan Pers lebih independen. Pembentukan ketua Dewan Pers ditunjuk langsung yang dipilih dari anggotanya. Meskipun pengesahan mereka tetap melalui keputusan presiden, tetapi tidak ada keterikatan antara Dewan pers dengan pemerintah. Itu sebabnya perbedaan masa pemerintahan Sukarno dan suharto lembaga pers tak ubahnya sebagai corong pemerintah, tetapi pada masa pemerintahan Habibie, Gusdur dan Megawati lembaga pers lebih mandiri).

Perlu diketahui bahwa pada masa reformasi ada kejadian-kejadian penting yang menanadai adanya kebebasan di dalam era reformasi. Berikut ini adalah ringkasan kejadian penting yang penulis kutip dari tulisan saudara Sutimbang ).


  • 1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak mall yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah sastra wangi . Majalah Tempo terbit kembali.
  • 1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955. PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
  • 2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
  • 2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
  • 2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.

  • 2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
  • 2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.

  • 2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
  • 2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
  • 2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
  • 2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia.

Kejadian-kejadian penting tersebut merupakan dampak dari adanya kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkelompok. Kebijakan pemerintahan Habibie dan Gusdur telah melahirkan berbagai peristiwa penting yang menjadikan adanya partisipasi masyarakat di dalam membangun negeri ini. Tidak terkecuali pergerakan sastra mulai menggeliat dengan lahirnya karya-karya sastra yang berbeda dari karya sebelumnya. Karya sastra wangi yang dipelopori Ayu Utami adalah salah satu contoh yang paling mencolok. Juga diterbitkannya kembali beberapa buku karya Pramudia Ananta Toer, majalah Tempo yang pada masa Orde Baru sempat mengalami pembredelan.

Selain kejadian tersebut di atas, reformasi juga telah memberikan angin segar bagi keberanian kaum perempuan untuk menyuarakan pemikiran mereka. Pada masa ini lahir banyak penulis perempuan yang membawa warna khas karya sastra perempuan. Kehadiran mereka telah memberi warna pemikiran sosial politik dan kebudayaan di Indonesia. Beberapa penulis perempuan yang lahir pada masa reforamasi selain berkarya dalam bentuk novel juga dalam bentuk cerpen. Mareka diantaranya adalah; Linda Christanty, Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Para penulis ini nampaknya inginmengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Adanya reformasi telah memberikan angin segar kebebasan bagi berbagai kelompok di Indonesia, tidak terkecuali golongan perempuan.Kelompok-kelompok kecil atau organisasi-organisasi komunitas yang pada jaman Suharto mendapat pengawalan ketat bahkan pelarangan, kini tumbuh menjamur di seluruh aspek kehidupan masyarakat (Aveling, 2007). Hal ini merupakan bukti bahwa kejatuhan Suharto telah memberi nuansa kebebasan bagi semua golongan untuk berpartisipasi mengisi kemerdekaan di negeri ini. Tidak terkecuali golongan perempuan yang awalnya dianggap inferior, geliatnya kini sudah mulai nampak ke permukaan. Pasca Reformasi, kaum perempuan benar-benar mendapat tempat untuk bisa setara dengan kaum laki-laki khususnya dalam bidang politik (Soejipto, 2011)

Gerakan kaum perempuan sebenarnya sudah lama diwadahi atau difasilitasi sejak jaman Orde Lama maupun Orde Baru. Di masing-masing periode ini memiliki corak dan kondisi yang sangat berbeda. Pada jaman orde lama peran perempuan masih sangat memprihatinkan karena tidak memiliki posisi tawar yang sebanding dengan kaum laki-laki. Pada jaman ini masih banyak kaum perempuan yang tidak memiliki hak yang sama dalam percaturan publik. Kaum perempuan pada masa Orde Lama masih dianggap sebagai the second class, yaitu manusia kelas kedua yang keberadaanya masih sangat tergantung pada kaum laki-laki. Praktik-praktik poligami, istri simpanan masih marak di kalangan masyarakat.

Meskipun ada perkembangan, masa Orde baru juga tidak menawarkan posisi yang lebih luas akan peran dan gerak kaum perempuan. Pada masa ini kaum perempuan masih dikendalikan untuk menunjang kepentingan kaum laki-laki. Masa Orde Baru justru pemerintahan lebih memperketat pengawasan gerakan kaum perempuan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengontrolan dan pelarangan beberapa aktivitas yang diindikasikan akan mengganggu ketertiban umum atau ancaman ideologis (Terutama gerakan Komunisme). Pemerintah Orde Baru melalui directorate of Culture mengawasi, menilai, dan mengontrol setiap ativitas kebudayaan, termasuk di dalamnya aktivitas kaum perempuan (Jones, 2012).

Kartini selama ini dianggap sebagai pelopor pergerakan perempuan Indonesia yang berani membuka wacana ketidakadilan terhadap perempuan (Schmidt, 2012, Keesing 1996:8). Kartini memiliki peran besar dalam membuka pintu kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya kesetaraan, meskipun saat itu isu masih berkisar pada kesetaraan dalam hal pendidikan. Sehingga dengan pemikiran-pemikiran Kartini, kaum perempuan mulai mendapat perhatian dari pemerintah. Meskipun demikian, gagasan-gagasan itu masih tetap disesuaikan dengan keinginan kaum laki-laki.

Pada jaman Orde Baru pemerintahan Suharto sudah sangat memperhatikan kondisi perempuan. Pada jaman Orde Baru kegiatan organisasi Darma Wanita sangat digiatkan. Kegiatan seperti PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) merupakan bukti bahwa kaum perempuan mendapat posisi untuk ikutserta dalam pembangunan bangsa dan negara ini. Namun tetap saja peran dan fungsi kaum perempuan dalam hal ini masih sekedar memenuhi atau mendukung perjuangan kaum laki-laki (Tahir, 2006).

Kondisi yang demikian, melahirkan sikap ketidakterimaan ataupun ketidakpuasan kaum perempuan. Mereka masih merasakan adanya ketimpangan yang terjadi antara kaum laki-laki dan perempuan. Perbedaan lapangan pekerjaan dan cakupan membuat kaum perempuan merasa selalu di bawah bayang-bayang kekuasaan laki-laki. Itu sebabnya, ketidakseimbangan peran serta perempuan ini dianggap telah menyembabkan adanya ketidakadilan bagi kaum perempuan. Adanya kekerasan terhadap kaum perempuan dianggap sebagai akibat adanya ketidakadilan yang menempatkan kaum perempuan sebagai makhluk inferior. Walhasil, lahirlah banyak gerakan-gerakan kaum perempuan yang menuntut adanya persamaan hak antara laki-laki dan kaum perempuan. Tuntutan akan persamaan hak ini diharapkan dapat mengurangi adanya diskriminasi yang berakibat pada adanya kekerasanterhadap kaum perempuan.

Sudah banyak studi yang dilakukan oleh para ahli di bidang pemberdayaan perempuan, baik di dalam mupun di luar negeri. Para ilmuan telah merumuskan bagaimana agar ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan dapat segera diatasi. Kita mengenal program Woman in Development (WID) yang digagas oleh Women’s Commitee of the Washington DC Chapter of the Society for International Development pada awal tahun 1970an. Namun karena istilah ini masih memposisikan kaum perempuan sebagai objek maka pada tahun 1990an dirubah menjadi Gender and Developmen/GAD (Nugroho, 2011:139). Perubahan ini diharapkan agar kaum perempuan bukan semata-mata menjadi objek pembangunan, tetapi harus menjadi subjek pembangunan itu sendiri.

Penyebab adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan sebenarnya bukan semata-mata persoalan ekonomi. Dalam arti bahwa lingkup kerja dan kekayaan bukanlah faktor utama penyebab adanya kekerasan terhadap kaum perempuan. Faktor budaya adalah penentu segala yang terjadi pada kelompok-kelompok sosial termasuk di dalamnya kaum perempuan. Adanya faham, nilai, dan kepercayaan yang dianut oleh suatu bangsa sangat menentukan bagaimana kita melihat dan menempatkan suatu golongan (termasuk kaum perempuan). Di Indonesia, yang mayoritas penduduk beragama Islam, suku terbesar adalah jawa dan sunda nampaknya ikut menentukan akan posisi kaum perempuan di negeri ini.

Kondisi politik sebagaimana yang digambarkan di atas tentu sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang akhirnya menggiring opini publik atas suatu golongan. Peranan pemerintah di dalam mengambil kebijakan akan sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi masyarakat luas. Seperti lingkup peran perempuan yang ditentukan berdasarkan kiprah karena peran dan kepatutannya yang ditentukan oleh kebijakan pemerintah, umumnya juga mempertimbangkan kebudayaan setempat atau pemilik kebudayaan. Adanya pembatasan lingkup peran kaum wanita yang menempatkan mereka hanya sebagai pendukung perjuangan suami, memperhatikan kesehatan anak, penjaga rumah yang baik dan menjadi istri yang baik bagi suami dan anak-anaknya adalah sebuah contoh kebijakan yang dianggap merugikan kaum perempuan (Sunindyo 1993:135, Schmidt,2012).

Ruang likup gerak dan peran kaum perempuan yang lebih banyak mengerjakan perkerjaan domestik dianggap sebagai biang lahirnya diskriminasi. Itu sebabnya Julia Cleves Mosse (1993) mengungkapkan perlu adanya rekonstruksi peran perempuan. Pembagian pekerjaan berdasarkan gender harus dihapuskan karena dianggap akan menjadikan kaum perempuan menjadi inferior. Perempuan harus dapat berperan aktif dalam pembangunan dengan ikut serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan produktif. Keterbatasan ruang gerak perempuan yang hanya mengerjakan pekerjaan domestik merupakan titik awal ketergantungan kaum perempuan pada dominasi laki-laki. Itulah yang disebut oleh Barbara Rogers sebagai Domestification for Women, domestifikasi perempuan (Mosse, 1993: 31). Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan pembagian yang merata atas segala jenis pekerjaan bagi kaum perempuan akan semakin menyejahterakan kaum perempuan?

Pertanyaan itu saat ini justru menjadi bertolakbelakang dengan apa yang awalnya menjadi tuntutan kaum perempuan. Setelah kaum perempuan mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi di ranah publik, justru mereka sendiri merasa keberatan karena harus mengurusi double jobs, yaitu pekerjaan mencari uang dan perkerjaan rumah tangga. Kaum perempuan merasa terbebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan anak dan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini dianggap juga menghalangi dan menyita waktu kaum perempuan untuk bisa maju sebagaimana halnya kaum laki-laki. Walhasil, banyak gerakan perempuan yang memandang bahwa pembagian pekerjaan berdasarkan gender adalah politisasi kaum laki-laki agar mereka tetap berkuasaterhadap kaum perempuan.

Corak Penulisan Karya Perempuan Indonesia

Sebelum adanya reformasi, penulis karya sastra masih didominasi oleh kaum laki-laki. Beberapa pengarang laki-laki banyak diantaranya menyinggung atau mengangkat tokoh perempuan. Namun demikian, para penulis laki-laki masih menyuarakan kehendak laki-laki atas kaum perempuan.Menurut Hellwig, karya sastra yang ditulis oleh kaum laki-laki tidak menyebarkan gagasan patriarki tetapi mengukuhkan faham patriarki (Mohd. Tahir. 2006). Dengan demikian apapun yang ditulis oleh kaum laki-laki dalam karya sastranya tetap saja menguntungkan kaum laki-laki itu sendiri.

Lebih tegasnya Hellwig mengemukakan bahwa adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara alamiah mengukuhkan bahwa kedudukan wanita memang lebih rendah dibanding laki-laki. Kondisi itu diperkuat oleh faham, kepercayaan dan agama yang secara hukum menempatkan kaum perempuan dalam kondisi yang “tidak menguntungkan”. Kaum wanita mengalami masa haid, melahirkan, dan menyusui dimana yang disebut dengan kodrat wanita. Dalam masa-masa ini wanita mengalami penurunan kwalitas baik dari segi tenaga maupun emosional. Akibatnya kaum wanita harus menerima “kekalahan” dengan laki-laki yang tidak pernah mengalami masa-masa sebagaimana yang dialami oleh perempuan.

Melihat pada kenyataan di atas, apakah ada keterkaitan antara kondisi psikologis dengan karya yang dihasilkan oleh kaum perempuan? Atau karya sastra yang dihasilkan oleh penulis perempuan adalah ekspresi kejengkelan atas kondisi yang tidak menguntungkan itu, sehingga karya sastra mereka hanya sekedar sebuah luapan emosi semata?

Corak atau karakteristik karya sastra penulis perempuan di Indonesia sangat variatif, terutama dari tema, setting juga dari sudut pandang penulisan karya yang mereka hadirkan. Ada beberapa perbedaan yang sangat mendasar terutama karya-karya penulis perempuan pasca reformasi. Gaya bahasa atau model penulisan mungkin masih dikatakan sama tetapi nampak adanya perubahan mendasar tentang topik pembicaraan dalam karya sastra pasca reformasi (Wajiran, 2012). Jika diperhatikan penulisan yang mereka ungkapkan adalah sebuah kejengkelan yang ingin mereka luapkan dalam karya itu. Kejengkelan ini bisa saja dimaklumi mengingat posisi mereka di dalam percaturan sosial memang sangat tidak menguntungkan.

Ayu Utami dianggap sebagai pelopor dalam model penulisan ini. Ia menuliskan persoalan-persoalan sensitif yang berkanaan dengan tubuh perempuan. Persoalan atau topik seperti ini pada jaman orde sebelumnya (Orde Baru) sangat terlarang. Itu sebabnya keberadaan karya Ayu Utami dianggap sebagai pelopor pergerakan penulis perempuan (Nurhadi, 2007). Jika kita melihat karya Ayu Utami, kita akan menemukan bahwa gagasan ideologis yang ada di dalam karya Ayu Utami adalah sebuah pemberontakan. Pemberontakan terhadap nilai-nilai kesopanan, norma dan nilai-nilai orang timur. Wilayah-wilayah seksual, tubuh perempuan atau erotisme adalah persoalan privat yang tidak boleh diungkapkan secara fulgar.

Menurut Herry Aveling (2007) lahirnya karya sastra perempuan pasca reformasi memungkinkan semua orang mendengar suara atau keinginan kaum perempuan sesungguhnya. Karya penulis perempuan adalah sebuah ekspresi sesungguhnya dari seorang perempuan yang ingin mengekspresikan keinginan, impian dan harapan tentang diri mereka, juga tentang lingkungan sosial mereka. Hal ini dikarenakan pada karya-karya sebelumnya representasi kaum perempuan yang disuarakan oleh kaum laki-laki tidak seutuhnya mewakili dari apa yang diinginkan oleh kaum perempuan. Lebih lanjut Aveling menyebutkan beberapa karya sastra yang menyangkut persoalan kaum perempuan tetapi tidak merepresentasikan apa sesungguhnya diinginkan oleh kaum perempuan seperti; Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1921), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1936), Belenggu (Armijn Pane, 1941), Gadis Pantai (Pramudia Ananta Toer, 1987) dan yang terbaru adalah Bekisar Merah (Ahmad Tohari, 2005).

Menurut pembacaan Aveling, ungkapan karya sastra yang ditulis oleh kaum laki-laki tentang perempuan masih sekedar menggambarkan kaum perempuan menurut keinginan kaum laki-laki. Dalam gambaran kaum laki-laki posisi perempuan masih sebagai pelengkap. Keberadaanya melengkapi dan membantu kaum laki-laki mencapai puncak kejayaanya. Dengan demikian kaum perempuan seolah hanya memiliki beberapa lingkup aktivitas yang semuanya untuk kaum laki-laki; 1. Mendukung karir dan pekerjaan suami, 2. Melahirkan anak-anak/keturunan, 3. Menjaga keturunan, 4. Penjaga rumah yang baik, 5. Sebagai penjaga komunitas (Aveling, 2007). Persepsi dan konsepsi karya sastra yang dibuat oleh laki-laki selalu berkisar pada persoalan seperti itu sehingga menjadikan kaum perempuan menjadi terbatasi pemikiran dan geraknya.

Hellwig menekankan bahwa karya laki-laki mengukuhkan tradisi masyarakat yang menempatkan kaum perempuan sebagai objek bukan sebagai subjek. Novel Ronggeng Dukuh Paruh misalnya, menggambarkan adanya istilah “Bukak Kelambu” yang menggambarkan bagaimana kaum perempuan dikendalikan oleh keinginan laki-laki. Laki-laki memiliki posisi yang lebih dominan terhadap kaum perempuan, karena tokoh dalam novel ini menggambarkan kaum perempuan hanya menjadi objek bagi keinginan dan impian laki-laki. Kaum perempuan bisa dipertukarkan, diperjualbelikan dan dieksploitasi oleh kaum laki-laki. Hal ini juga dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang memperlakukan kaum perempuan hanya sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki. Pemerintah Order Baru membentuk lembaga-lembaga kaum perempuan yang diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah; Panca Darma Wanita, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dan juga dibentuknya organisasi ibu-ibu persatuan pejabat negara adalah bukti pengendalian kaum perempuan melalui lembaga pemerintah Orde Baru pada masa itu (Tahir. 2006).

Gambaran Tokoh perempuan dalam Bekisar Merah

Untuk mengetahui bagaimana posisi perempuan dalam perspektif kaum laki-laki berikut ini gambaran tentang tokoh perempuan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Cerita ini pada awalnya diterbitkan secara berkala di harian Kompas dari bulan Februari- Mei 1993. Kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 2005. Meskipun proses penulisanya dimulai pada tahun 90an, tetapi buku ini dapat mewakili gagasan akan gambaran kedudukan perempuan menurut penulis laki-laki.

Nampaknya memang benar apa yang menjadi perkiraan banyak pengamat bahwa pemikiran suatu kaum akan mewakili atau paling tidak akan menguntungkan kaumnya sendiri. Seorang penulis perempuan akan mewakili atau memperjuangkan gagasan kepentingan kaum perempuan, sebaliknya juga kaum laki-laki. Dalam cerita ini dapat difahami secara jelas bagaimana kedudukan kaum perempuan yang digambarkan melalui tokoh utama bernama Lasi. Lasi adalah gambaran tentang seperti apa perlakuan masyarakat terhadap seorang perempuan berdasarkan pada pengamatan penulisnya, Ahmad Tohari.

Lasi adalah seorang gadis desa yang dilahirkan dalam keadaan miskin. Selain sebagai perempuan miskin, Lasi juga menjadi bahan ejekan karena ia berbeda dengan gadis-gadis desa lainnya. Ia diprediksi sebagai anak turunan Jepang karena memiliki kulit putih seperti orang Jepang. Itu sebabnya Lasi dianggap sebagai anak jadah, anak yang dilahirkan secara tidak sah. Menurut cerita, Lasi dilahirkan dari seorang ibu yang melakukan hubungan gelap dengan pejabat Pemerintahan Jepang. Itu sebabnya sampai pernikahannya dengan Darsa, Lasi tidak mengetahui ayahnya yang sesungguhnya (Tohari, 2005:40).

Sebagai seorang gadis dari keturunan yang tidak jelas, kehidupan Lasi menghadapi banyak persoalan, waktu kecilnya menjadi ejekan. Masa dewasanya pun banyak menghadapi kendala karena sampai menginjak remaja belum ada laki-laki yang mendekatinya (Tohari, 2005:41-42). Walhasil, iapun dijodohkan dengan seorang laki-laki sedesanya yang bernama Darsa yang sebenarnya masih keponakan dari suaminya sendiri (Tohari, 2005: 44). Darsa adalah seorang laki-laki yang bekerja serabutan dengan perkerjaan utama sebagai penderes kelapa.

Kehidupan keluarga Lasi mengalami persoalan rumit saat sang suami mengalami kecelakaan terjatuh dari pohon kelapa. Saat Darsa dalam kondisi sakit, Lasi bekerja sendiri sambil mengobati sang suami. Keterbatasan dana menjadikan kehidupan Lasi menjadi semakin sulit; ia harus menanggung hutang yang tidak kecil kepada keluarga Pak Tir (Orang tua Kanjat) untuk biaya berobat suaminya (Tohari, 2005: 46). Karena sudah tidak memiliki apa-apalagi terpaksa pengobatan Darsa diserahkan kepada seorang dukun bayi. Pada mulanya Bunek, dukun bayi itu sering datang ke rumah Lasi, tetapi seiring dengan perkembangan kesehatan Darsa yang semakin baik Darsa diminta untuk datang ke rumah sang dukun (Tohari, 2005: 62).

Kebetulan Bunek memiliki seorang anak perempuan cacat yang belum memiliki suami. Pada suatu ketika, saat kesehatan Darsa dirasa sudah mulai pulih kembali. Bunek meminta untuk menggagahi anak perempuannya. Akibat perbuatan yang dilakukan Darsa pada Sipah, anak itu akhirnya hamil (Tohari, 2005: 73). Terjadilah pertengkaran sengit antara keluarga si dukun dengan Lasi. Kejadian ini mengguncang kehidupan Lasi. Bagaimanapun Lasih harus mengalah karena pernikahannya dengan Darsa sampai saat ini juga belum dikaruniai seorang anak.

Kejadian itu membuat Lasi frustasi dan meninggalkan tanah kelahirannya. Ia pergi merantau ke Jakarta dan tinggal bersama dengan seorang germo. Pada awalnya ia tinggal bersama bu Koneng tetapi kemudian ia tinggal di rumah bu Lanting (Tohari, 2005: 144). Meskipun bu Lanting seorang germo, dia tidak memperlakukan Lasi sebagaimana perempuan-perempuan lain. Ia menjadikannya sebagai seorang anak atau tepatnya simpanan yang mahal. Di balik kebaikannnya ia menginginkan agar Lasi menjadi istri simpanan seorang pengusaha kaya bernama pak Handarbeni (Tohari, 2005: 160). Setelah cukup lama tinggal di tempat bu Lanting, akhirnya secara perlahan-lahan bu Lanting dapat meyakinkan Lasi untuk menikah dengan seorang pengusaha kenalan bu Lanting.

Pernikahanya dengan pengusaha ini bukanlah sebuah pernikanan yang membahagiakan. Meskipun secara materi Lasi berkecukupan, tetapi secara batin ia sangat tersiksa. Suaminya yang sudah tua itu memiliki kelainan seksual yaitu impotensi. Dengan demikian, seberapapun harta yang dimiliki oleh Lasi, hidupnya terasa tidak sempurna. Ironisnya lagi bu Lanting dan suaminya justru menyarankan Lasi untuk mencari kepuasan pada laki-laki lain.

Kondisi Lasi semakin rumit dan terjepit karena meskipun ia mendapat kedudukan terhormat ia tetap terikat oleh persoalan-persoalan pelik yang harus diselesaikanya. Ia pun tidak mungkin bisa menyelesaikan persoalan itu kecuali ia memiliki seorang suami yang sempurna sebagaimana keluarga normal lainnya. Karena meskipun Lasi sudah memiliki kedudukan terhormat, tetap saja ia terikat dengan kekayaan yang dimiliki oleh suaminya. Itu sebabnya Lasi tetaplah seorang perempuan yang tidak berdaya atas nasib yang dihadapi dalam kehidupannya. Lasi tidak berdaya dengan keadaan yang dihadapinya baik semasa ia masih muda yang terikat dengan norma masyarakatnya, saat menikah ia terikat oleh kehendak suaminya, bahkan ketika ia sudah bercerai pun tetap terikat pada persepsi masyarakat terhadap dirinya.

Deskripsi tokoh perempuan dalam Saman karya Ayu Utami

Penggambaran tokoh perempuan di dalam karya Ayu Utami sangat berbeda dengan tokoh perempuan dalam karya Ahmad Tohari. Di dalam novel-novel karya Ayu Utami tokoh perempuannya digambarkan secara gamblang sangat mandiri bahkan jauh lebih mandiri. Tokoh perempuan banyak mengambil inisiatif, tidak dikendalikan oleh tokoh laki-laki, bahkan tidak mau terikat dengan norma sosial (Utami, 2002:28). Jauh lebih fulgar lagi, tokoh perempuan yang dihadirkan oleh Ayu Utami tak ubahnya seperti sebuah pemberontakan. Yaitu kontras dari tokoh yang dibuat oleh pengarang laki-laki.

Saman adalah novel pertama karya Ayu Utami. Meskipun sebagai sebuah karya yang ditulis pertama kali, novel ini banyak mendapat sambutan oleh pembaca. Novel ini beberapa kali mendapatkan penghargaan baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu penghargaan bergengsi atas novel ini adalah sebagai pemenang pada Prince Claus Award pada tahun 2000. Sebelumnya novel ini merupakan pemenang pada ajang sayembara roman Dewan kesenian Jakarta pada tahun 1998.

Meskipun mendapatkan beberapa penghargaan, novel ini juga menerima penolakan dari beberapa kalangan. Penolakan ini disebabkan oleh isi karya ini yang berdasarkan adat ketimuran melanggar atau melampaui batas-batas norma. Pasalnya, jika novel ini diserap oleh generasi muda, khususnya kaum perempuan akan melahirkan sebuah faham atau tingkah laku “menyimpang” dari adat istiadat orang Indonesia.

Novel Saman bisa saja diinterpretasikan sebagai sebuah ungkapan kebencian atas kondisi kaum perempuan yang tidak menguntungkan. Adanya pembatasan-pembatasan norma dan nilai sosial telah menjadikan penulis novel ini merasa terkekang. Hal ini nampak sekali ekspresi yang dituangkan di dalam novel ini. Dari pembukaan novel ini sudah mengilustrakan kebebasan. Pilihan kata-kata yang digunakannya pun cenderung sangat fulgar; ciuman, pagutan, birahi dan lain sebagainya. Pilihan kata seperti ini tentu sangat tidak mungkin diucapkan begitu saja pada masa Orde Baru.

Pilihan kata yang digunakan di dalam bab awal dari novel ini kemudian mengejawantah di dalam cerita selanjutnya. Kata kebebasan, benar-benar dinyatakan di dalam pergaulan tokoh “saya” yang ingin melakukan pertemuan dengan Sihar di New York. New York adalah sebuah kota di Amerika Serikat yang menurut tokoh dalam novel ini menawarkan kebebasan hakiki dari manusia. Di kota ini tidak akan ada yang mengawasi mereka berdua. Keluarga, anak, istri tidak akan mengganggu hubungan gelap mereka berdua. Itulah sebabnya mereka ingin mengekspresikan perasaan kebebasan mereka sepuas hati mereka (Saman: 28).

Ayu Utami menggambarkan kegiatan percintaan dengan sangat fulgar (Saman: 30). Tanpa menggunakan personifikasi atau ilustrasi dengan benda/makhluk lain. Ia menggambarkan aktivitas ranjang sebagaimana menceritakan hal sesungguhnya. Cara penceritaan seperti ini pada umumnya masih sangat jarang. Penulis laki-laki, yang menuliskan aktivitas percintaan umumnya menggunakan personifikasi. Itulah sebabnya apa yang dilakukan oleh Ayu Utami dalam novel ini adalah sebuah pendobrakan nilai dan norma yang ada di masyarakat Indonesia pada saat itu.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara penulis laki-laki dan penulis perempuan mengenai cara penggambaran tentang tokoh perempuan di dalam karya sastra. Cara penggambaran seperti yang dimaksud di atas tentu memiliki tujuan dan harapan dimana masing-masing penulis memiliki maksud ideologis bahkan politis dalam berkarya sastra.

Perbedaan mencolok yang dapat kita lihat dari dua karya ini adalah pada kemandirian tokoh perempuan. Menurut versi penulis perempuan, Ayu Utami, tokoh perempuannya digambarkan sebagai tokoh yang mandiri. Bisa dikatakan tokoh utama dalam novel Saman adalah sebuah pendobrakan tokoh perempuan versi laki-laki. Karena dalam novel ini jelas-jelas tokoh utamanya berusaha membebaskan diri dari keterikatan bukan hanya laki-laki tetapi juga masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sebuah pemahaman bahwa norma-norma masyarakat bahkan negara itu dibuat oleh kaum laki-laki yang ingin mengukuhkan kekuasaan mereka atas perempuan.

Sementara itu tokoh perempuan yang digambarkan dalam novel Bekisar Merah adalah tokoh perempuan yang sangat lemah. Tokoh perempuan dalam novel ini digambarnkan memiliki kedudukan yang lemah secara ekonomi, sosial, dan politik. Kalaupun secara ekonomi tokoh perempuanya mendapat peningkatan semua itu tidak lepas dari peran laki-laki (suami). Kaum perempuan dalam versi ini terikat dan merasa takut dengna berbagai norma dan nilai masyarakat dimana dia hidup. Itu sebabnya tidak ada keberania dair tokoh utama untu melanggar norma-norma. Itu sebabnya tokoh utama (Lasi) lebih memilih hidup menderita daripada mendapat penilaian buruk dari masyarakatnya.

Percaturan atau pertarungan ide ini tidak akan pernah selesai dan akan menyesuaikan dengan jaman. Dimana tuntutan jaman akan menjadikan mereka saling menyesuaikan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya faktor kepentingan yang dimiliki oleh manusia di dalam membangun komunitas mereka. Dalam kaitannya dengan hal ini, keseimbangan adalah hal terpenting yang harus dipertimbangkan mengenai kesetaraan ataupun persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Karena kesetaraan yang digaungkan oleh kaum perempuan, akan menjadi bumerang buat mereka sendiri. Ada keterbatasan-keterbatasan yang merupakan kodrat yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan atas diri setiap makhluk (manusia). Itu sebabnya cara terbaik adalah menerima kodrat Tuhan itu dan memanfaatkannya sebagaimana yang sudah digariskan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrachman, Sukri. 2003. Pers di Masa Orde Baru. Dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru. (Penyunting Muhammad Hisyam). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Aveling, Harry. 2007. Indonesian Literature after Reformasi: The Tongues of Women. Kritika Kultura. Ateneo de Manila University. Italia.

Jones, Tod. 2012. Indonesian Cultural Policy in The Reforma Era.

Mosse, julia Cleves. 1993. Half the world, half a chance an introduction of Gender and Development. Terjemah oleh Hartian Silawati. 2007. Gender dan Pembangunan. Rifka Annisa Women’s Crisis center. Yogyakarta.

Nugroho, Riant, 2011. Gender dan Strategi Pengarusutamaan di Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Nurhadi. 2007. Dari Kartini Hingga Ayu Utami; Memposisikan Penulis Perempuan dalam Sastra Indonesia. Jurnal Diksi FBS UNY no 45 edisi Juli 2007.

Schmidt, Leonie. 2012. Post-Suharto Screens: Gender Politics, Islam and Discourses of Modernity.” Amsterdam Social Science4(1): 29-48.

Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. The Harvester Press. Sussex.

Soejipto, Ani. 2011. Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi.Marjin Kiri. Jakarta.

Tahir. Ungku Maimunah Mohd.. 2006. In the Shadow of Change: Image of Women In Indonesian Literature olehTineke Hellwig; Ulasan Kritis. Sari 24. 161-172

Tohari, Ahmad. 2005. Bekisar Merah. Gramedia. Jakarta.

Utami, Ayu. 2002. Saman. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Jakarta.

Wajiran. 2012. The Characteristics of women Writing in Indonesian Literary Work after Reformation Era. ICOME (International Conference on Media and Communication). UUM-Malaysia.

Sumber Online:

Novel, Ali Kebebasan Pers Era SBY-Kalla. http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/29/opi3.htm diakses pada 09:22 tanggal 17 April 2014

Sutimbang. Perkembangan Sastra indonesia Pasca Reformasi.Web http://sutimbang.wordpress.com/ diakses pada 08:45 pada tanggal 23 Januari 2013.

Wajiran, S.S., M.A. is a lecturer at Ahmad Dahlan University Yogyakarta Indonesia email: wajiran79@gmail.com personal web site: www.wajiran.com

Novel, Ali Kebebasan Pers Era SBY-Kalla. http://www.suaramerdeka.com/harian/0409/29/opi3.htm diakses pada 09:22 tanggal 17 April 2014

Tulisan ini penulis kutip dari Perkembangan Sastra indonesia Pasca Reformasiweb http://sutimbang.wordpress.com/ diakses pada 08:45 pada tanggal 23 Januari 2013.

Ibid Sutimbang..

Sukri Abdurrachman. 2003. Pers di Masa Orde Baru. Dalam buku Krisis Masa Kini dan Orde Baru. (Penyunting Muhammad Hisyam). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun