Mohon tunggu...
ahmad wasito
ahmad wasito Mohon Tunggu... -

Lahir dan besar di Tuban-Jawa Timur,kini tinggal di Malang.Beraktifitas seperti orang kebanyakan,mencari nafkah untuk keluarga sembari terus berusaha menjadi perantara kebahagiaan,kesejahteraa dan kedamaian banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyentil Bersama Cemplon

14 November 2010   12:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:37 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1289735342290689523

Cemplon, Nama yang cukup unik. Di desa saya nama cemplon identik dengan gadis cilik yang gendut, berpipi cabi dan menggemaskan, seperti juga nama cipluk dan cempluk. Maka seorang gadis di kampung saya, seindah apapun namanya, harus rela di pangil cemplon atau cempluk jika ia memang mempunyai

[caption id="attachment_75199" align="alignleft" width="240" caption="Nyonya Cemplon"][/caption] tipikal penampilan seperti itu. Maka saat saya membaca ulasan Donny Anggoro mengenai tulisan-tulisan Umar Nur Zain di Harian Sinar Harapan, saya tidak dapat menahan senyum karena sosok cemplon yang menggemaskan di kampung saya tiba-tiba muncul. Cemplon adalah nama tokoh utama dalam setiap cerita yang dibuat Umar. Entah darimana dia mendapatkan inspirasi nama ini. Yang jelas ditangan Umar, Cemplon menjelma menjadi seorang tokoh imajinatif yang serasa nyata dan sangat mengesankan. Lewat kolom yang yang ditulis tiap minggu di harian Sinar Harapan sejak 1979, kemudian dilanjutkan di Suara Pembaruan ketika Sinar Harapan tutup, umar menyajikan genre kolom yang berbeda. Saya sendiri menemukan tulisan Umar ini telah dikumpulkan dalam bentuk yang diterbitkan Sinar Harapan. Kolom yang ditulis Umar bukan seperti esai kebayakan seperti Catatan pinggirnya Goenawan Mohammad atau asal usil yang biasa di tulis Mohammad Sobary di Kompas. Umar menyajikan tulisanya dalam bentuk cerpen yang lucu dan menyagarkan, tapi tidak kehilangan muatan kritik sosialnya. Uniknya, umar juga dengan berani masuk dalam ceritanya sebagai dirinya sendiri dalam profesinya sebagai wartawan. Sebagai narator dalam cerita, umar berperan sebagai teman dekat Ny. Cemplon yang sering diajak diskusi dan keliling kesana kemari. Nyonya cemplon sendiri digambarkan sebagai sesosok wanita matang yang kaya, terhormat, punya pengaruh besar, cantik, langsing, seksi, centil, genit, banyak ide, ambisius, idealis dan lain-lain. Ia pun muncul sebagai tokoh yang multidimensi. Satu waktu ia menjadi hakim, lain waktu ajudan, produser film,istri pejabat, guide turis, sampai sopir taksi. Sosok suaminya tak pernah digambarkan dengan jelas walau ia sudah berstatus ”nyonya”. Cerita-cerita yang dihadirkan Umar merupakan refleksi faktual dari fenomena yang ada di Jakarta dan Indonesia mulai dari masalah ringan seperti ramainya Terapi Disco di Jakarta sampai masalah berat seperti keamanan transportasi nasional. Dengan balutan sastra yang menawan selera humor dan imajinasi tinggi serta kemampuan jurnalisme yang memadai jadilah cemplon sebuah kisah humor parodi yang segar, faktual dan mencerdaskan. Simak saja misalnya dalam cerita Turis-Turis Asing, kali ini nyonya cemplon menjadi guide bagi para turis mancanegara. Dengan segenap upaya wanita yang selalu tampil menarik itu, menunjukan berbagai tempat dan pemandangan yang dianggapnya menarik bagi turis-turis itu. Mulai gedung-gedung bertingkat, mall sampai kampung-kampung modern dijakarta. Tapi diluar dugaan, bule-bule itu malah lebih tertarik dengan hal-hal “tidak modern”, yang memang banyak dijumpai di Jakarta. Kali ciliwung yang airnya kuning dan kadang hitam, orang-orang yang mandi dan buang air rame-rame di kali, pasar tradisional yang beecek, gunungan sampah disamping permukiaman kumuh hingga deretan gubuk di pinggir kali. Mereka tampak antusias mewawancari dan memotret anak-anak tak berbaju, penjual ikan dipasar dan orang-orang yang berak di kali. Lucunya, para turis itu bahkan sangat bangga dan gembira saat salah satu dari mereka kena copet. Saat si turis yang kena copet bercerita dengan bangganya, teman-temanya memberi selamat dan salut. Melihat pengalaman itu nyonya Cemplon kemudian berkesimpulan bahwa turis-turis itu tidak tertarik pada modernnya kota Jakarta, “ masak saat saya ceritakan mengenai gedung-gedung modern di Jl. Sudirman, kurang ajarnya turis-turis itu malah pada tidur. Bosan kali mereka akan gedung pencakar langit,” katanya. Hingga kemudian nyonya yang energik itu mencetuskan ide menarik. Sebuah leaflet biro perjalanan wisata dijakarta telah jadi dibuat olehnya. Bunyinya begini “…Anda ingin memperloeh pengalaman menarik dicopet, dijambret? Datanglah ke Jakarta!” Lalu, “ sudahkah anda menikmati melihat orang berak, mandi, sikat gigi bersama-sama? Datanglah ke Jakarta!” “Anda ingin menikmati aroma khas di Kampung Jakarta Datanglah ke Pasar Ikan!” “Anda belum pernah lihat gubuk buruk dan kehidupan orang-orang miskin di samping gedung-gedung pencakar langit? Datanglah ke Jakarta. Pasti anda mendapatkan shot-shot lensa anda seperti wartawan-wartawan profesional.” Gila! Sebuah krtik yang dikemas dengan apik dalam humor parodi ironis. Pembaca tentu dengan mudah dapat membaca muatan kritik dalam cerita parodi ironis ini. Kritik itu memang kontekstual, karena saat itu Indonesia sedang gencar-gencarnya mempersiapkan program “visit Indonesian Year 1991”. Cerita lain lagi. Demi menghormati himbauan mentri ligkungan hidup, Dr Otto Soemarwoto, untuk membatasi penggunaan mobil pribadi, Cemplon memutuskan mencoba sarana transportasi umum di Jakarta. Mobil BMW nya diistirahatkan. Dengan penampilan laiknya pembantu, Cemplon naik bis kota. Belum lagi naik, badan cemplon sudah digencet sana sini oleh penumpang yang brebutan masuk bis. Di dalam bis kejadian tidak menyenagkan terus saja terjadi. Cemplon terpaksa berdiri karena bis telah penuh sesak. Penumpang di belakang cemplon mencari “kesempatan dalam kesempitan” dengan menempel ketat tubuhnya ke bagian belakang tubuh Cemplon. Mata laki-laki liar memandang tubuhnya. Uang cemplon juga di copet, walau telah dipersiapkan sebelumnya. Akhirnya, cemplon sampai rumah dengan kondisi babak belur, baju compang camping dan tubuh yang penuh kotoran. Ceritanya, ternyata bis yang ditumpangi cemplon menabrak trotoar dan terguling. Sopirnya kejar-kejaran dengan bis lainya karena merasa terhina saat disalip. Sebuah sentilan bagi pemerintah Jakarta untuk segera membenahi transportasi umumnya. Juga sebuah aspirasi, bahwa pembatasan penggunaan mobil pribadi tidak akan efektif selama transportasi umumnya masih belum dibenahi. Inilah kekuatan cerita Cemplon. Ia bisa dicerna dengan mudah semua kalangan. Ia juga dapat menyentil dan mengkritik semua pihak sekaligus juga menjadi hiburan lewat gaya karikatural yang jenaka.

***

Umar Nur Zain sendiri lahir di Cirebon 15 April 1939 dan wafat tahun 1996. Umar belajar menulis pertama kali di sekolah menengah Atas di Jogja, saat ia memimpin majalah sekolah Tri Dharma. Kemudian ia masuk kuliah di perguruan Tinggi Jurnalistik. Lalu terjun dalam dunia persurat kabaran. Ia pernah menjadi wartawan Berita Indonesia, Berita Yudha, Berita Buana, Proklamasi, Majalah Modern dan terakhir sebagai redaktur harian Sinar Harapan.

Di masa kini genre kolom seperti Cemplon tidak di jumpai lagi. Dulu umar kayam juga pernah menulis dengan genre seperti Cemplon. Dalam Kolom yang yang di tulis tiap minggu dalam koran Kedaulatan Rakyat selama kurun 1989-1992an itu Kayam juga menampilkan tokoh yang sama disetiap cerita. Dirinya sendiri masuk dalam cerita, kawan dan sahabatnya , keluarga dan pembantunya ( Mr. Rigen, Ny Narsiyem dan Beni Prakoso). Bedanya, selain setting wilayah dan juga nuansa Jawa yang sangat kental dalam karya Kayam, tokoh-tokoh yang diceritakan Kayam adalah karakter tetap, baik nama maupun profesinya. Sayangnya kolom Umar Kayam juga sama dengan nasib Cemplon. Ceritanya sama-sama berakhir begitu penulisnya wafat. Entah mengapa para penulis, sastrawan dan budayawan masa kini tidak menuruskan penulisan dengan genre seperti Cemplon. Dengan hilangya karya seperti Cemplon kita tidak saja kehilangan karya cerdas yang memuat kritik sosial, tapi juga kita kehilangan karya tulis yang menghibur dan menggemaskan seperti si Cemplon di Kampung saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun