Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Efek Bandwagon di Negeri Konoha - Ulasan Gemoy Tarian Kampanye

6 Agustus 2024   22:36 Diperbarui: 7 Agustus 2024   13:07 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://infopublik.id/galeri/foto/detail/179263

Efek BandWagon- Sebuah Ilustrasi Negeri Konoha - Ulasan Gemoy - Tarian Kampanye.

Pemahaman komprehensif tentang Efek Bandwagon ini penting dalam menganalisis dinamika opini publik, perilaku pemilih, dan tren sosial secara lebih luas.

Definisi Dasar.

Efek bandwagon adalah fenomena psikologi sosial di mana orang cenderung mengadopsi keyakinan, ide, atau tren tertentu karena banyak orang lain melakukan hal yang sama. Istilah ini berasal dari "bandwagon" yang secara harfiah berarti kereta musik dalam parade, yang mengajak orang untuk "naik" dan bergabung dalam kegembiraan.

Konteks Politik

Dalam konteks politik dan pemilihan umum, efek bandwagon mengacu pada kecenderungan pemilih untuk mendukung kandidat atau partai yang dipersepsikan sebagai yang paling mungkin menang.

Menari Mengikuti Irama Kerumunan: Kisah Efek Bandwagon dalam Pemilu - Ilustrasi Negeri Konoha.


Pagi itu, Pak Bowo berdiri ragu di depan bilik suara. Tangannya gemetar memegang surat suara, pikirannya berkecamuk. Semalam, ia masih yakin akan memilih calon presiden favoritnya, Pak Gibran, yang ia anggap paling kompeten. Namun pagi ini, semuanya berubah. Seminggu terakhir, media dipenuhi berita tentang melejitnya elektabilitas Ibu Sari. Teman-teman Pak Bowo di kantor mulai berbisik-bisik, "Kayaknya Ibu Sari bakal menang nih." Bahkan istrinya yang biasanya apatis terhadap politik tiba-tiba berkata, "Mas, katanya Ibu Sari udah unggul jauh ya? Apa kita ikut milih dia aja?" Pak Joko merasakan gelombang itu. Gelombang yang tanpa sadar menariknya, mengajaknya berenang bersama arus utama opini publik. Inilah yang para ahli sebut sebagai "efek bandwagon" - kecenderungan orang untuk mengikuti tindakan atau kepercayaan mayoritas.

Di warung kopi, Pak Bowo mendengar obrolan para tetangga. "Ngapain milih yang kalah? Mending sekalian dukung yang bakal menang," ujar seorang bapak dengan penuh keyakinan. Yang lain mengangguk setuju. Tanpa sadar, Pak Bowo pun mulai mempertimbangkan logika ini. Efek bandwagon bekerja layaknya magnet sosial yang kuat. Orang cenderung ingin berada di pihak pemenang, merasa aman dalam kerumunan. Ada rasa takut tersendiri untuk menjadi minoritas, untuk memilih calon yang "tidak populer". Media sosial semakin memperkuat efek ini. Trending topic, jumlah like dan share, semuanya menciptakan ilusi konsensus. Pak Bowo melihat timeline-nya dipenuhi dukungan untuk Ibu Sari. Meski ia tahu ini mungkin hanya gelembung filter, tetapi pengaruhnya tetap terasa. Kembali ke bilik suara, Pak Bowo akhirnya membuat keputusan. Dengan perasaan campur aduk, ia mencentang nama Ibu Sari. Sebagian dari dirinya merasa telah mengkhianati prinsipnya sendiri. Namun sebagian lagi merasa lega, seolah telah memilih "pihak yang benar".

Kisah Pak Bowo hanyalah satu dari jutaan. Efek bandwagon telah mengubah arah banyak pemilu, menciptakan kejutan-kejutan politik yang tak terduga. Ia adalah pengingat bahwa dalam demokrasi, persepsi terkadang sama kuatnya dengan realitas. Saat matahari terbenam di hari pemilihan itu, Pak Bowo merenungkan pilihan yang telah ia buat. Apakah ia telah berkontribusi pada demokrasi yang sehat, atau justru menjadi korban dari manipulasi opini massa? Jawabannya mungkin tak sesederhana yang ia kira. Efek bandwagon, bagaikan tarian massal yang mengajak semua untuk bergerak serempak. Namun di balik gerakan yang tampak harmonis itu, tersimpan pertanyaan mendalam tentang esensi dari pilihan demokratis yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun