Air Payau Di Rawa Dengklok.
- cerpen.
Oleh : A.W. al-faiz
Di sudut terlupakan Pulau Jawa, terbentang Rawa Dengklok yang sunyi. Air payaunya beriak pelan, memantulkan sinar matahari senja yang redup. Pohon-pohon bakau berdiri kokoh, akarnya mencengkeram tanah berlumpur, seolah enggan melepaskan diri dari pelukan rawa.
Sesekali terdengar kecipak air dari ikan bandeng yang melompat, memecah keheningan. Burung-burung bangau terbang rendah, sayapnya menyapu permukaan air yang keruh. Mereka mencari makan di antara rerumputan liar yang tumbuh di tepian rawa.
Udara yang pengap dipenuhi aroma khas air payau - campuran antara garam, lumpur, dan vegetasi yang membusuk. Namun bagi penduduk setempat, bau ini adalah aroma kehidupan. Rawa ini telah menjadi sumber penghidupan mereka selama bergenerasi.
Di kejauhan, tampak beberapa perahu nelayan kecil bergoyang pelan mengikuti irama ombak kecil. Para nelayan dengan sabar menunggu jala mereka terisi ikan, udang, atau kepiting yang menjadi penghuni rawa. Wajah-wajah mereka yang terbakar matahari menyiratkan kegigihan dalam menghadapi tantangan hidup.
Senja pun turun perlahan, membawa kegelapan yang memeluk rawa. Namun kehidupan di sini tak pernah berhenti. Air payau Rawa Dengklok terus bercerita, membisikkan kisah-kisah perjuangan dan harapan yang mengalir bersama arusnya yang tenang namun tak pernah berhenti.
Baik, saya akan melanjutkan prosa tersebut dengan menambahkan kisah cinta antara Khutbi dan Nuri Lila. Berikut lanjutannya:
Di tepi rawa yang sunyi, Khutbi berdiri tegak, memandang jauh ke kejauhan. Tubuhnya yang kekar hasil bertahun-tahun menjala ikan kontras dengan lembut air payau yang beriak di kakinya. Matanya yang tajam menyisir permukaan air, mencari tanda-tanda gerakan ikan, namun pikirannya melayang jauh.
Nuri Lila, gadis cantik berkulit sawo matang, selalu hadir dalam benaknya. Putri seorang juragan tambak udang, Nuri Lila bagaikan bunga teratai yang mekar di tengah rawa - anggun namun sulit digapai. Khutbi, hanya seorang nelayan sederhana, merasa nasibnya seperti air payau ini - tak tawar, tak pula asin sepenuhnya.
Sore itu, seperti biasa, Nuri Lila berjalan anggun di sepanjang jalan setapak menuju rawa, membawakan bekal untuk ayahnya. Langkahnya terhenti saat melihat sosok Khutbi. Mata mereka bertemu, menyalurkan perasaan yang tak terucap.
"Khutbi," sapanya lembut, "hari ini tangkapanmu banyak?"
Khutbi tersenyum kecil, "Tidak sebanyak yang kuharapkan, Nuri. Tapi cukuplah untuk makan hari ini."