Mereka berbincang, membicarakan rawa, ikan, dan kehidupan. Dalam hati, keduanya tahu bahwa percakapan ini lebih dari sekadar basa-basi. Ada getaran halus yang mengalir, seperti riak air payau yang lembut namun tak terbendung.
Nuri Lila memandang Khutbi dengan sorot mata penuh arti, "Ayahku berkata, air payau itu istimewa. Tidak seperti air laut yang terlalu asin atau air tawar yang hambar. Air payau punya karakter sendiri, unik."
Khutbi mengangguk, menangkap makna tersirat dari ucapan Nuri Lila. "Ya, seperti cinta kita, Nuri. Tidak biasa, tapi justru itu yang membuatnya berharga."
Mereka berdiri berdampingan, memandang matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Bayangan mereka memanjang di atas air payau, seolah rawa itu sendiri memberkati cinta mereka yang tumbuh perlahan namun pasti.
Kisah cinta Khutbi dan Nuri Lila, seperti air payau di Rawa Dengklok, mungkin tak selalu manis. Ada saat-saat pahit, ada pula masa-masa yang terasa hambar. Namun dalam keunikannya itulah, cinta mereka menemukan kekuatannya. Di tengah tantangan perbedaan status dan pandangan masyarakat, cinta mereka mengalir tenang, membawa harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Senja pun turun sepenuhnya, menyelimuti Rawa Dengklok dalam keremangan. Namun bagi Khutbi dan Nuri Lila, cahaya cinta mereka bersinar terang, memandu langkah mereka dalam mengarungi kehidupan yang terkadang keruh seperti air payau, namun selalu menjanjikan kehidupan baru di setiap harinya.
24/07/2024.
A.W. al-faiz.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H