Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semir Sepatu Tuhan (Bagian Kedua)

18 Juli 2024   16:45 Diperbarui: 18 Juli 2024   16:45 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semir Sepatu Tuhan. [Bagian Kedua].

Seorang wazir berjalan angkuh di pasar Baghdad yang ramai. Jubahnya yang mewah menyapu debu jalanan, kontras dengan para pedagang dan pekerja sederhana di sekelilingnya. Matanya tertuju pada seorang tukang semir sepatu yang sedang bekerja di sudut pasar.Entah apa yang memicu amarahnya, tiba-tiba wazir itu berteriak lantang, "Kafir kau!" kepada si tukang semir yang malang. Suaranya menggelegar, membuat orang-orang di sekitar terkejut dan menoleh.

Berita tentang insiden ini menyebar cepat bagaikan api di padang rumput kering. Tak lama kemudian, kabar itu sampai ke telinga sang Khalifah. Penguasa yang bijaksana itu murka mendengar salah satu pejabat tingginya berlaku kasar dan menghina rakyat jelata.Tanpa menunda, Khalifah memanggil sang wazir ke istana. Di hadapan para penasihat dan pejabat lainnya, ia menegur keras tindakan tidak terpuji wazir tersebut. Sang Khalifah mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus menjaga lisannya dan menghormati semua rakyat, tanpa memandang status sosial mereka.Sebagai hukuman dan pelajaran, Khalifah memerintahkan wazir itu untuk meminta maaf langsung kepada si tukang semir dan mengabdi di pasar selama sepekan. Peristiwa ini menjadi pengingat bagi semua bahwa kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh jabatan, melainkan oleh akhlak dan perilakunya terhadap sesama.

Dan, Abunawas menjawab dengan bijak, "Yang Mulia, dalam menegakkan keadilan, kita harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, tingkat pendidikan dan pemahaman si tukang semir. Ia mungkin tidak memahami implikasi teologis dari ucapannya. Kedua, reaksi sang wazir yang terdidik namun kurang bijaksana dalam menanggapi."Ia melanjutkan, "Seorang yang berilmu memang memiliki tanggung jawab lebih besar. Namun, bukankah tugas kita untuk mendidik mereka yang kurang paham, bukan menghardik?"

Khalifah mengangguk, memahami maksud Abunawas. "Lalu, apa saranmu?"

Kemudian berkata, "Yang Mulia," kata Abunawas, "alangkah baiknya jika wazir diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Biarkan ia mengajarkan makna tauhid yang benar kepada si tukang semir, sekaligus belajar kesabaran dan kebijaksanaan dalam berdakwah."Khalifah tersenyum, "Sungguh bijak saranmu, Abunawas. Kita akan memberi kesempatan kepada wazir untuk menebus kesalahannya dengan ilmu dan kelembutan, bukan dengan hardikan dan hukuman."Demikianlah, sang wazir pun diperintahkan untuk kembali ke pasar. Kali ini bukan untuk menghardik, melainkan untuk mengajar dengan lemah lembut. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak: bahwa ilmu tanpa kebijaksanaan bagaikan pedang tajam tanpa sarung, dan kebodohan bukanlah dosa yang tak terampuni, melainkan kesempatan untuk berbagi pengetahuan.

Bandar Lampung, 16/07/2024.

A.W.E.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun