Oleh : A.W. al-faiz
[Diadaptasi, dari Kisah Seribu Satu Malam].
Di sudut jalan yang ramai, di tengah hiruk pikuk kota, duduk seorang tukang semir sepatu tua bernama Pak Karman. Jemarinya yang keriput namun terampil telah menyentuh ribuan sepatu selama puluhan tahun. Baginya, setiap sepatu memiliki cerita, dan setiap pemiliknya adalah manusia dengan segala keunikannya.
Suatu hari, seorang pria berpakaian rapi menghampiri Pak Karman. Sepatu kulit cokelatnya terlihat kusam dan butuh perawatan. Tanpa basa-basi, Pak Karman mulai bekerja, mengoleskan semir dengan hati-hati dan penuh perhatian.
Sambil bekerja, Pak Karman bersenandung pelan, "Ya Tuhan, akan kusemir sepatumu dengan sepenuh hati. Akan kubuat berkilau seperti mentari pagi." Pria itu mendengar dan terkejut. Dengan nada tinggi, ia membentak, "Apa maksudmu? Kau menghina Tuhan! Kafir kau!"
Orang-orang di sekitar mulai menoleh, beberapa mendekat dengan rasa ingin tahu. Pak Karman terdiam sejenak, kebingungan terpancar di wajahnya yang keriput. Dengan suara yang lembut dan sedikit bergetar, ia menjawab, "Maaf Pak, saya tidak bermaksud menghina. Bagi saya, setiap sepatu yang saya semir adalah sepatu Tuhan. Setiap orang yang saya layani adalah ciptaan-Nya. Saya hanya ingin melakukan pekerjaan saya sebaik mungkin, seolah-olah saya melakukannya untuk Tuhan sendiri."
Kerumunan mulai berbisik-bisik. Beberapa orang mengangguk paham, sementara yang lain masih terlihat ragu. Pria itu terdiam, perlahan-lahan ekspresi marahnya melunak.
Seorang wanita tua dari kerumunan angkat bicara, "Nak, tidakkah kau lihat ketulusan dalam kata-katanya? Ia tidak menghina Tuhan, tapi justru menghormati-Nya dalam setiap tindakannya."
Pria itu mulai terlihat malu. Ia menunduk, memandangi sepatunya yang kini berkilau. "Maafkan saya, Pak," katanya pelan. "Saya terlalu cepat menghakimi. Saya tidak memahami maksud Anda."
Pak Karman tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Nak. Kita semua masih belajar. Yang penting adalah niat di hati kita."
Kejadian itu menjadi pelajaran berharga bagi semua yang menyaksikannya. Bahwa moralitas bahasa tidak selalu terletak pada kata-kata yang diucapkan, tetapi pada makna dan niat di baliknya. Bahwa pemahaman dan pengetahuan setiap individu berbeda-beda, dan kita perlu berhati-hati sebelum menghakimi orang lain.
Sejak hari itu, banyak orang yang datang ke Pak Karman bukan hanya untuk menyemir sepatu, tetapi juga untuk mendengar kebijaksanaannya yang sederhana namun dalam. Dan Pak Karman terus bersenandung, memuliakan Tuhan dalam setiap sapuan kuas semirnya, mengajarkan pada dunia bahwa kesucian bisa ditemukan dalam pekerjaan yang paling sederhana sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H