Seratus Tahun Kesunyian, Garcia Marquez, Kegagapan Bahasa: Sebuah Catatan Subjektif: Semata-mata Dari Sudut Fungsi Dari Lingua Franca (bahasa pengantar).
Oleh : A.W. Al-Faiz.
Keyword:Â Kegagapan bahasa, dan struktur fungsi bahasa.
Nalar-dalam Parameter Sastra, yang melihat realitas mitis (magis) sebagai kegagapan bahasa, sebagai metafora.
Kegagapan (pelow-kegagapan lisan dalam mengucapkan -artikulatif, bunyi) mendengungkan, kita manakala menginduksi suatu perihal objek dalam fenomena, realitas objektif, yang dalam gambaran pengelihatan imajinatif, terhadap ruang realitas yang sebelumnya, bukanlah suatu kebiasaan yang menjadi tradisi yang kita kenal dan pahami secara umum. Sebagai norma yang berlaku, pada ruang kebudayaan dan kultur heterogen kita secara sosial. Yang, tak berlawanan terhadap kontradi dari pertentangan, struktur eksperesi emosional dari ekspresi pernyataan bahasa.Â
Terutama, secara emosional sebagai motif nomenon, atau esensi, dari fenomena, yang salah satunya, adalah bahasa dalam kapasitas, penyebutan, dan atau bahasa pengantar kita di dalam kebiasaan dan prilaku keseharian. Dalam mengutarakan, dan mengucapkan hal-hal ihwal yang puitik. Sebagai atensi dan intrestif objek bagi minat dan fokus kepada suatu nilai dan ruang yang ontologis dari antologi kehidupan yang bukan bersifat antrologis, tapi perubahan, dalam struktur alamiah kehidupan manusia.
      Ada isyarat, yang tersirat sebagai pesan yang mendasar untuk mengucapkannya, sebagai suatu ekspresi bunyi. Sebagai bentuk emosional dan sens dari sensitifitas yang terpicu oleh gairah yang ekspresif. Terhadap, berbagai sifat objek yang memberi nuansa dan sensasi ekspresi tersebut. Selayaknya, orang yang pelow, dalam mengucapkan suatu bentuk dengan bunyi kegagapan oleh stagnasi, sensasi yang berakibat, pada seorang yqng normal dalam keadaan yang terperangah. Karena kejutan, reduktif, dari jangkauan intuisi, emosionalnya.
       Hal yang kemudian coba digambarkan oleh, Garcia Marquez, dalam narasi prosaik. Semacam, dari akibat dari pergerakan kebudayaan, dan industri, yang seolah-olah, secara mendasar kemudian, memiliki impact akibat, bagi fungsi komunal bahasa secara kesadaran linguistiknya, dalam komunikasi sosio-antrologisnya. Yang berlatar belakang kondisi revolusioner, di semua bidang berlatar Amerika Latin.
     Melihat bahasa sebagai fungsi dari dimensi ruang, kerja bahasa yang komunikatif, dalam memberi pengantar makna, tujuan dan pesan pengungkapan atau pelapalan bunyinya dalam mencoba mengekspresikan nilai, pemaparan sebagai maksud dalam penggunaan bahasa.Â
     Di tanah air, sendiri, kegagapan itu, ditafsirkan dalam alur plot, secara berbeda dan lain, dalam dilema bentuk, interprestasi mantra, atau puisi mantra, yang mendeskonstruksi bentuk baku dari kata-kata, dan bahasa sebagai bahasa yang puitik, yang memberi kesan magis, ghaib, dan dalam pengungkapannya, juga dalam pengertian, nuansa yang dalam struktur bentuk yang sakralnya, dalam sumberdaya fungsi bahasa yang kembali kepada alur sebagai alat, dan bukanlah, fungsinya, yang kaya akan nilai estetika, dalam metafor-metafor dari metafora kebudayaan dan tradisi.
      Dalam, kredo puisi, dari landasan puitik, Sutardji C. Bahri, yang menitik tekankan anggapan dan asumsi bahasa atau kata bukanlah alat, pengantar makna, yang berkibat pada negasi makna, dalam pengertian arti kata, ke dalam alat pengantar dalam logika bahasa atau linguistik dalam falsafahnya, yakni, melayu dalam citra yang mengekspresikan mantra sebagai lintasan logis dari lintasan puitiknya. Yang kita kenal sebagai pokok relasi argumentasi dari ruang pencitraan, kebudayaan dasar dari kesadaran, bahasa, dalam struktur rima atau bunyi kata orang, atau etnik, melayu dalam kapasitas bahasa mantranya. Juga, sebagai fungsi dari mitos dari mistis, dalam bahasa kesadaran yang alamiah, oleh keterukuran peristiwa, kegagapan nilai dalam kegagalan implementasi realitas kenyataannya.