MANIFESTO : DAS POLITICAL ; "Corgito ergho cawe-cawe politik sum"
Subjek: Opinion.
Oleh : Ahmad W. Al-faizÂ
DAS POLITICAL : Manifesto Kekuasaan Di dalam Dimensi; Cawe-Cawe.
Tabir kelabu,kekuasaan dalam menentukan; Â otoritas pandangan kritik dan presfektif nilai di dalamnya, untuk dapat bersaing dalam penguasaan kursi di legislatif semisalnya, saja. Bahwa, kemudian dalam pemilihan presiden pada titik dimana kemenangan menentukan preseden pemilu, sebagai hasil akhir yang akan menampilkan siapa kandidat dari calon, yang diusung partai politik, dalam pemungutan suara di bilik suara, yang maju dan kemudian, yang terpilih sebagai, the real of winner the demokrasi proces. Yang akan memegang estafet, dari kursi jabatan presiden menuju peralihan kepemimpinan yang baru, sebagai kelanjutan, dari sirkulasi elite, pemerintah di tingkatan ekskutif.Â
Beberapa wacana, dalam pembicaraan isue-politik seperti halnya, terkait di atas, tentang kapasitas para kandidat yang maju. Muncul idiom politik dalam menyatakan dinamika atas wacana strategis dari pasangan calon, yang di usung oleh partai politik. Sebagai, Das Political, dan bagian dari manifesto terhadap penilaian bagi setiap calon kandidat yang maju sebagai representasi kepentingan kelompok, dan integritas nilai kebutuhan dalam persoalan yang sama sebagai interest dari sasaran objek perebutan kursi kekuasaan. Sementara, sang penafsir dari kalangan akademisi dan juga sang filosof, terhadap ruang interprestasi kekuasaan, juga turut serta dalam sumberdaya analisa terhadap para calon dari parameter berjenjang, menilai kapasitas publik para kandidat calonnya.Â
Faktanya, adalah profil dari perebutan kekuasaan politik dapat di prediksi dalam pernyataan secara argumentatif, bahwa, "yang termuat adalah yang menang" sebagai, suatu ruang gambaran yang menggambarkan siklus mata rantai, kehidupan kekuasaan di atas habitat kursi kekuasaan yang monopoli, dan serba manipulatif bagi hajat kebanyakan orang, yang berada di koridor ruang lingkupnya kekuasaan tersebut tumbuh sebagai cermin dari lingkungan yang menciptakan definisi secara abstraktif dari keberadaan nilai otoritatif kekuasan, tak terkecuali politik. Termasuk, dalam penguasaan alat-alat politik kekuasaan, dalam parade bunyi yang revolusioner bagi, Das Political sebagai Das Kapital, momok dari persaingan dan motif serta polarisasi nilai yang berkembang sebagai bahan wacana tandingan. Dalam memenangkan strategi, yang mana, yang lebih unggul di balik realitas komoditatif, dari ruang kekuasaan yang menciptakan instrument dari kebijakan publik, sebagai produk kekuasaan yang konsumtif terhadap nilai jangka panjang, dan secara ide menguasai hajat orang banyak demi keuntungan materil dari kekuasaan bagi sejumlah kalangan, yang saling menuding oligarki, pada setiap oligarkis lainnya.
MANIFESTO : CAWE-CAWEÂ POLITIK.
Motif berlatar belakang kritik kekuasaan dalam menggugat adikuasa, yang disimbolkan sebagai bentuk kapital dari penguasaan alat politik praktis, yang dapat memanipulasi keberadaan monopoli kekuasaan dalam ketergantungan publik terhadap sumberdaya; dari jawaban, produktifitas alat politik yang menggantikan energi dari kebenaran di masa lalu, dalam bentuk premis-premis iklan, tayang, dan komunike-komunike politik lintas koalisi partai pengusung profil "kebenaran politik" dalam formulasi figur sentral publik, di atas pernyataan tradisi dan kebudayaan di kalangan tradisional di dalam lapisan aspek individu, dan kelompok, masyarakat secara sosiologis. Kita, seperti tiba menjembatani, pemahaman tentang suatu dekadensi arus moralitas dalam skema post-truth. Yang, saling cawe-cawe diantara para cawe-cawe politik, yang melepaskan dimensi dari motifasi nilai, kejujuran, adalah sama halnya dengan "kebohongan di ruang publik, yang dibiarkan, terus-menerus, secara masif dalam rangka alat penyampaian yang komunikatif, bagi kepentingan-kepentingan esensial sense, publik, pada waktunya, akan menjadi kebenaran" oleh, karena, terbiasa dengan suatu pola kultur yang di tradisikan dalam menafsir bentuk relatif dari nilai di dalam subjek kekuasaan di mata realitas sosial yang objektif terhadap komunike-komunike, dalam kultur strategisnya.Â
Sedangkan, cawe-cawe, lebih merupakan hal itu. Ketimbang manifesto dari daripada manifestasi demokratisasi yang fundamen nilainya berada pada parameter suara rakyat, "adalah suara tuhan" dan surat tuhan adalah ilahi, dari suara kebenaran dari seluruh aspek yang berada di dunia ini, dan di muka bumi, sebagai ruang kehidupan berbangsa, dan bernegara. Seperti ungkapan populer dalam uderstanding art, "leci n'est pas une pipe" dimana secara logika dekontruktif terhadap realitas, tentu, kita bahkan, tidak benar-benar berpolitik, baik secara praktis, dari keberadaan pikiran kitalah menyambung keberadaan realitas dalam pengertian bahasa kita secara subjektif di dalam makna kosakata secara umum, untuk mengatakan suatu perihal, dalam bentuk tradisi yang berpredikat subjektif dalam mengenali makna esensialnya. Sebab, secara filosofis, makna sang aku, dalam dimensi ruang otoritas kekuasaan adalah, sebuah premis yang menyatakan "corgitho ergho sum" atau "corgito ergho cawe-cawe politik sum" dalam melihat fenomena dan gejala lokomotisasi masa menuju perubahan, yang mudah-mudahan berarti, dan punya arti tersendiri bagi kehidupan semua orang tanpa terkecuali, si miskin atau si kaya, sebagai subjek oligarkis Das Politik di tahun 2024 ini.
"Salam, kebangsaan!"