Seorang Muslim yang meragukan Tuhan justru untuk lebih meyakini kehadiranNya. Itulah kesan dari catatan harian Ahmad Wahib, pemikir muda Islam yang meninggal tertabrak motor di depan kantor TEMPO dulu – kantor tempatnya bekerja sebagai reporter.
BAGI pembaca yang tidak mengenalnya secara pribadi, sulit mendapatkan kesan utuh tentang diri Ahmad Wahib hanya dari bukunya ini. Pemikir muda muslim yang mati muda ini (1943-1973), menyajikan dalam catatan harian yang diwariskannya, beberapa kepingan yang mungkin dapat menyajikan gambaran lengkap tentang kepribadian yang bulat, hanya setelah pengenalan pribadi yang cukup lama.
Ketulusan untuk memperoleh kebenaran dengan pertaruhan tertinggi. Keberanian menghadapkan diri sendiri kepada masalah-masalah keimanan terdalam – yang berarti pengakuan penuh atas keraguan mendasar dalam hati sendiri. Dan kemampuan untuk memetik pelajaran dari pihak mana pun. Semua itu adalah hal-hal yang saling bertentangan tetapi berkembang dalam hidup Ahmad Wahib.
Mengejar kebenaran secara tuntas mengandaikan kepastian sikap yang penuh – katakanlah semacam elan vitalnya seorang filosof. Sedangkan introspeksi ke dalam, justru menampakkan wajah yang berkebalikan. Lalu bagaimana pula keduanya harus dipertalikan dengan kelemahan hati seorang yang mampu belajar dari siapa pun?
Sulit diketahui 'bagaimananya' pergolakan pemikiran Ahmad Wahib. Terlebih-lebih kalau diteropong dari sisi lain watak hidupnya sendiri: kebimbangan (atau justru rasa rendah dirinya?) untuk mewujudkan tindak lanjut bagi ikatan kasih yang dijalinnya dengan seorang gadis, umpamanya. Atau sifat pemalunya yang demikian besar.
Kesan tiadanya keutuhan gambaran itulah yang muncul dari membaca buku ini. Padahal pribadi yang digambarkan justru sangat kuat proyeksinya kepada pembaca sebagai sesuatu yang utuh! Hanya orang tidak tahu keseluruhan wajah keutuhan itu sendiri.
Di sinilah harus disayangkan kegagalan kata pengantar Prof. Dr. A. Mukti Ali dan pendahuluan Djohan Effendi. Sebagai bekas pembimbing intelektual-keagamaan dan kawan terdekat Ahmad Wahib, seharusnya kedua orang tersebut menjelaskan secara terperinci aspek-aspek pergulatannya yang tidak tertangkap oleh orang lain. Manakah gambaran jelas tentang bermulanya proses itu? Dera apakah yang harus dijalani Ahmad Wahib dalam hidupnya, yang membentuk kepribadiannya? Sejauh manakah pemikir muda ini disengsarakan kejujurannya yang demikian mutlak itu?
Kita tahu ia harus bergulat, tetapi apa lingkup pergulatannya, kesakitannya sewaktu menjalani proses tersebut, harapan yang dirumuskannya sebagai ujung pergulatan?
Tetapi yang luar biasa dari buku ini adalah kenyataan akan tingginya intenitas pergulatan pemikiran dalam diri Ahmad Wahib. Tanpa ada kejelasan situasinya sekalipun, kita tetap merasakan betapa besar arti pergulatan itu bagi diri Ahmad Wahib sendiri dan bagi temanteman sejawatnya. Bahkan mungkin bagi perkembangan Islam sendiri, di sini!
Begitu kuat keterlibatan Ahmad Wahib kepada penentuan masa depan agama yang dicintainya itu, terasa bagi kita. Padahal, tetap saja tidak jelas apa visinya akan masa lampau agama tersebut. Kalau ia dapati kekurangan sedemikian mendasar di dalamnya, mengapakah Ahmad Wahib tidak menolaknya? Bahkan, sebaliknya, ia lebih dalam mencintainya – bagaikan orang mencintai pelacur walaupun tahu apa yang dilakukan pelacur itu sehari-hari.
Berpikir Nisbi