Toleransi adalah sikap dan perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima mayoritas dalam suatu masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata toleransi adalah dua kelompok yang berbeda tetapi dapat saling berhubungan.
"Inilah yang sedang saya perjuangkan. Apakah Indonesia negara toleran? Tidak. Banyaknya pemaksaan kehendak dari mayoritas terhadap minoritas adalah bukti masyarakat Indonesia belum mampu bertoleransi.”
Catatan lugas itu tampil pada laman blog http://dianparamita.com milik Dian Paramita, mahasiswi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dia menjelaskan tujuan blognya, yaitu untuk berbagi cerita, menyampaikan kritik kepada pemerintah, dan mencoba mendorong Indonesia menjadi negeri yang lebih baik. Teks itu ditampilkan 2 Juni 2012.
Di blog lain, Sifa Ningrum, mahasiswi Jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, juga punya ulasan soal toleransi. Pada laman blog http://sifaberkatakata.blogspot.com/, 30 April 2012, dia mengisahkan pengalamannya berbaur dengan banyak siswa dari berbagai agama saat sekolah.
”Sejak SD hingga SMA saya mengenal perbedaan, namun tak pernah mempermasalahkannya. Sekolah saya memang menjunjung tinggi pluralisme, mungkin karena itu terdapat tujuh agama, saudara-saudara! Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Saksi Jehova. Dan semua agama tersebut difasilitasi dengan baik oleh pihak sekolah.”
”Sekolah juga pernah mengadakan acara Religion’s Day sebagai pengenalan agama-agama bagi siswa. Tidak mendasar, hanya seperti apa yang dirayakan, sejarah dan cara beribadah oleh umat beragama lainnya.”
Blog Dian Paramita dan Sifa Ningrum mungkin bisa mewakili banyak blog lain yang dikelola kaum muda di Indonesia saat ini. Meski dirancang sebagai blog pribadi yang memuat beragam tema, sebagian mirip curahan hati (curhat), mereka menyisipkan catatan tentang toleransi. Ini menerbitkan harapan baru.
Revolusi teknologi kian mendorong internet menjadi media yang canggih. Lewat beragam fasilitas dan jaringannya, masyarakat bisa membangun komunikasi yang interaktif, mudah, massal, dan jauh lebih cepat. Lebih dari sekadar berkomunikasi, media ini juga menjadi ruang berekspresi yang asyik.
Sebagai gambaran, tahun 2011, ada sekitar lima juta blog dari Indonesia dengan beragam tema. Dengan populasi sekitar 238 juta, ada sekitar 34 juta pengguna internet di Indonesia. Jumlah itu tidak termasuk pengguna internet lewat perangkat mobile atau smartphone. Sekitar 70 persen pengguna media baru ini adalah generasi muda usia 14-30 tahun.
Rebut media
Toleransi sebenarnya belum menjadi isu utama di antara kaum muda pengguna media ini. Sebaliknya, beberapa kelompok radikal telah memanfaatkannya untuk menyebarkan ideologi, mengorganisasi diri, bahkan menggalang dana. Sebagian dana itu kemudian disalurkan untuk kegiatan mereka.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (21/6), Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq mengajak masyarakat merebut media internet untuk mengampanyekan toleransi, demokrasi, dan pluralisme. Kita harus berkompetisi dengan kelompok-kelompok radikal yang lebih militan memanfaatkan media baru itu. ”Jika kita tak bergerak ke arah itu, media baru itu akan dibajak untuk membunuh demokrasi dan toleransi,” katanya.
Langkah ini juga strategis karena kaum muda sangat dekat dengan media baru ini. Media konvensional seperti buku, ceramah, atau tatap muka langsung dirasa tidak lagi cukup untuk menjangkau generasi baru.
Kampanye semacam ini menjadi lebih relevan di tengah merosotnya sikap toleransi di Indonesia belakangan ini. Data beberapa lembaga pemerhati pluralisme menunjukkan tindakan kekerasan atas nama agama, etnik, atau golongan kian marak.
Pemerintah lambat
Situasi kian runyam karena pemerintah cenderung lambat menangani berbagai kekerasan itu. Pada beberapa kasus, aparat keamanan malah terkesan membiarkannya. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan masih lemah. Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan jaminan negara akan kebebasan beribadah dan berkeyakinan, belum sepenuhnya terwujud.
Tentu saja, kampanye toleransi lewat media internet menghajatkan strategi dan pendekatan yang lebih luwes. Cara indoktrinasi satu arah tak bisa lagi diandalkan untuk menyapa kaum muda yang lebih dinamis dan terbuka. Perlu pendekatan komunikasi yang lebih fleksibel, mengajak berpikir, serta lebih segar.
Bagi Direktur Program Yayasan Paramadina Ihsan Ali Fauzi, kampanye lewat media internet harus bisa membuat publik merasa membutuhkan toleransi. Kita perlu sekali terus saling mengingatkan. Hanya dengan bersikap toleran, menerima perbedaan, dan menghargai pilihan orang lain, kita bisa hidup damai di tengah bangsa yang majemuk karena agama, etnis, budaya, dan golongan. Diskusi tentang kenyataan hidup sehari-hari lebih gampang menyentuh semua kalangan.
Dalam hal ini, kita bisa menyimak tulisan Rahmawati, perempuan muda, dalam blognya, http://namasayarahmawati.blogspot.com/ yang gelisah dengan berbagai kekerasan, bahkan terorisme, yang kerap mengatasnamakan agama.
”Mungkin saya perlu belajar lebih jauh. Mungkin juga Anda perlu belajar lebih jauh. Di Bangsa yang terdiri dari berbagai etnis ini, penting adanya saling memiliki dan menyayangi. Supaya kita Raya lagi.” (Ilham Khoiri)
Sumber: http://ahmadwahib.com/id/index.php/tulisan/artikel/55-berita/115-mereka-menyerukan-toleransi-di-dunia-maya/Mereka.Menyerukan.Toleransi.di.Dunia.Maya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H