Mohon tunggu...
Ahmad wafi
Ahmad wafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pribadi yang ingin menjadi lebih baik dikemudian hari

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kericuhan di Pertandingan PSIS Semarang vs PSS Sleman

29 Juni 2024   14:04 Diperbarui: 29 Juni 2024   14:27 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertandingan sepak bola, selain menjadi ajang untuk memperlihatkan keterampilan atletik dan taktik, seringkali juga menjadi panggung bagi emosi dan loyalitas yang kuat dari suporter. Namun, terkadang, antusiasme yang berlebihan bisa berubah menjadi konflik dan kekerasan, seperti yang terjadi dalam pertandingan antara PSIS Semarang dan PSS Sleman pada pekan ke-21 Liga 1 di Stadion Jatidiri, Semarang, Minggu (3/12/2023).

Meskipun PSIS Semarang berhasil memenangkan pertandingan dengan skor tipis 1-0 lewat gol Carlos Fortes, kegembiraan kemenangan tersebut terendam oleh insiden kericuhan yang terjadi di akhir pertandingan. Seharusnya, momen ini menjadi waktu untuk merayakan, tetapi suasana panas justru menyelimuti tribun, mengakibatkan ofisial dan pemain di bench kedua tim terpaksa masuk ke lapangan untuk menghindari lemparan dari tribune. Bahkan, CEO PSIS, Yoyok Sukawi, mengalami luka serius dengan memerlukan 8 jahitan di kepala akibat terkena lemparan benda dari suporter. Insiden ini tidak hanya menyedihkan, tetapi juga mengkhawatirkan, karena menandai kegagalan dalam menjaga kedamaian dan keamanan di stadion.

Menurut keterangan Ketua Panpel PSIS, Agung Bawono, kericuhan tersebut berawal dari konflik antara suporter Snex, pendukung PSIS Semarang, dan pendukung PSS Sleman. Konflik ini terjadi di tribun utara dan barat stadion, tempat kedua kelompok suporter berada dalam jarak dekat satu sama lain. Agung Bawono juga menjelaskan bahwa pihaknya sebenarnya sudah melakukan tindakan preventif dengan memberikan peringatan kepada suporter Snex. Namun, ironisnya, upaya tindakan preventif tersebut malah hampir membuat situasi semakin memanas. Agung sendiri hampir menjadi korban pemukulan oleh anggota Snex dalam upaya mencegah kericuhan. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya mengelola konflik di antara suporter, terutama ketika emosi dan rivalitas sudah mencapai titik kritis.

Insiden kericuhan ini bukanlah yang pertama kali terjadi dalam dunia sepak bola Indonesia, dan bukan pula yang terakhir. Sejumlah pertandingan sebelumnya juga telah disertai dengan kekerasan dan kerusuhan, menimbulkan pertanyaan tentang keamanan di stadion dan peran pengelola dalam mengatasi konflik antara suporter. Selain itu, ini juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lebih holistik terhadap permasalahan ini. Tindakan preventif memang diperlukan, tetapi harus diiringi dengan strategi yang lebih luas yang melibatkan pendidikan, dialog, dan pemahaman bersama antara semua pihak yang terlibat.

Dalam konteks teori identitas, pertandingan sepak bola seringkali menjadi wadah untuk mengekspresikan identitas kelompok yang kuat di antara suporter. Suporter PSIS Semarang dan PSS Sleman, atau yang dikenal dengan sebutan Snex, memiliki identitas kelompok yang kuat dan saling bertentangan. Mereka tidak hanya mendukung tim kesayangan mereka, tetapi juga merasa terikat oleh ikatan emosional dan sosial dengan sesama suporter. Dalam atmosfer pertandingan, identitas ini dapat menjadi pemicu konflik, terutama ketika terjadi ejekan atau provokasi antar suporter.

Pendekatan berbasis teori identitas dapat membantu dalam mengelola konflik antara suporter dengan memahami dinamika identitas kelompok mereka. Upaya pencegahan dan penanganan konflik harus memperhitungkan peran identitas kelompok dalam membentuk perilaku suporter. Selain itu, promosi dialog antar kelompok suporter dan pembangunan pemahaman bersama tentang identitas dan nilai-nilai yang saling dihormati juga merupakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengurangi ketegangan di antara mereka.


Pertama-tama, pendidikan tentang sportivitas dan sikap positif dalam mendukung tim harus ditekankan kepada suporter sejak dini. Sekolah-sekolah, klub sepak bola, dan organisasi masyarakat harus bekerja sama untuk menyebarkan nilai-nilai ini dan mendorong perilaku yang baik di dalam dan di luar lapangan. Selain itu, kampanye anti-kekerasan dan anti-diskriminasi juga harus diperkuat, dengan menyadarkan suporter akan dampak negatif dari tindakan agresif dan intoleran.

Kedua, dialog antara suporter, klub, dan pihak keamanan perlu digalakkan untuk menciptakan pemahaman bersama dan membangun kepercayaan. Pertemuan rutin, forum diskusi, atau kegiatan sosial bersama dapat membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan komunikasi antar pihak. Di samping itu, pihak keamanan stadion juga harus dilibatkan dalam proses ini, agar mereka dapat lebih sensitif terhadap dinamika yang terjadi di antara suporter dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah eskalasi konflik.

Ketiga, perlunya sanksi yang tegas dan konsisten terhadap individu atau kelompok suporter yang terlibat dalam kekerasan atau perilaku merusak lainnya. Klub sepak bola harus bekerja sama dengan otoritas keamanan dan federasi sepak bola untuk menegakkan aturan dan memberikan hukuman yang sesuai kepada pelaku. Ini bukan hanya tentang menghukum, tetapi juga memberikan sinyal bahwa tindakan kekerasan tidak akan ditoleransi dan akan memiliki konsekuensi yang serius.

Terakhir, transparansi dan akuntabilitas juga penting dalam mengelola keamanan di stadion. Klub sepak bola dan pihak penyelenggara harus terbuka tentang langkah-langkah yang mereka ambil untuk mencegah kericuhan dan bagaimana mereka menangani situasi yang terjadi. Ini akan membantu membangun kepercayaan antara semua pihak terkait dan memperkuat komitmen mereka untuk menciptakan lingkungan yang aman dan damai bagi semua penggemar sepak bola.

Dalam kesimpulan, kericuhan di pertandingan antara PSIS Semarang dan PSS Sleman adalah pengingat yang menyedihkan tentang bahaya kekerasan dalam sepak bola. Namun, itu juga bisa menjadi pendorong untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam mengelola konflik antara suporter dan mempromosikan nilai-nilai positif dalam olahraga. Dengan pendidikan, dialog, sanksi yang tegas, dan transparansi, kita dapat membangun budaya suporter yang lebih baik dan menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua penggemar sepak bola

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun