[caption id="attachment_159857" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Kejadian yang miris kembali menimpa anak negeri. Sebgaimana telah kita ketahui bersama melalui berita di media, baik cetak maupun elektronik, bahwa seorang siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah, berinisial AAL (17 tahun). Ia dituduh telah mencuri sepasang sandal jepit butut milik seorang anggota polisi (Brimob) Polda Sulawesi Tengah, bernama Briptu Anwar Rusdi Harahap. Kejadian ini menjadi miris dan memilukan, mengingat bahwa kasus ini oleh anggota polisi tersebut diperkarakan sampai ke meja hijau (pengadilan), dan menurut pengakuan tersangka (terlapor) bahwa sepasang sandal jepit itu ditemukannya di tepi jalan raya, Jalan Zebra, Kota Palu. Disamping itu, sebelum kasus ini dilaporkan, AAL mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, dipukul oleh oknum poilisi yang bersangkutan. Penyiksaan juga dialaminya ketika masih dalam peroses penetapannya sebagai tersangka. Kasus AAL, walaupun belum diputuskan bersalah, dan masih dalam proses persidangan, mengudang perhatian, keperihatinan dan rasa simpati kita. Sungguh kurang bisa diterima dengan akal sehat, bila hanya gara-gara sepasang sandal jepit seseorang yang dituduh mencuri diperkarakan sampai meja hijau. Apa lagi AAL masih tergolong di bawah umur. Walaupun saya buta dengan masalah hukum, tetapi kasus seprti ini tidak perlu sampai ke pengadilan. Masih ada cara-cara yang lebih arif dan bijaksana untuk penyelesaiannya, melalui upaya damai. Upaya ini telah ditempuh oleh keluarga (orangtua) AAL, dengan bersedia menggantinya dengan tiga pasang sandal. Niat baik ini, tampaknya tidak direspon positif oleh oknom polisi yang bersangkutan, dan tetap bersikap untuk melanjutkannya keperoses hukum, lebih-lebih setelah dirinya dilaporkan ke Propam Polda Sulawesi Tengah oleh keluarga tersangka. Akibatnya, AAL dijerat dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Ironis bila dibandingkan dengan kasus-kasus besar, seperti kasus korupsi yang tidak bisa diungkap menyeluruh, dan pelakunya dituntut dengan hukuman ringa. Keperdulian dan simpati kepada AAL, menjadi semakin perlu (dibutuhkan), mengingat dalam proses persidangan terdapat fakta-fakta yang menunjukkan kejanggalan atas kasus tersebut. Seperti merek sandel punya anggota Brimob yang hilang adalah Eiger bernomor 43, sementara sandal yang ditemukan oleh AAL bermerek Ando bernomor 9,5. Kemudian fakta lainnya adalah tidak ada saksi yang melihat kalau AAL yang mengambil sepasang sandal butut tersebut. Apalagi sepasang sandal yang dijadikan barang bukti di pengadilan itu, setelah dicoba oleh Briptu Anwar Rusdi Harahap, ukurannya kekecilan, tidak cocok dengan ukuran kakinya yang lebih besar. Fakta-fakta ini, menunjukkan kalau sepasang sandal jepit yang ditemukan AAL bukan milik anggota polisi yang bersangkutan. Mencermati kasus di atas, mencerminkan atau memberikan gambaran kepada kita, bahwa seorang oknum anggota polisi, yang nota benenya merupakan penegak hukum ingin menegakkan wibawa profesinya dengan memanfaatkan kelemahan warga sipil, ketidakmampuan rakyat kecil atas kekuatan (kekuasaan) yang digenggamnya (dimilikinya). Ini adalah kejadian yang ironis, kurang bisa diterima akal sehat, walaupun sesungguhnya mencuri merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Apalagi fakta-fakta menunjukkan bahwa tertuduh belum kuat untuk dapat membuktikan dirinya sebagai pelaku. Dari beberapa sumber media, cetak dan elektronik. Salam kedamaian dan persaudaraan. Jerowaru Lombok Timur, 29 Desember 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H