Keberadaan sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang diamanatkan dalam Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) digugat sejumlah perwakilan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhir Januari lalu. Tidak sedikit pula masyarakat yang memberikan cibiran, walaupun RSBI telah berlangsung lima tahun.
Gugatan atau cibiran terhadap keberadaan RSBI bukan tanpa dasar. Mereka melihat bahwa hasil lulusan RSBI tidak beda dengan sekolah tersebut ketika masih menyandang sekolah standar nasional (SSN). Dasar lainya adalah besarnya biaya penyelenggaraan pendidikan RSBI.
Biaya sekolah di RSBI memang tidak murah untuk ukuran kebanyakan masyarakat di negeri ini. Pada jenjang SMP, orang tua siswa bisa dikenai pungutan hingga jutaan rupiah, sedangkan SPP bisa di atas Rp. 250.000 per bulan. Pada hal, bila bersekolah di SMP negeri non RSBI, semua serba gratis. Tidak ada uang masuk atau uang gedung, begitu pula tidak ada SPP atau uang buku. Semua sudah ditutupi oleh program biaya operasional sekolah (BOS). Masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam bila anaknya memilih melanjutkan ke SMP/SMA berstatus RSBI. Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan RSBI = Sekolah Bertarif Internasional.
Biaya tinggi agar diterima di RSBI telah menyebabkan anak dari keluarga miskin tidak mampu bersekolah di RSBI. Walaupun dalam ketentuan telah diatur, siswa berprestasi dari kelangan keluarga miskin/kurang mampu diakomudir 20 % untuk bisa masuk di RSBI. Namun aturan ini tidak seindah seperti yang diharapkan, siswa berprestasi dari kalangan keluarga miskin tidak selamanya bisa diterima oleh pihak penyelenggara RSBI. Disamping itu, mereka juga harus menanggung beban pisikologis bila melanjutkan sekolah di RSBI. Di sana mereka akan bergaul dengan siswa dari kalangan kaya/mampu dan elit.
Dalam penyelenggaraan atau pengelolaan pendidikan, pemerintah memberikan perlakuan yang berbeda. Peserta didik yang bersekolah di RSBI mendapat perlakuan lebih/istimewa. Sedangkan perlakuan istimewa tidak diberikan kepada siswa yang bersekolah di sekolah non RSBI.
Berdasarkan atas kenyataan itu, RSBI sesungguhnya telah menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam dunia pendidikan. Diskriminasi dan kastanisasi juga terlihat dari keberadaan SSN, bila dikaji setidaknya dari perlakuan yang diberikan kepada siswa. Tidakkah dalam UUD 1945, telah mengamanatkan bahwa seluruh warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak dan merata. Oleh karena tidak selayaknya ada sekolah yang berstatus RSSN, SSN, RSBI dan SBI.
Jerowaru, Lombok Timur, 12 Mei 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H