Mohon tunggu...
ahmadtontowi
ahmadtontowi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa UIN Bandung

Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Kesehatan Mental di Era Digital: Sebuah Pandangan Filsafat tentang Kebebasan, Identitas, dan Kesejahteraan

17 November 2024   10:00 Diperbarui: 17 November 2024   10:19 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jakarta, 17 November 2024 --- Dalam beberapa tahun terakhir, masalah kesehatan mental semakin menjadi perhatian utama di seluruh dunia, dengan prevalensi gangguan mental yang terus meningkat. Di tengah kemajuan teknologi digital yang pesat, dampak dari dunia maya terhadap kesejahteraan mental manusia, khususnya generasi muda, menjadi isu yang semakin relevan. Media sosial, kecanduan perangkat digital, dan perbandingan sosial yang terus menerus berkontribusi terhadap peningkatan kecemasan, depresi, dan stres. Dalam menghadapinya, banyak orang berusaha untuk menemukan kembali keseimbangan antara dunia digital dan kesehatan mental mereka.

Namun, untuk menyikapi fenomena ini dengan bijak, kita juga perlu mempertimbangkan perspektif filsafat yang bisa memberikan wawasan tentang kebebasan, identitas, dan makna hidup---tiga konsep yang sangat terkait dengan bagaimana kita memahami dan mengelola kesehatan mental di dunia modern ini.

1.  Kebebasan dan Ketergantungan: Filsafat Sartre tentang Eksistensi

Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis asal Prancis, menekankan pentingnya kebebasan dalam hidup manusia. Dalam pandangannya, manusia pada dasarnya adalah "terkutuk untuk bebas" (condemned to be free), yang berarti bahwa kita memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan siapa kita dan bagaimana kita hidup. Kebebasan ini membawa tanggung jawab yang sangat besar, karena setiap keputusan yang kita buat menciptakan identitas kita sendiri.

Namun, kebebasan ini juga bisa menjadi beban. Dalam konteks dunia digital saat ini, kita sering kali merasa "terkutuk" oleh kebebasan tersebut---terutama dalam hal bagaimana kita menampilkan diri kita di media sosial, berinteraksi dengan orang lain, dan memenuhi ekspektasi yang tidak pernah kita tentukan sendiri. Kebebasan untuk memilih, yang seharusnya membawa kita pada pembebasan dan autentisitas, seringkali justru menciptakan ketegangan mental yang besar. Pengguna media sosial mungkin merasa terjebak dalam siklus perbandingan sosial dan pencarian validasi eksternal, yang pada gilirannya dapat memicu perasaan cemas dan ketidakpuasan.

Sartre mengajarkan bahwa meskipun kebebasan dapat terasa menakutkan, kita tetap bertanggung jawab atas bagaimana kita menghadapinya. Menggunakan kebebasan untuk menentukan identitas yang autentik, dan bukan hanya mengikuti norma yang ditetapkan oleh dunia maya, adalah langkah penting dalam menjaga kesejahteraan mental di era digital ini.

2.  Identitas dan Alienasi: Pandangan Marx dan Weber

Filsuf Karl Marx dan Max Weber juga menawarkan wawasan yang relevan dalam konteks krisis kesehatan mental. Marx, dalam karya-karyanya tentang alienasi, menggambarkan bagaimana individu dapat merasa terasing dari diri mereka sendiri dalam masyarakat kapitalis yang menekankan produktivitas dan konsumsi. Di dunia digital, kita dapat melihat fenomena serupa di mana orang sering kali merasa terasing dari identitas sejati mereka karena tekanan untuk mempresentasikan versi "ideal" dari diri mereka di media sosial. Ini menciptakan jarak antara siapa mereka sebenarnya dan siapa mereka ingin dianggap oleh orang lain.

Max Weber, seorang sosiolog Jerman, berbicara tentang "rasionalisasi" dalam masyarakat modern, di mana sistem yang lebih efisien dan terstruktur---seperti media sosial dan algoritma---menyusun kehidupan kita dengan cara yang terorganisir namun mekanistik. Dalam dunia yang semakin digital ini, individu bisa merasa seperti bagian dari mesin besar yang mengontrol cara mereka berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dengan orang lain. Perasaan teralienasi ini, akibat kehilangan rasa kontrol dan individualitas, sering kali berkontribusi pada gangguan kesehatan mental.

Dalam konteks ini, filsafat Marx dan Weber mengajak kita untuk mempertanyakan sistem sosial dan teknologi yang mendasari perilaku kita, serta mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan yang otentik dengan diri kita sendiri---suatu hal yang semakin sulit dilakukan di dunia yang serba terkontrol oleh algoritma dan sistem digital.

3.  Mencari Makna dalam Kehidupan Digital: Perspektif Viktor Frankl

Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf yang terkenal dengan bukunya Man's Search for Meaning, mengemukakan bahwa pencarian makna adalah inti dari pengalaman manusia. Bagi Frankl, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun, kita masih memiliki kebebasan untuk menemukan makna dalam hidup kita, yang dapat memberi kita kekuatan untuk bertahan. Hal ini sangat relevan dalam konteks krisis kesehatan mental yang dipicu oleh ketidakpastian dan kelebihan informasi di era digital.

Dalam dunia maya yang penuh dengan gambar-gambar sempurna dan hidup orang lain yang tampaknya lebih baik, seseorang bisa mudah merasa kehilangan arah dan tujuan hidup. Namun, menurut Frankl, kita harus kembali ke dalam diri kita untuk menemukan makna dalam kehidupan kita sendiri, bukan diukur berdasarkan standar yang ditetapkan oleh dunia luar. Bagi mereka yang merasa tertekan atau cemas, pencarian makna---baik melalui hubungan yang mendalam, pencapaian tujuan pribadi, atau kontribusi terhadap masyarakat---dapat memberikan landasan yang kuat untuk kesejahteraan mental.

4. Solusi Rasional untuk Krisis Kesehatan Mental

Dari perspektif filsafat, solusi untuk krisis kesehatan mental di era digital bukan hanya tentang mengurangi kecanduan perangkat atau media sosial, tetapi lebih kepada pencarian dan pemeliharaan kebebasan otentik, identitas yang tidak teralienasi, dan makna hidup yang sejati. Ini mencakup beberapa langkah rasional yang bisa diterapkan oleh individu dan masyarakat:

1. Pengaturan Waktu Digital yang Sehat: Salah satu solusi praktis yang dapat diterapkan adalah dengan mengatur waktu yang dihabiskan di dunia maya, untuk memastikan bahwa interaksi digital tidak mengganggu kualitas hubungan langsung dan kesejahteraan mental.

2. Pengembangan Keterampilan Mental dan Emosional: Meningkatkan kesadaran diri dan keterampilan pengelolaan stres melalui teknik mindfulness, meditasi, dan terapi kognitif dapat membantu individu untuk lebih siap menghadapi tekanan dari dunia digital.

3. Mendorong Keterlibatan Sosial yang Sehat: Filsafat Frankl mengingatkan kita bahwa makna dalam hidup seringkali datang dari hubungan yang mendalam dan kontribusi terhadap masyarakat. Dengan memfokuskan kembali perhatian kita pada tujuan yang lebih besar daripada sekadar mendapatkan pengakuan sosial, kita dapat mengurangi rasa cemas dan menemukan kedamaian dalam diri.

4. Pendekatan Holistik untuk Kesehatan Mental: Masyarakat juga perlu melihat kesehatan mental sebagai bagian integral dari kesehatan fisik, dengan mendukung kebijakan publik yang lebih baik dalam akses ke layanan kesehatan mental, pendidikan, dan pekerjaan yang memenuhi kebutuhan individu secara holistik.

 Penutupan

Krisis kesehatan mental di era digital adalah tantangan besar yang memerlukan pendekatan komprehensif. Dengan menggunakan filsafat sebagai landasan, kita dapat lebih memahami hubungan antara kebebasan, identitas, dan pencarian makna dalam kehidupan yang semakin dipengaruhi oleh teknologi. Solusi untuk mengatasi masalah ini bukan hanya terletak pada pengendalian dunia digital, tetapi pada penciptaan ruang untuk kebebasan otentik, kesadaran diri, dan pencarian makna yang lebih dalam dalam hidup kita. Melalui refleksi filsafati, kita bisa lebih bijak dalam menavigasi kehidupan digital yang kompleks ini, menjaga kesejahteraan mental kita, dan menciptakan dunia yang lebih sehat secara psikologis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun